Mendekati tahun politik mendorong para kandidat berlomba-lomba untuk menjulang suara. Mekanisme satu orang satu suara (one man one vote) dalam pemilu yang berlaku di Indonesia membuat para calon pemimpin baik di tingkat pusat maupun daerah mulai berusaha sekuat tenaga meraup simpati dan dukungan suara tiap individu masyarakat. Tidak jarang pula yang hanya mengobral janji-jani manis, bahkan menebar uang suap (money politic) agar masyarakat mau memilihnya.
Hukum Suap Uang untuk Politik (Money Politic)
Islam tegas melarang tindakan suap dalam bentuk apapun, termasuk praktik politik uang. Dalam Surat al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Para ulama tafsir menyebut jalan yang batil untuk mendapatkan harta ialah segala praktik yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Baik dilihat dari aspek proses mendapatkannya ataupun dari aspek jenis barang itu sendiri yang dinilai haram menurut ketentuan syariat Islam. Termasuk dalam hal ini harta yang didapatkan dari money politic.
Lebih rinci lagi, dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa orang yang memberi uang suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantaranya semua akan mendatangkan laknat.
Nabi bersabda,
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dari Tsaubân, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Munas MUI VI Tahun 2000 menyebut perbuatan suap bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga melibatkan masa depan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, suatu bangsa jika menginginkan negaranya maju, maka diperlukan pemimpin yang bermental baik, sehingga bisa membuat kebijakan yang pas bagi bangsa kita.
Dari pemaparan ayat Al-Qur’an, penjelasan hadis Nabi, dan pandangan ulama di atas tegas bahwa perbuatan suap menyuap termasuk money politic hukumny adalah haram. Allah SWT meminta agar hamba-Nya menjauhinya sungguh-sungguh. Pun Nabi Muhammad secara tegas melalui sabdanya para pelaku suap-menyap akan mendapatkan laknat yang pedih di akhirat kelak.
Menggunakan Tempat Ibadah untuk Kepentingan Politik Praktis
Pada dasarnya, politik adalah sesuatu yang baik manakala dipraktikan dengan cara-cara yang baik. Apalagi jika politik ditujukan untuk membangun peradaban dan kemajuan agama, hal tersebut patut diapresiasi oleh siapapun. Berbeda dengan praktik politik yang dilakukan hanya untuk memperkaya diri, apalagi memecah belah, politik yang demikian tidak dibenarkan menurut agama Islam.
Politik praktis adalah aktivitas politik yang mengarah pada dukungan dan/atau kampanye kepada kandidat tertentu. Tempat ibadah, dalam hal ini mesjid, tidak boleh digunakan untuk melakukan praktik politik model demikian. Sebab, tempat ibadah tersebut didirikan untuk meningkakan kualitas ketakwaan, bukan untuk dukung-mendukung politisi yang akan mencalonkan diri menjadi pejabat.
Allah SWT berfirman,
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Tubah: 108)
Larangan melakukan politik praktis di dalam mesjid sebab praktik tersebut tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama salaf. Apalagi tidak jarang politik praktis yang dilakukan hanya dengan tebar pesona, merayu para pemilih, dan bahkan melakukan money politic.
Imam Az-Zabidi mengatakan,
ومن منكرات المساجد (كلام القصاص والوعاظ الذين يمزجون بكلامهم البدعة) مما ليس في سيرة السلف (فالقاص إن كان يكذب في أخباره) للحاضرين (فهو فاسق والإنكار عليه واجب) لئلا يعتمد على ما يذكره
Artinya, “Salah satu bentuk kemunkaran di masjid adalah (ucapan shahibul hikayat [tukang cerita/dongeng] dan ceramah para ustadz yang mencampurkan materi bicaranya dengan kebid’ahan) yang tidak dilakukan oleh ulama salaf. (Shahibul hikayat bila berdusta dalam materi yang disampaikan) kepada hadirin (maka ia telah fasik. Pengingkaran terhadapnya adalah sebuah kewajiban) agar materi yang disampaikannya tidak dijadikan pedoman,” (Sayid Muhammad bin Muhammad Al-Husayni Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya’i Ulumiddin, Beirut, Muassasatut Tarikhil Arabi, 1994 M/1414 H, juz 7, halaman 54).
Money Politic Berkedok Zakat Atau Sedekah
Zakat dan sedekah merupakan amalan yang sangat mulia. Pahalanya akan terus mengalir kepada orang yang melakukannya, bahkan setelah ia meninggalkan dunia. Apalagi bersedekah di bulan puasa, pahalanya dilipatgandakan oleh Allah SW. Orang yang bersedekah akan mendapatkan pahala yang sama sebagaimana orang-orang yang berpuasa yang ia beri sedekah.
Namun bagaimana jika zakat atau sedekah yang dilakukan (oleh para kandidat) itu sarat dengan money politic agar dirinya dilirik oleh masyarakat?
Untuk menjawab ini, Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama (MUNAS-NU) pada 2012 di Cirebon, Jawa Barat, pernah menyoroti kasus politik uang yang kian menjamur di republik ini. Para politisi memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan sedekah dari harta miliknya.
Para ulama NU tegas menyebut pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap). Jika pemberian zakat atau sedekah itu dimaksudkan untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat atau sedekah itu sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara dua maksud tersebut. Disamping itu, semakin dominan ambisi politiknya dalam pemberian ini, semakin besar pula lenyapnya keutamaan tersebut.
Selain itu, haram bagi penerima money politic berkedok sedekah itu bila penerima mengetahui maksud pemberian itu dimaksudkan untuk risywah. Adapun bila penerima tidak mengetahuinya, maka hukumnya mubah. Tetapi bila pada suatu saat mengetahui, bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka penerima wajib mengembalikannya. Di musim pemilu, kecil sekali kemungkinan orang tidak memahami maksud terselubung bila seorang politisi memberinya uang meski tanpa berbicara apa pun. Ketika status risywah benar-benar jatuh, maka ia sama dengan memakan harta haram.
Poin berikutnya, apabila penerima risywah (suap) memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah karena pemberian risywah, maka hukumnya haram sebagaimana ia haram menerima risywah. Tetapi jika ia memilihnya semata-mata karena ia merupakan calon yang memenuhi syarat untuk dipilih, maka hukum memilihnya mubah (boleh). Bahkan wajib memilihnya bila ia merupakan calon satu-satunya yang terbaik dan terpenuhi syarat.
Wallahu A’lam.[]
Artikel telah dimuat di Portal Media Akurat.co.