ISTIMEWA
Istilah Akulturasi Budaya kita kenal sebagai pendekatan dakwah (islamisasi) para Walisongo di Nusantara. Tapi jauh sebelum itu, ternyata Nabi Muhammad Saw. sudah menggunakan pendekatan ini untuk mengislamkan orang Arab, bahkan al-quran mengabadikannya.
Jika kita berkunjung ke Kudus, sempatkanlah untuk mampir ke masjid yang bernama Al Aqsha atau yang lebih dikenal dengan Masjid Menara Kudus. Rasanya tidak mungkin untuk melewatkan momen selfie atau foto bareng dengan background masjid dan menaranya yang khas itu.
Di sebelah masjid penginggalan Sunan Kudus ini terdapat menara setinggi 18 meter yang dibangun tahun 1687. Kalau kita amati, akan terlihat sangat jelas mirip candi Hindu. Bangunanya terbuat dari bata merah, berundak tanpa semen, pinggangya bercawat aneka keramik dari Vietnam, frame dinding yang menonjol mirip relief di Candi Prambanan dan Borobudur. Dari menara inilah, nama ‘Masjid Menara Kudus’ diambil untuk nama masjid.
Masjid menara kudus ini merupakan bukti sejarah dari dakwah Walisongo melalui pendekatan Akulturasi Budaya. Sebuah pendekatan dengan mempertemukan dua atau lebih budaya akibat internalisasi lalu membentuk budaya baru (new culture) yang original. Sebuah pendekatan dalwah yang cantik untuk megislamkan masyarakat Jawa tanpa mengangkat pedang, memekik takbir atau tindak kekersan yang justru menakut-nakuti dan bikin lari.
Memang, sebelum Islam masuk dan berkembang di Indonesia, negeri kita banyak memiliki corak Hindu dan Budha. Setelah Islam masuk, banyak yang terpengaruh, mulai dari bangunan-bangunan, seni budaya, sastra hingga upacara.
Akluturasi Budaya Dakwah Rasulullah
Jauh sebelum pendekatan ini dipopulerkan di Nusantara oleh Walisongo, pada masa awal-awal Islam Nabi Muhammad sudah menggunakan pendekatan ini saat dakwah di Mekah menghadapi orang-orang Kafir Quraisy. Dalam hal ini Islam hadir sebagai tahmil, yaitu menerima, menyempurnakan dan melanjutkan dari apa-apa yang sudah ada di masyarakat.
Bahkan hal ini diabadikan di dalam al-quran. Dalam al-quran surat at-Taubah [9]: 37, Allah Swt. berfirman,
إِنَّمَا ٱلنَّسِىٓءُ زِيَادَةٌ فِى ٱلْكُفْرِ ۖ يُضَلُّ بِهِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يُحِلُّونَهُۥ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُۥ عَامًا لِّيُوَاطِـُٔوا۟ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ فَيُحِلُّوا۟ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ ۚ زُيِّنَ لَهُمْ سُوٓءُ أَعْمَٰلِهِمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ. (التوبة [٩]: ٣٦)
Artinya, “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS At Taubah : 36)
Bangsa Arab pra-Islam masih mewarisi ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Termasuk di antaranya adalah adanya keyakinan untuk menghormati bulan-bulan yang dimuliakan (Asyhur al-Hurum), yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Untuk memuliakan bulan-bulan tersebut, dilarang untuk melakukan peperangan dan pertumpahan darah antar suku.
Tapi kemudian orang-orang kafir menukar bulan Muharram dengan bulan Safar. Artinya yang tadinya bukan Muharram dimuliakan dengan konsekuensi tidak boleh ada perang dan pertumpahan darah, menjadi boleh. Sementara hal sebaliknya diberlakukan untuk bulan Safar.
Di masa lalu ketika orang-orang Arab selesai haji, mereka berkumpul menghadap Junadah ibnu Auf. Junadah memberi khutbah kepapada mereka. Dalam isi khutbahnya, Junadah mengharamkan bulan Rajab, Zul Qa’dah, Zul Hijjah; dan menghalalkan bulan Muharram di satu tahun, lalu menggantikannya dengan bulan Safar, dan di tahun lainnya ia mengharamkannya.
Mereka merubah ketentuan ini berdasarkan nafsu mereka dan tentu telah merubah tatanan yang ditetapkan oleh Allah Swt. melalui syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kemudian Islam datang dan mengembalikan seperti semula. Sebagaimana disebutkan dalam al-quran surat at-Taubah [9]: 36,
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ (التوبة [٩]: ٣٦)
Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.” (QS At Taubah : 36)
Pendekatan Akulturasi Budaya, baik yang dipraktikan Walisongo maupun jauh pada zaman Rasulullah, merupakan metode efektif untuk meyebarkan ajaran Islam dengan cara yang santun melalui psikososial. Sehingga Islam mudah diterima dan minim penolakan.
Penulis: Muhammad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Asshiddiqiyah Jakarta).