Foto: artikula.com
Menarik untuk dikaji oleh siapa saja bahwa problem kesempurnaan merupakan sebuah wacana yang tidak pernah selesai, sebab kajian ini membahas sebuah kasus yang menyangkut permasalahan jati diri manusia yang bersifat rahasia, sehingga beberapa bidang kajian yang memiliki basis ilmu kemanusiaan, seperti humanisme, sains, agama, dan filsafat menempatkan konsep kesempurnaan sebagai salah satu pembahasan penting untuk dikaji keberadaannya.
Dalam peradaban humanisme Barat, kajian kesempurnaan dimulai pada masa renaisans yang dilatarbelakangi oleh kesadaran manusia terhadap kekuatan individu, seperti berpikir dan mempersepsi, dan nilai-nilai pribadi, meliputi kemuliaan, yang merupakan sebuah substansi bagi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dalam dirinya demi memuaskan hasrat bereksistensi.
Beberapa pemikir yang menggiring wacana kesempurnaan manusia, yaitu Rene Descartes melalui paradigma rasionalisme, dengan slogannya “Cogito Ergo Sum” sebagai sebuah refleksi adanya keberadaan yang berpikir (subjek) dan sesuatu yang dipikirkan (objek).
Keniscayaan subjek dan objek dalam Cogito Ergo Sum melahirkan aliran naturalisme yang dinahkodai oleh Thomas Hobbes pada abad ke-17 yang memandang eksistensi manusia dipengaruhi oleh keberadaan materi yang diklasifikasi dalam tiga kriteria, yaitu terindrawi, terukur, dan tersistematis. Terindrawi, yaitu suatu objek yang nyata dapat dipersepsi oleh pancaindra. Terukur, yaitu suatu keberadaan dapat dihitung, seperti: kecepatan, tinggi, dan beratnya.
Tersistematis, yaitu suatu objek dapat dikatakan sebagai sesuatu yang realitas, apabila ia tersusun dari unsur-unsur materi, seperti keberadaan air yang tersusun dari dua wujud berbeda, yaitu: Hidrogen (H) dan Oksigen (O2). Ketersusunan suatu entitas terhadap entitas lain merupakan suatu keharusan dalam pandangan Naturalisme untuk mengafirmasi materi sebagai kemendasaran segala sesuatu.
Cikal-bakal Naturalisme diteruskan oleh Auguste Comte dengan mengkaji tiga kriteria materi melalui teori tiga periode. Periode pertama, merupakan fase animisme dimana eksistensi manusia dipengaruhi oleh sesuatu bersifat magis. Periode kedua, yaitu fase abstrak yang melibatkan akal instrumen pengetahuan manusia.
Akan tetapi, Auguste Comte menolak periode pertama dan kedua yang dipandang sebagai sesuatu tidak memberi manfaat bagi eksistensi manusia. Adapun fase ketiga, yaitu fase modern yang ditandai dengan kemunculan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, seperti: keberadaan hukum gravitasi dalam fisika Newtown abad ke-17 yang memberikan sebuah pengetahuan awal kepada setiap individu bahwa segala sesuatu akan tertarik ke bawah jika dilempar ke atas disebabkan oleh gaya.
Pandangan Auguste Comte dan Thomas Hobbes ini telah meniscayakan materi sebagai jalan utama mencapai kesempurnaan. Akibatnya, setiap manusia akan menggantungkan eksistensinya pada materi yang mendeskripsikan keberadaannya secara kebendaan.
Pendeskripsian eksistensi secara kebendaan merupakan sebab hukum materi yang senantiasa terbatas. Di satu sisi, perlu diketahui bahwa sikap bergantung pada materi senantiasa menciptakan sebuah pemberontakan dengan melihat kekurangan materi yang dimiliki untuk merebut secara paksa, materi yang dimiliki oleh orang lain, seperti yang terjadi pada Perang Dunia 1 dan 2 yang memperlihatkan minimnya aspek persaudaraan.
Dengan berkaca problematika pemikiran Barat, tentu diperlukan sebuah solusi untuk mengkaji sisi kesempurnaan manusia yang tidak sekadar bergantung pada aspek materialis. Dalam wacana kesempurnaan eksistensi, diketahui terdapat dua arus pemikiran besar, yaitu Agama dan Filsafat.
Agama merupakan sistem kepercayaan yang berpusat pada kitab suci sebagai modul dan Nabi sebagai model yang menjelaskan secara rinci setiap pesan Ilahi. Akan tetapi dalam perkembangan isu keagamaan, para penganut cenderung terjebak dalam pemahaman teksual yang direalisasikan melalui sebuah aksi kekerasan dalam lingkup sosial, sebagaimana isu intoleransi dan kekerasan beragama yang terjadi hingga hari ini.
Dalam sebuah penelitian KOMNAS HAM, mencatat sedikitnya 74 kasus kekerasan umat beragama di seluruh wilayah Indonesia di tahun 2014. Angka tersebut meningkat pada tahun 2015, sebanyak 87 kasus. Pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebanyak 97 kasus. Berdasarkan data tersebut, diketahui problem keagamaan merupakan suatu masalah serius yang disebabkan oleh minimnya ilmu pengetahuan para penganutnya.
Kenyataan di atas menyebabkan fungsi agama sebagai sistem kepercayaan yang memiliki peran menyempurnakan eksistensi manusia tidak terealisasikan. Bahkan justru malah mendeskripsikan minimnya harmonisasi dalam kehidupan masyarakat sosial.
Adapun dalam peradaban filsafat Islam, diketahui bahwa filsafat Mulla Sadra atau biasa dikenal Hikmah al-Muta’aliyah merupakan sebuah paradigma mutakhir yang menjelaskan seluruh kerangka pemikiran Islam, baik materi dan immateri yang diperoleh melalui dua pendahulunya.
Dalam pembahasan kesempurnaan manusia, Mulla Sadra berangkat dari wacana aktualitas jasmani dan batiniyah (dua entitas) yang berperan untuk menyempurnakan eksistensi manusia dimulai dari sebuah pengetahuan dasar (aql al-hayula).
Contoh: Ain yang mengetahui bahwa jujur itu baik melalui pendengaran atau membaca suatu buku dengan indrawi penglihatannya yang dianalisis oleh akal untuk melahirkan korespondensi dari kedua entitas. Korespondensi dua entitas ini mendeksripsikan al-aql al-malakah, yaitu melekatnya suatu pengetahuan dalam diri manusia yang kemudian terealisasi dalam sebuah tindakan disebut al-aql al-fi’il, sebagai upaya takhalli atau penghiasan melalui perbuatan terpuji.
Realisasi ragam tingkatan aql meniscayakan proses tajalli dalam diri manusia untuk mendeskripsikan al-aql al-mustafāt sebagai keberadaan yang memiliki kesempurnaan praktis dan teoritis. Kesempurnaan teoritis mempengaruhi paradigma individu untuk tidak memandang segala sesuatu secara sempit dan tekstual.
Sedangkan, kesempurnaan praktis akan mempengaruhi tingkah laku manusia melalui sikap welas asih dalam lingkup sosial. Pandangan kesempurnaan eksistensi Mulla Sadra selaras dengan budaya welas asih dalam peradaban masyarakat Indonesia melalui sebagai konsep universal.
Welas asih mengajarkan individu untuk menjaga tali persaudaraan melalui sikap gotong-royong, membantu sesama tanpa memadang status materi, suku, dan ras menuju aspek keharmonisasian melalui sikap welas asih untuk mencapai kesempurnaan di muka bumi, dan di hari pembalasan abadi.
Penulis: Nurul Khair (Mahasiswa Magister Ahlul Bayt University, Tehran, Iran).