Sekilas pandang
Setiap datang bulan ramadhan, setiap muslim diwajibakan menjalankan ibadah puasa. Pelaksanaan puasa sendiri memiliki syarat dan ketentuan khusus yang telah ditetapkan oleh agama, seperti memasang niat pada malam harinya sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar. Dalam ketentuan fikih orang yang tidak memasang niat pada malam harinya maka puasanya tidak sah.
Niat yang dimaksud tersebut adalah bermaksud secara sengaja bahwa setelah terbit fajar ia akan menunaikan puasa. Imam Syafii sendiri berpendapat bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khathara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. (al-Fiqh al-Islami, III, 1670-1678).
Meski niat adalah urusan hati, melafalkannya (talaffudh) akan membantu seseorang untuk menegaskan niat tersebut. Talaffudh berguna dalam memantapkan iktikad karena niat terekspresi dalam wujud yang konkret, yaitu bacaan atau lafal.
Lafal yang lazim diucapakan adalah;
“Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa’i fardhi syahri ramadhaana haadzihis sanati lillahi ta’ala. Artinya: Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala.
Secara etimologi, pengertian puasa, shaum atau shiyam, adalah al-Imsaku an al-Syai yaitu mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Misalnya menahan diri dari makan, minum, bercampur dengan istri, berbicara dan sebagainya.
Sedang secara terminologi, “puasa adalah menahan diri dari makan, minum, jima (bercampur dengan istri) dan lain-lain yang telah diperintahkan kepada kita untuk menahannya, sepanjang hari menurut cara yang disyariat-kan. Demikian pula diperintahkan menahan diri dari ucapan yang diharamkan atau dimakruhkan, karena ada hadis-hadis yang melarang hal itu, itu semua berdasarkan waktu dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, (Subul al-Salam II, hal. 206).
Berpuasa tidaklah sebatas menjaga nafsu dan syahwat. Namun lebih dari itu berpuasa adalah menjaga diri agar tidak melakukan berbagai hal yang dibenci oleh Allah, baik yang bisa dilakukan oleh mata, lisan, telinga, atau bagian tubuh yang lain. Menjaga diri agar tidak berkata hal-hal yang sia-sia, juga agar tidak mendengar apa yang diharamkan oleh Allah untuk dilakukan termasuk dalam makna luas puasa.
Menjaga nafsu dan syahwat memang sudah cukup bagi ulama fikih untuk memenuhi syarat sah puasa. Namun ulama ahli hikmah memaknai sahnya puasa lebih dari itu. Puasa yang sah adalah puasa yang diterima. Puasa yang diterima adalah puasa yang maksudnya tercapai. Lalu apa maksud dari berpuasa? Adalah berakhlak dengan akhlak terbaik, akhlak Malaikat, akhlak para Nabi, terutama Nabi Muhammad SAW.
Puasa yang Kosong Pahala
Puasa akan menjadi bermakna jika puasanya dibarengi dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Di antara perintah berpuasa tersebut adalah dengan memperbanyak amal ibadah (bersedekah, mengaji, mengkhatamkan Al-Quran, dan lan sebagainya), menjaga semua anggota tubuh termasuk panca indera dari berbuat maksiat yang kesemuanya dalam rangka meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan tulus dan ikhlas.
Sedangkan larangan yang dimaksud adalah agar menjauhi segala bentuk perkara yang merusak ibadah puasa (berbohong, menggunjing, mengadu domba, sumpah palsu, melihat dengan syahwat, dan lan sebagainya) yang kesemunya dimaksudkan agar ibadah puasanya menjadi bermakna dan puasanya diterima oleh Allah SWT.
Bukankah orang berpuasa pada malamnya sudah berniat/berikrar/berjanji bahwa ia akan menahan diri (imsak) dari segala yang merusak dan membatalkan diri dari berpuasa. Lafal Nawaitu shauma ghadin (Saya niat menahan diri esok hari) berarti bahwa dirinya berkomitmen dengan berusaha semaksimal mungkin menjaga lisan, mata, perut, kuping, tangan, kaki, kemaluan, akal, dan bahkan hati agar tidak berbuat maksiat yang dapat merusak dan menghilangkan pahala dan keutamaan ibadah puasa.
Pertama, menjaga mata dari empat perkara. Yakni menjaga mata dari melihat perempuan yang bukan muhrim. Menjaga mata dari melihat gambar-gambar yang membangkitkan syahwat. Menjaga mata dari melihat orang lain dengan pandangan menghina. Menjaga mata dari melihat aib orang lain.
Kedua, menjaga telinga dari mendengar perkara bidah, perkataan jahat, perkataan yang sia-sia, dan perkataan yang menyebut-nyebut kejahatan orang lain. Artinya jangan menyalahgunakan nikmat bisa mendengar dengan mendengarkan kemaksiatan.
Ketiga, menjaga lidah dari delapan penyakit lidah. Yakni menjaga lidah agar tidak berkata bohong. Menjaga lidah agar tidak membuat janji tapi mengingkari janji. Menjaga lidah agar tidak ghibah atau mengumpat. Menjaga lidah agar tidak digunakan untuk bertengkar dan membantah perkataan orang lain.
Menjaga lidah agar tidak digunakan untuk memuji diri sendiri. Menjaga lidah agar tidak digunakan untuk melaknat makhluk Allah SWT. Menjaga lidah agar tidak digunakan untuk mengucapkan doa supaya orang lain celaka. Menjaga lidah agar tidak digunakan untuk mengolok-olok dan mengejek orang lain.
Keempat, menjaga perut dari memakan makanan yang haram dan syubhat. Maka manusia diwajibkan berusaha mencari makanan yang halal.
Kelima, menjaga kemaluan dari sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Manusia tidak dapat menjaga kemaluan kecuali dengan menjaga mata dari melihat yang haram dan menjaga hati supaya tidak berpikir yang bukan-bukan. Serta menjaga perut dari memakan yang haram, syubhat dan berlebihan. Karena semua itu adalah penggerak bagi syahwat.
Keenam, menjaga kedua tangan dari sesuatu yang diharamkan dan jangan menggunakan tangan untuk menyakiti makhluk Allah SWT. Jangan menggunakan tangan untuk menghianati amanah dan mencuri. Serta jangan menggunakan tangan untuk menulis sesuatu yang diharmakan.
Ketujuh, menjaga kedua kaki dari berjalan ke tempat yang diharamkan dan berjalan menuju sultan atau penguasa yang zalim. Karena berjalan menuju penguasa yang zalim tanpa dalam kondisi darurat atau terpaksa adalah maksiat. Karena bisa dianggap merendahkan diri dihadapan kezaliman dan menghormati kezaliman mereka. Sedangkan Allah menyuruh manusia berpaling dari orang yang zalim.
Kedelapan, menjaga akal dari berpikir dan berprasangka buruk kepada Tuhan, berpikir merasa tidak adil dengan keputusan Tuhan, buruk sangka pada manusia, berfikiran mesum, dan sebagainya.
Kesembilan, menjaga hati dari sifat riya, iri, dendam, sombong, berbangga diri, berharap dan berkeinginan kepada selain Allah, dan lain sebagainya.
Jika berpuasa tapi tidak mengindahkan perkara-perkara yang merusak ibadah puasa maka yang didapat hanyalah lapar dan dahaga saja. Sebagaimana yang Nabi Muhamammad SAW sabdakan;
Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja. (HR Imam Ahmad)
Kesimpulan
Tindakan dan perilaku yang dapat membatalkan puasa, seperti berbohong, menipu, memfitnah, mengadu domba, ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), ataupun menyaksikan sesuatu dengan pandangan yang penuh syahwat. Walaupun secara hukum ibadah puasanya benar, namun jika perilaku-perilaku tersebut di atas dilakukan, maka bisa jadi pahala puasanya batal. Termasuk di dalamnya menyaksikan tayangan ghibah di layar kaca selama Ramadhan, dapat membatalkan pahala puasa.
Marilah kita jaga dan pelihara pahala ibadah puasa dari hal-hal yang membatalkannya. Jangan sampai seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, kita tidak mendapatkan apa-apa dari amal ibadah puasa kita kecuali rasa lapar dan haus semata. Sungguh merugi berpuasa tapi tidak mendapatkan hasil apa-apa. Karena itu penting untuk belajar bab khusus puasa, rahasia puasa, perintah dan larangan puasa, agar puasa kita berkualitas dan diterima Allah SWT.
Wallahu A’lam.[]