foto: th times
Jihad yang sebetulnya bermakna ajaran mulia dalam Islam seringkali disempitkan maknanya oleh kelompok teroris menjadi tindakan kekerasan. Alih-alih bercita-cita menegakkan kalimat Allah dalam ruang kehidupan, justru secara tidak sadar telah melecehkannya. Di tangan kelompok teror, atas nama jihad, agama menjadi menakutkan. Sebuah lembaga riset, Islamicy Index, bahkan menyebutkan bahwa saat ini banyak orang Islam kehilangan keislamannya yang salah satu faktornya adalah tindakan kelompok-kelompok teror yang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan nafsu politiknya. Sebaliknya, orang-orang di luar agama Islam justru terklasifikasi oleh hasil riset tersebut sebagai orang-orang yang Islami sebab menerapkan pola hidup yang amat Islam, seperti mengedepankan kasih sayang, toleran, kebersihan, disiplin, tidak fanatik, dan moderat. Sebaliknya, sebagian penganut agama Islam justru tidak Islam karena wataknya yang keras, fanatisme, dan memandang kehidupan hanya soal jihad peperangan.
Jihad yang diambil dari istilah bahasa Arab “ja-ha-da” bermakna sungguh-sungguh. Nasaruddin Umar berpendapat bahwa jihad yang berarti sungguh-sungguh ini tidak lepas dari ijtihad dan mujahadah, karena kedua terma tersebut masih satu rumpun. Ia menyatakan bahwa ajaran jihad dalam Islam harus juga mempertimbangkan ijtihad. Ijtihad bagi orang Islam, khususnya yang masih awam, tentu harus taklid kepada ulama-ulama yang masyhur dan representatif. Artinya, jihad tidak boleh dilakukan manakala seseorang sudah mendapatkan wejangan keilmuan soal jihad dari seorang gurunya yang menjadi rujukan beragama. Selain itu, jihad harus berlandaskan mujahadah, yaitu melawan diri sendiri, dalam arti melawan nafsu yang bersemayam pada diri seseorang. Tidak boleh berjihad atas dasar kebencian, ketidaksetujuan dengan suatu konsep, atau berlandaskan keinginan emosial semata. Jihad harus murni berjalan dengan hati, bukan hawa nafsu.
Bertolak belakang dengan kelompok ekstrim, seperti ISIS dan HTI, yang memiliki konsep jihad karena berawal dari ketidaksetujuan akan konsep negara modern. Lebih dari itu baik ISIS atau HTI, seringkali berjihad dengan landasan menjelekkan pemerintah sah. Atas dasar dengki dan keinginan politik yang berbalut agama. Itu bertentangan dengan konsep jihad yang sebetulnya dalam Islam yang tidak bisa dilepaskan dari adanya mujahadah. ISIS dan HTI dalam konteks ini sebetulnya bukan sedang berjihad, akan tetapi sedang mengatasnamakan jihad untuk kepentingan politik. Di lain itu, sebab jihad sendiri juga merupakan prinsip agama, sementara Hizbut Tahrir dalam buku karya Taqiyuddin An-Nabhani, “Khilafah Islamiyyah”, bukan gerakan keagamaan, tetapi gerakan politik (hizb). Secara konseptual, dari awal sudah ngawur jika para penyeru khilafah bernarasi soal jihad, sebab konsep tersebut sudah keluar dari ranah politik yang menjadi tujuan awal didirikannya Hizbut Tahrir.
Berbicara soal jihad, Islam menentang konsep jihad para teroris dan radikalis yang menyempitkan makna jihad hanya bermakna peperangan fisik. Ibn Qayyim Al-Jauzi mengklasifikasi makna jihad dalam empat bentuk, yaitu jihad melawan diri sendiri (mujahadah an-nafs), jihad melawan setan (mujahadah as-syaithan), jihad melawan orang munafik (mujahadah al-munafiq) dan jihad melawan orang kafir (mujahadah al-kufar). Dari keempatnya memiliki tingkatan masing-masing. Jihad melawan diri sendiri yaitu terdiri dari jihad mendalami ilmu, mengamalkannya, menyampaikannya, dan sabar ketika ada ujian. Klasifikasi jihad pertama ini menolak kelompok teroris yang menyatakan jihad itu hanyalah perang melawan kaum kafir dengan fisik dan atau bom bunuh diri.
Sementara kedua, jihad melawan setan, terdiri dari melawan godaan yang berkaitan dengan keimanan, dan jihad melawan godaan melawan kehendak buruk dan hawa nafsu. Keimanan di sini tentu tidak lepas dari keyakinan teguh umat Islam akan rukun iman yang ada enam, yaitu iman kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat, hari kiamat, dan qada serta qodar. Semua itu harus selalu diyakini sebagai prinsip jihad kedua ini. Konsep ini menolak para penyeru khilafah bahwa jihad adalah usaha menegakkan negara Islam khilafah Islamiyyah, sebab khilafah bukan salah satu dari rukun iman, sehingga tak perlu diyakini, apalagi diimani serta diperjuag. Adapun jihad melawan godaan kehendak buruk dan hawa nafsu yaitu jihad melawan keinginan-keinginan yang akan berdampak pada timbulnya mafsadat, kerusakan, baik pada diri kita atau orang lain. Termasuk jihad dalam konteks ini adalah jihad menolak melakukan tindakan-tindakan yang kekerasan, teror, radikal, atau kampanye-kampanye sistem khilafah yang akan mengakibatkan mafsadat di tengah umat. Maka, menolak khilafah adalah sebagai bentuk jihad kedua ini, sebab merupakan usaha untuk melawan godaan melakukan tindakan yang pada dasarnya berawal dari kehendak buruk, yaitu menciptakan kegaduhan di publik.
Adapun ragam jihad yang ketiga dan keempat, menurut Al-Jauzi, adalah jihad melawan orang-orang munafik dan kafir. Jihad keempat ini berbentuk empat hal, yaitu jihad dengan hati, lisan, harta, dan jiwa. Kesemuanya harus tertuju pada kebaikan dan kemaslahatan orang banyak. Jihad dalam konteks ini maka seorang Muslim harus bisa menjaga hati, tidak boleh ada rasa dengki, hasud, iri, dendam, dan kasar kepada sesama manusia. Lisan juga harus berjihad dalam bentuk tidak mengucapkan ucapan yang kasar, menyinggung, menyakitkan, ujaran kebencian. Bagitu juga harta. Dengan menggunakannya untuk menolong sesama manusia yang membutuhkan, adalah bentuk jihad dalam kategori ke tiga ini. Serta berjihad dengan jiwa, yaitu jihad membenahi jiwa agar tetap dalam jalan yang diridhoi Allah, serta dipandang baik oleh makhluk-Nya. Konsep jihad ketiga ini bertolak belakang dengan gerakan radikal dan teror yang mengatasnamakan agama namun dengki dan dendam dengan pemerintah, polisi, densus, dan lainnya. Juga bertentangan dengan mereka yang suka menggunakan lisannya untuk mengolok-olok penguasa yang sah. Meski harta dan jiwanya diniatkan untuk beribadah, akan tetapi tidak terhitung sebagai jihad manakala hati dan lisannya tak bisa dijaga, gemar mengkafirkan dan menganggap tahun konsep kebangsaan dan atribut kebangsaan bangsa Indonesia. Justru dalam konteks ini, jihad melawan munafik adalah jihad melawan orang-orang yang hendak menghancurkan konsep negara kesepakatan NKRI menjadi negara Islam khilafah, sebab merekalah munafik sesungguhnya, yang enggan menerima kesepakatan para pendiri bangsa.
Ada beragam makna jihad yang perlu dipahami pemeluk agama Islam. Jihad tidak bermakna, apalagi hanya, peperangan. Jika membaca dan menganalisa ragam makna jihad menurut Al-Jauzi, justru apa yang dikumandangkan ISIS dan HTI dalam mengkampanyekan khilafah dan negara Islam bukan dikategorikan jihad, tetap murni karena hawa nafsu dan dorongan kehendak buruk, sebab implikasi yang akan timbul bukan kemaslahatan bagi umat, namun perpecahan dan pertumpahan darah. Dalam konteks keindonesiaan, jihad kita dapat berupa menjaga hati, lisan, dan harta untuk kebaikan negara dan bangsa. Jihad kita dapat berbentuk melawan korupsi, terorisme, radikalisme, dan kapitalisme, yang semuanya diniatkan untuk perbaikan bangsa dan negara. Dalam konteks milenial, jihad dapat berupa kesungguhan belajar, belajar Islam kepada guru yang mumpuni keilmuan agama, dan berkontribusi positif untuk kemajuan negara dan bangsa. Jihad dalam Islam tidak berbentuk kekerasan, tetapi apapun yang dapat memberikan nilai-nilai kemaslahatan dan perbaikan umat dalam lini agama, sosial, politik, dan budaya.
Artikel asli dimuat di sangkhalifah.co
Penulis: Lufaefi (Penulis Buku Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan).