Istimewa
Sudah lebih dari 1.700 buku tentang sejarah diterbitkan di Indonesia sejak tahun 1997, tapi hanya 2 persen yang membahas peran perempuan. Padahal sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang, termasuk berikutnya di Indonesia, peran perempuan sangat besar dalam sejarah. Baik dalam ruang politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Termasuk di balik suksesnya penyebaran Islam di Nusantara.
Terma ulama dalam ruang sosial, terutama di kalangan umat Islam sendiri, sangat diidentikan dengan kaum laki-laki. Kenyataannya tidak mungkin orang yang mendengar terma ‘ulama’ kemudian terbayang sosok perempuan yang memiliki peran besar, baik dari ranah teologi maupun sosial, pasti yang terbayang adalah kaum laki-laki. Untuk menyebut perempuan sebagai ulama, harus disisipi kata ‘perempuan’ dulu. Bisa ‘ulama perempuan’ atau ‘perempuan ulama’. Padahal, terma ulama tidaklah sesempit itu. Menurut Azyumardi Azra dan Jajat Burhanudin, secara sederhana ulama diartikan orang berilmu. Kemudian berikutnya terma ulama mengalami penyempitan makna.
Terma ulama di Indonesia sendiri dipahami sebagai sosok yang memiliki kredibilitas intelektual kegamaan yang mumpuni dan juga sebagai agen perubahan sosial. Dalam tataran antropologis yang sederhana, terma ulama juga selalu diidentikan dengan sosok yang bersorban, bersarung dan berpeci atau penutup kapala yang lain. Konon, jika penutup kepala (peci) ini dilepas, akan mengurangi kehormatan atau wira’inya. Ini realita budaya patriarkis yang sudah berabad-abad membersamai kehidupan sosial di Nusantara, bahkan dunia.
Dalam perjalanan sejarah Islam, kita kenal sosok-sosok perempuan yang banyak mempengaruhi keputusan publik. Seperti Khadijah, Fatimah, Aisyah dan lain sebagainya. Khadijah adalah perempuan pertama yang masuk Islam dan sangat berpengaruh saat awal-awal penyebaran Islam. Beliau adalah saudagar kaya di Mekah yang mengorbankan seluruh hartanya untuk penyebaran Islam. Bahkan tidak jarang tindakan nabi selalu dikonfirmasikan ke Khadijah sebelum nabi melakukannya. Belum lagi Aisyah yang kurang lebih meriwayatkan 1.210 hadis, bahkan tidak jarang nabi memberinya ruang untuk memutuskan perkara-perkara umat. Dan masih banyak lagi perempuan-perempuan hebat lainnya.
Perkembangan Islam di Indonsia juga tidak lepas dari peran serta ulama-ulama perempuan. Islamisasi di Indonesia banyak melibatkan peran perempuan, bukan hanya dalam bidang intelektual saja, tapi juga politik, sosial, budaya dan lain sebagainya.
Pada awal abad XV ada beberapa tokoh perempuan, di antaranya dua istri raja terakhir Majapahit yang bergelar Brawijaya IV, yaitu Putri Campa (Dwarawati) dan Putri Cina. Putri Campa berperan besar dalam Islamisasi dengan membuka jaringan terhadap tokoh-tokoh penyebar agama Islam. Posisinya sebagai istri Brawijaya membuat Raden Rahmad lebih leluasa mendirikan pusat pendidikan karena ada jaminan dari raja. Sementara Putri Cina lebih berperan sebagai genealogis atau memeberikan keturunan tokoh-tokoh penyebar Islam. Putri Cina adalah ibu dari Raden Patah yang kemudian menjadi pemimpin pertama kerajaan Islam di Jawa.
Seorang ulama perempuan dari kerajaan Linge (kabupaten Aceh Tengah sekarang) yang bernama Datu Beru berprofesi sebagai hakim pada saat itu. Sebagai seorang hakim, tentu penguasaan ilmu agama Date Beru tidak diragukan lagi. Selain itu juga dikenal Teungku Fakinah, beliau tidak saja dikenal sebagai tokoh ulama perempuan pendidik, tapi juga seorang panglima perang yang berhasil mempengaruhi rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Seorang ulama perempuan bernama Fatimah binti Abdul Wahab Bugis juga memiliki kontribusi penting. Beliau mengarang kitab Parukunan Melayu, sebuah kitab dengan aksara Arab Melayu yang membahas tentang rukun Iman dan Islam. Kitab ini banyak dipelajari hampir di Seluruh Melayu-Indonesia. Fatimah dikenal sebagai ulama perempuan yang merintis emansipasi wanita lewat keilmuan. Terlihat dari kitabnya ini yang begitu menghindari pembahasan fikih klasik yang dianggap diskriminatif bagi perempuan.
Seorang perempuan inspiratif bernama Nyai Siti Walidah (istri dari KH Ahmad Dahlan), juga memiliki peran penting bagi pergarakan dan penyebaran Islam. Siti Walidah, melalui organisasi Aisyiyah, mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Salah satu putri KH Hasyim Asy’ari yang bernama Nyai Khoiriyah Hasyim juga banyak berperan dalam dunia pendidikan Islam. Bahkan Nyai Khoiriyah mendirikan Madrasatul Banat di saat tinggal di Mekah, sebuah madrasah khusus perempuan pertama yang didirikan di Mekah.
Tidak hanya istri KH. Ahmad Dahlan, salah satu santriwatinya yang bernama Siti Munjiyah (anak dari lurah Keraton Jogjakarta, H. Hasyim Ismail) juga memilki peran penting. Sebagai orator ulung, Munjiyah sering berpidato menyampaikan pandangan-pandangannya soal kedudukan wanita dalam Islam. Bahkan pada tanggal 22-25 Desember, organisasi Aisyiyah mengutus Munjiyah untuk mewakili Kongres Perempuan Indonesia pertama di Mataram dan menyampaikan pidatonya yang berjudul “Derajat Perempuan”.
Sebuah jargon dan juga konsep pendidikan yang berbunyi “Pendidikan Untuk Semua” juga menjadi landasan bagi seorang ulama perempuan dari Sumatra Barat. Beliau adalah Rahmah el-Yunusiah. Bagi Rahmah el-Yunusiah, kaum wanita harus mendapatkan kesempatan penuh untuk menuntut ilmu. Hal itu diwujudkannya dengan mendirikan Madrasah Diniyah Putri di Padang Panjang.
Dari Bukit Tinggi juga dikenal Zakiyah Darajat. Di samping sebagai seorang Ilmuan Psikologi Agama dan Ilmuan dalam Pendidikan Isam, Zakiyah juga dikenal sebagai birokrat pemerintahan dalam lingkup Kementrian Agama. Beliau juga menjadi Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam.
Pada dasarnya, peran laki-laki dan perempuan sama di ruang publik. Memang, perbedaan biologis antara merupakan laki-laki dan perempuan adalah sebuah takdir yang harus diterima. Tapi di ruang sosial, peran keduanya tetap sama untuk bersama mewujudkan cita-cita bangsa dan agama.
Penulis: Muhammad Abror (Mahasantri Ma’had Ali Sa’idussiddiqiyah Jakarta).