foto: salafunashalih
Kita hidup di masa di mana banyak orang yang baru belajar Islam, tetiba mengaku paling paham Islam. Bukan saja mengakui paling paham Islam, tetapi juga mengkafirkan dan merendahkan orang yang belum masuk Islam. Lebih ekstrim lagi, mereka sesat fikir sambil menyatakan bahwa orang yang belum masuk Islam harus diperangi hingga mau masuk Islam. Islam yang sejak awal didakwahkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan cara santun, penuh rahmat, dan toleran, di mata mereka didakwahkan dengan cara-cara menakutkan dan kekerasan. Para pakar menamai kelompok ini dengan kelompok ekstrimis, radikalis, dan teroris. Meski kadang kelompok ini seringkali menggadai ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi untuk kepentingan ekstrimismenya. Kelompok ini anti dengan non Muslim. Seolah bagi mereka harus lebih benci umat yang belum masuk Islam daripada harus membenci kominisme dan kapitalisme.
Gerakan ekstim yang memusuhi kelompok orang di luar dirinya ini jelas bertentangan dengan Islam. Karena bahkan menurut Syaikh Nawawi dalam Futuhat Al-Madaniyah Fi As-Syu’b Al-Imaniyah mengingatkan kita agar tidak merendahkan seseorang dengan pandangan kehinaan walaupun ia seorang musyrik. Sebab kata Syaikh Nawawi, bisa jadi kemakrifatan kita kepada Allah menjadi hilang, padahal sebab orang musyrik itulah yang menjadi sebab kita diberi kemakrifatan. Pernyataan Syaikh Nawawi ini juga didukung oleh salah satu ayat Al-Qur’an, yaitu QS. Hujurat: 11 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Walaupun kepada musyrik dan non Muslim sekalipun, Islam mengharuskan kita menghormati anak Adam. Dalam QS. Al-Isra: 70 disebutkan, sesungguhnya Allah memuliakan anak Adam. Allah angkat mereka di daratan dan di lautan. Ia meberikan rizki walaupun kepada orang yang tidak menyembah-Nya. Jika kita mencermati kata “bani Adam”, di sana tidak ada sepesifikasi anak Adam yang mana yang harus dibormati. Rupanya makna umum itu memberi isyarat bahwa yang harus dihormati adalah setiap anak Adam secara umum, tanpa pandang agama, keyakinan, mazhab, atau pilihan politik sekalipun. Mengapa demikian? Karena Islam telah mengkategorikan manusia siapapun sebagai makhluk yang sempurna bentuknya (ahsan at-taqwim). Maka tidak heran juga jika kemudian Nabi Muhammad memerintahkan umatnya agar cukup bagi orang-orang Islam untuk memikirkan ciptaan-Nya, bukan Zat Tuhannya. Hal itu sebab manusia memiliki keistimawaan, sehingga tidak tepat jika direndahkan apalagi dihinakan oleh manusia lain.
Maka jelas kelompok ekstimis yang mengakfirkan kelompok di luar dirinya baik sesama Muslim maupun musyrik atau non Muslim tidak dibenarkan dalam agama. Sebagaimana demikian, Islam juga melarang umatnya untuk menilai agama dan nilai ibadah orang lain. Kita tak boleh pula mengkaplingkan surga atau neraka kepada orang lain karena merasa paling beragama Islam. Mengapa? Sebab Islam tak mengizinkan mengukur ketakwaan orang lain dengan agama kita. Tidak serta mereka mereka yang selalu berkoar-koar berjuang demi khilafah islamiyyah lebih Islam dibanding yang menolaknya. Tidal serta-merta mereka yang mengibarkan bendera tauhi dengan warna hitam maupun putih lebih bertakwa daripada mereka yang tidak demikian. Islam melarang umatnya melarang umatnya merendahkan dan menghilangkan mereka yang berbeda, bahkan kepada mereka yang menyekutukan-Nya.
Tidak selayaknya sebagai Muslim kita membenci orang-orang yang masih belum masuk Islam. Karena Rasulullah Saw adalah pribadi yang sangat santun kepada mereka. Disebutkan oleh Ali As-Shabuni dalam Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, bahwa sewaktu di Madinah Nabi Muhammad didatangi sekelompok pendeta-pendeta Nasrani Abbesennia (Habasyah) berjumlah 70 orang. Mereka diutus oleh An-Najasyi raja Abbesennia untuk melihat ciri-ciri kenabian pada Nabi Muhammad. Orang-orang Yahudi itu lama berdikusi dengan Nabi Muhammad. Setelah lama berdikusi itu, dan mengetahui darinya bahwa ciri nabi akhir zaman ada pada dirinya sebagaimana diceritakan Injil, maka Nabi membacakan mereka surat Yasin, dan merekapun menyatakan keberimanan. Sebagai sosok yang terpandang, banyak dari kalangan non Muslim yang sowan kepada Nabi Muhammad untuk sekadar berdiskusi, bersilaturahmi, dan atau meminta pendapat soal kehidupannya. Nabi pun dengan senang hati menerima mereka, dan tidak sekalipun menolak, apalagi sampai menyakitinya.
Tidak hanya di Madinah, Nabi Muhammad juga segan kepada tamu-tamu di luar agama Islam sejak di Makkah, sebagaimana disebut oleh Alm. Alu Musthofa Ya’qub dalam Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Dalam catatan Ali Ibn Ahmad Al-Wahidi, dalam kitabnya Asbab An-Nuzul, disebutkan bahwa suatu Nabi Muhammad ketika pamannya hendak wafat didatangi rombongan Kafir Quraisy Makkah. Mereka adalah Abu Sudyan, Abu Jahal, An-Nadhr Ibn Haris, Umayyah Ibn Khalaf, Ubay Ibn Khalaf, Uqbah Ibn Abu Mu’ayyit, Amr Ibn Ash dan Al-Aswad Al-Bukhruri. Mereka datang dengan diterima secara baik oleh Nabi Muhammad. Bahkan terjadi dialog panjang antara Nabi, paman Nabi Abu Thalib, dan sejumlah Kafir Quraisy tersebut. Dalam pada itu Nabi tidak sesekalipun merendahkan mereka atau memaksanya untuk segera beriman dan masuk Islam. Mereka diberikan penghormatan yang ekstra oleh Nabi Muhammad.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ini hendaknya menjadi kritik bagi yang mengaku paling Islam, namun merendahkan dan menghina mereka yang belum mau beragama Islam. Bahkan menurut Husnul H. Ma’arif, Nabi Muhammad berdialog dengan orang-orang kafir bukan hanya dengan duduk diam menunggu di Madinah, akan tetapi juga mendahului melakukan dialog secara korespondensi dengan mengirimkan surat ke berbagai wilayah (muktatabah). Apa yang dilakukan oleh Nabi untuk mendekati orang-orang non Islam bukan dengan cacian, hinaan, atau dengan otot, akan tetapi dengan kasih sayang, sebagai sikap utama agama Islam yang mengasihi semua alam. Sebaliknya, Islam menolak tindakan dan sikap keras, represif, dan tidak hormat kepada orang lain, baik sesama Muslim maupun mereka yang bon Muslim/musyrik. Islam tidak memberikan ruang bagi kelompok yang mengaku paling Islam, namun tidak memiliki karakter Islam, sebagaimana kelompok ekstrim, radikal, dan teror, yang gemar merendahkan agama di luar Islam.
Tulisan asli dimuat di sangkhalifah.co
Penulis: Lufaefi (Penulis Buku-buku Islami).