spot_img

Mengenal dan Menerapkan Konsep Wabi Sabi di Tengah Pandemi

Allah adalah sebaik-baiknya perencana. Maka yakinlah bahwa segala sesuatu itu telah direncanakan-Nya dan segala sesuatu itu selalu ada hikmah di baliknya. Termasuk musibah pandemi Covid-19 sekarang ini yang merajalelai seluruh dunia. Seluruh umat manusia diselubungi kekhawatiran yang memanjang dan memakan waktu yang tidak sedikit dalam menghadapinya.

Allah Swt telah menjelaskan dalam QS. Al-Hadîd [57]: 22 yang artinya: Tiadalah sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Berbagai hal baru mulai dilakukan dan diterapkan manusia untuk menangani masalah-masalah yang terjadi saat musibah ini berlangsung. Salah satunya adalah pada aspek psikologi yang menjadi salah satu aspek penting yang perlu dijaga setelah aspek kesehatan.

Pasalnya, tidak sedikit masyarakat yang merasa tertekan oleh berbagai benturan masalah yang muncul akibat wabah Covid-19 ini. Kemudian mengenai paradigma masyarakat terhadap musibah itu sendiri.

Paradigma masyarakat harus diarahkan kepada hal-hal positif demi menjaga kestabilan kondisi psikis selama musibah wabah ini berlangsung. Misalnya, pada paradigma masyarakat akan dunia yang tidak sempurna karena selalu saja terjadi musibah―yang mana musibah ini selalu saja dipandang buruk dan merugikan―haruslah dirubah.

Lalu apa itu Konsep Wabi Sabi? Apa hubungannya dengan menghadapi pandemi Covid-19 saat ini? Wabi sabi merupakan sebuah konsep yang berasal dari Jepang yang merupakan konsep tentang menghargai keindahan dalam ketidaksempurnaan. Dan ketidaksempurnaan yang dihasilkan dari perkembangan alami kehidupan harus dirangkul sebagai pengingat akan ketidakabadian (National Geographic Indonesia: 2019).

Indonesia pun sebenarnya memiliki konsep Wabi sabi-nya sendiri, terutama di tanah Jawa. Jika menurut Achmad Syaifullah Syahid, Wabi sabinya khas orang Jawa adalah ungkapan “mampir ngombe” untuk menggambarkan bahwa hidup di dunia itu sementara, keindahan dalam fenomena tua dan tidak sempurna. Ini adalah salah satu kekayaan universal yang dimiliki Nusantara.

Menurut D.T. Suzuki, konsep Wabi sabi termasuk salah satu dari enam ciri karakter estetik Zen Buddhisme. Namun, makna konsepnya sangat dalam dan universal. Maknanya baik sehingga bisa kita ambil dan terapkan di dalam kehidupan kita, di dalam seluruh lapisan kehidupan manusia di dunia. Terutama di tengah berlangsungnya musibah Covid-19.

Di dalam Islam, Allah Swt. telah berfirman dan termaktub dalam QS. Al-Hadid [57]: 23 yang artinya; (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.

Wabi sabi menggambarkan apresiasi terhadap suatu keindahan dalam sebuah kesementaraan dan ketidaksempurnaan. Contohnya saat musibah pandemi ini, konsep ini diterapkan untuk lebih bisa memandang musibah ini sebagai ujian yang diberikan Tuhan, karena Tuhan sangat menyayangi kita semua sebagai makhluk ciptaan-Nya dan kita sekali lagi perlu meyakini bahwa segala sesuatu itu terdapat hikmah yang perlu dipetik.

Pandanglah musibah dengan sederhana namun penuh makna. Sesederhana melihat keindahan dedaunan kering yang berguguran jatuh dari pohonnya. Dan kapan waktu setiap helai daunnya itu gugur? Sungguh tidak ada yang tahu kapan waktu yang pasti bagi daun yang gugur berjatuhan barang sehelaipun melainkan atas kehendak dan kuasa-Nya.

Penulis: Dianty Ambarsari (Mahasiswa STFI Sadra Jakarta) .

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles