spot_img

Mendudukkan Perkara Poligami

 

ISTIMEWA

Kalau kita ibaratkan, pembahasan poligami itu laksana bola pimpong yang terus dipukul dari segala arah, akan terus memantul dan entah sampai kapan akan berhenti. Begitupun soal duduk perkara poligami. Ada pro dan tidak sedikit pula yang kontra. Biasanya yang pro adalah kaum adam, dan yang kontra, siapa lagi kalau bukan kaum hawa. Namun masalahnya, pro dan kontra yang ada tidak pernah menemui titik temu. Seperti permusuhan antara Madara dan Hashirama dalam seri anime Naruto.

Sebenarnya persoalannya satu, masing-masing pihak belum memahami secara utuh, baik dari pro maupun yang kontra. Terma poligami yang selalu menjadi istilah ‘sensitif’ bagi kaum hawa. Belum lagi kaum adamnya yang dikit-dikit bawa ‘jaminan surga’ dengan branding surat An-Nisa [4]: 3. Wes, pokoke angel!

Padahal, baik hukum Islam maupun maupun negara (Hukun Peradata Islam Indonesia) sudah sangat metodologis dan logis untuk menemukan titik temu.

Monogami Sebagai Asas Keharmonisan Rumah Tangga

Dalam Islam sendiri, poligami bukanlah prioritas, melainkan monogami. Jadi, jangan mengkampanyekan poligami hanya dengan bekal baca terjemah surat An-Nisa [4]: 3. Lalu dengan pede mempelopori anjuran poligami sebagai bentuk kepatuhan istri pada suami dan, lagi-lagi, iming-iming surga. Surga bukan punya nenekmu, Bung. Praktik poligami seperti inilah yang meresahkan. Bukan malah sesuai prinsip syariat, tapi sebaliknya.

Syekh Wahbah Az-Zuhayli berpendapat bahwa poligami bukan bangunan ideal rumah tangga Muslim. Bangunan ideal rumah tangga itu adalah monogami. Menurutnya, poligami adalah sebuah pengecualian dalam praktik rumah tangga. Praktik ini dapat dijalankan karena sebab-sebab umum dan sebab khusus. Walhasil, hanya kondisi darurat yang membolehkan seseorang menempuh poligami.

إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة.

Artinya, “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’. Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus.” (Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Vol. VII, Hlm. 169)

Senada dengan itu, Syekh Ahmad Musthofa al-Maragi dalam tafsirnya juga menjelaskan,

أن تعدد الزوجة يخالف المودة والرحمة وسكون النفس إلى المرأة وهي أركان سعادة الحياة الزوجية فلا ينبغي لمسلم أن يقد م إليه إلا لضرورة مع الثقة بما أوجبه الله من العدل وليس ورآء ذلك إلا ظلم المرء لنفسه وامرأته وولده وأمته.

Artinya, “Praktik poligami bertentangan dengan ekspresi cinta, sayang dan kenyamanan terhadap pihak wanita. Padahal ketiganya merupakan pilar keharmonisan kehidupan berumah tangga. Sehingga tidak baik jika seorang muslim memilih untuk poligami, kecuali memang sudah dalam kondisi darurat dan yakin betul bisa berlaku adil yang sudah diwajibkan Allah Ta’ala. (Tanpa itu semua) poligami hanya akan menzalimi diri sendiri, istri, anak dan budak amatnya.” (Ligat Tafsir al-Maraghi, Vol. IV, Hlm. 128)

Kompleksitas Hukum Poligami

Hukum poligami juga tidak bisa seenaknya saja dikampanyekan ‘sunah’. Poligami adalah perkara mubah (boleh). Karena hukum asalnya mubah, kemudian hukumnya tidak mengikat. Hukumnya bisa berkembang. Bisa sunah, makruh, bahkan haram. Terkandung pra-kondisi yang melatarbelakangi.

Poligami bisa mubah jika sang istri tidak bisa memberikan keturunan dan suami merasa ‘yakin’ bahwa dia bisa berlaku adil. Poligami dihukumi makruh jika tujuannya hanya sebatas melampiaskan nafsu biologis suami dan suami ‘ragu’ untuk bisa berlaku adil. Poligami juga bisa haram jika suami memang sudah dipastikan tidak bisa adil, bisa karena dia ekonominya pas-pasan, tidak bisa lagi mencari nafkah, dsb. (Lihat Al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuh, Vol. IV, Hlm. 35)

Poligami dalam Hukum Perdata Islam

Di atas adalah ketentuan ketat dari hukum Islam secara universal. Artinya tidak terikat dengan hukum negara tertentu. Sekarang coba kita menengok Hukum Perdata Islam. Mengapa perlu? Karena kita hidup di negara dan hukum yang telah diatur negara harus dipatuhi. Jika tidak, kita yang akan repot. Hak-hak kita sebagai warga negara tidak akan terpenuhi.

Misal saja anda nikah sirri dengan istri kedua (poligami). Nikah sirri berarti tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan negara, termasuk tidak adanya Pencatatan Pernikahan. Karena tidak tercatat, maka status suami istri tidak diakui negara dan tidak akan mendapat hak-hak sebagaimana mestinya. Misal ada program bantuan keluarga dari pemerintah, anda tidak dapat. Ingin membuat KK tidak bisa. Membuat akta kelahiran anak tidak bisa. Dan masih banyak lagi. Persoalannya satu, anda tidak punya bukti resmi dari negara.

Negara sudah menerapkan kebijakan ini lama sekali. Bisa lihat sendiri dalam Penjelasan Umum nomor 2 (dua) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tetang Perkawinan.

Dalam Hukum Perdata Islam Indonesia, ada alasan, syarat-syarat dan dan prosedur poligami yang harus dilalui. Ada tiga alasan yang bisa diajukan supaya mendapat izin poligami oleh Peradilan. Tersebut dalam Pasal 4 (2) UU Perkawinan, yaitu:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Ada tiga syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu:

1. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Tanpa alasan dan memenuhi syarat-syarat di atas, Peradilan tidak akan memberikan izin poligami.

Setelah kita melihat pemaparan di atas. Saya kira hanya orang-orang (baca: suami) yang tidak memahami kajian poligami secara utuh, tidak memahami tafsir ayat poligami dan ‘buta hukum’ negara. Belum lagi adanya pelintiran dan provokasi buta tentang hukum poligami dari orang-orang yang mengustazkan diri di medsos. 

Begitupun pihak istri. Tidak perlu antipati dengan hukum poligami yang begitu kompleks. Jangan sampai disikapi dengan emosi dan sepihak. Hukum Islam dan negara sudah mengkonsep secara metodologis, sehingga jika praktik poligami dilakukan sesuai prosedur (dan sangat kecil kemungkinan terjadi), tidak akan ada pihak yang dirugikan.

Penulis: Muhammad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Asahiddiqiyah Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles