Rasulullah Saw bersabda dalam salah satu hadis qudsi, bahwa amalan manusia (anak adam) adalah untuknya, kecuali puasa. Sebab ia hanya untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung (HR. Bukhari. 7/226).
Hadis di atas merupakan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hadis ini menjelaskan keistimewaan puasa sebagai salah satu ibadah yang dinisbahkan kepada eksistensi Allah Swt, sebagai Sang Pemberi Pahala kepada setiap hamba-Nya. Di satu sisi, ungkapan Rasulullah Saw. dalam riwayat Imam Bukhari ini juga menjelaskan kedudukan atau posisi puasa dari ibadah mahdalah.
Dengan memahami keutamaan dan posisi puasa dalam periwayatan HR. Bukhari. 7/226 ini, para pemikir Muslim berusaha untuk menguak secara mendalam hakikat dari praktik puasa. Pada kesempatan ini, penulis berusaha mengkaji makna puasa dalam pandangan Ibn Arabi sebagai salah satu arif yang memberikan perhatihan khusus melalui pendekatan tasawuf falsafi.
Ibn Arabi menjelaskan bahwa proposisi atau kalimat sempurna dalam periwayatan Imam Bukhari, “كل عمل ابن ادم له الا الصوم فانه لي و انا اجزي به”, sebagaimana disadarkan kepada Rasulullah Saw. mendeskripsikan hakikat dari puasa ialah pengangkatan derajat atau tingkatan eksistensi ke lokus yang lebih tinggi.
Alasan utama Ibn Arabi menyebutkan hakikat puasa sebagai proses penjagaan dan peningkatan eksistensi, ialah penisbatan dari praktik puasa yang tidak dinisbahkan secara langsung kepada manusia sebagai pelaku ibadah, melainkan disandarkan kepada Allah Swt. sebagai sebuah keutamaan puasa melalui sebuah pengecualian yang tidak dinisbahkan secara langsung kepada anak-anak (keturunan) Adam As.
Sampai di sini, jelaslah bahwa praktik puasa pada dasarnya merupakan sebuah upaya atau usaha untuk memberikan sebuah penisbatan kepada Allah Swt. sebagai keberadaan tertinggi dalam tingkatan derajat eksistensi. Lebih lanjut lagi, Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa penisbatan Allah Swt. dalam praktik puasa merupakan sebuah cara dan langkah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Ibn Arabi menyakini bahwa manusia memiliki ragam kedudukan eksistensi dalam dirinya yang dimulai dari penciptaan akal pertama melalui sisi Allah Swt. hingga eksistensi materi sebagai keberadaan terendah dalam wujud-Nya sebagai manifestasi-Nya (Lihat dalam Kitab Futuhat al-Makkiyah, jil. 13, bab 73, fasl 66, halaman 100).
Manusia memiliki visi untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui ragam tingkatan melalui sikap ketakwaan, sebagaimana manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya;
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaku.
Dari ragam penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa puasa merupakan sebuah praktik yang dinisbahkan kepada Allah Swt. sebagai langkah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dari berbagai tingkatan eksistensi. Ibn Arabi menyebutkan bahwa pendekatan diri dari ragam tingkatan eksistensi merupakan salah satu sikap ketakwaan atau ketundukan.
Sikap tunduk dan takwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. akan membentuk sebuah sikap untuk memncegah diri manusia dari berbagai perilaku dan tindakan yang dapat menghijabi atau membatasi dirinya dengan Sang Wujud tertinggi, Allah Swt.
Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa puasa dalam praktiknya merupakan sebuah langkah, cara, dan jalan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. yang memberikan pengaruh terhadap keberadaan individu untuk tidak bersikap buruk dalam kehidupannya.
Sampai di sini, kita telah memahami bahwa puasa memiliki dua urgensi, yaitu teoritis yang disampaikan oleh Ibn Arabi sebagai langkah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan praktis yang mempengaruhi sikap manusia dalam kehidupan duniawinya.
Jika kita melihat secara universal, pengaruh teoritis dan praktis puasa dalam perspektif Ibn Arabi merupakan jalan kecil untuk memahami tauhid dalam peribadahan. Demi menguak tauhid dalam ibadah, penulis meminjam pemikiran Murtadha Muthahhari dalam karyanya berjudul Mukadimah Bar Jahān Bini Islāmi.
Di dalam karya ini (silahkan buka di bab derajat dan tingkatan Tauhid, halaman 87-89) dijelaskan bahwa derajat tauhid terbagi menjadi tiga bagian; yakni tauhid wujud (dzat), tauhid sifat, dan tauhid ibadah. Tauhid wujud dan sifat merupakan keyakinan secara teoritis mengenai keberadaan Allah Swt. yang Maha Kaya.
Kekayaan dalam wujud-Nya menyebabkan seluruh wujud di luar diri-Nya bergantung kepada-Nya, sebagaimana Murtadha Muthahhari mengutip dalam QS. Al-Fatir ayat 15, berbunyi;
Hai Manusia, kamulah yang berkehendak pada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Murtadha Mutahhari menggarisbawahi kata الغني sebagai kekayaan wujud-Nya. Setelah manusia menyadari bahwa wujud Allah Swt. sebagai keberadaan yang tinggi, sebagaimana juga telah dijelaskan sebelumnya oleh Ibn Arabi, ia akan menyadari bahwa keberadaan-Nya bergantung dan butuh kepada Allah Swt.
Manusia akan beribadah, baik ibadah mahdah maupun ghaira mahdah sebagai media mendekatkan diri kepada Allah dan aktualitas dari kesadaran dirinya kepada-Nya. Dua hal ini merupakan sebuah tingkatan tauhid yang mengarahkan manusia untuk mengetahui wujud dan kedudukan Allah Swt., sebagaimana juga pandangan Ibn Arabi mengenai kedudukan dan makna puasa dalam periwayatan Imam Bukhari.
Dengan memahami ragam penjelasan Ibn Arabi dan penegasan Murtadha Mutahhari, kita dapat mengetahui bahwa puasa secara maknawi mengajarkan manusia untuk mengetahui ragam tingkatan dalam eksistensi-Nya yang berasal dari dzat atau wujud Allah Swt., wujud-Nya memancarkan manifestasi untuk menciptakan tingkatan eksistensi yang dimulai dari akal pertama hingga keberadaan fisik manusia di dunia.
Lantas bagaimana manusia dapat menaiki tingkatan eksistensi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.? Di sini, Ibn Arabi menjelaskan kedudukan dari puasa sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Jika merujuk kembali dari HR. Bukhari; “كل عمل ابن ادم له الا الصوم فانه لي و انا اجزي به”, maka kita akan mengetahui bahwa puasa merupakan jalan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya sebab Allah SWT secara langsung menisbahkan diri-Nya sebagai penerima amalan tanpa menisbahkan kepada anak-anak (keturunan Adam as secara langsung).
Penisbatan amalan puasa kepada Allah Swt. akan membangun sebuah keyakinan untuk mencegah diri dari perbuatan yang menghijabi dirinya dengan Allah Swt. sebagai sikap tunduk. Di sinilah, kita dapat melihat bahwa puasa dalam pandangan Ibn Arabi tidak lain mengarahkan manusia untuk memahami Tauhid wujud dan ibadah, sebagaimana juga ditegaskan oleh Murtadha Mutahhari.
Pandangan demikian merupakan sebuah pandangan yang unik untuk ditelaah dan dikaji secara berkelanjutan bagi para pelajar dan peneliti yang bergerak di bidang tasawuf untuk mengetahui secara berkelanjutan falsafah puasa menurut pandangan Ibn Arabi.
Penulis: Nurul Khair (Mahasiswa Magister Universitas Ahlul Bait Tehran, Iran).