Ilustrasi (ISTIMEWA)
“Itulah konsep nasionalisme yang didirikan Indonesia. Bukan orang Jawa, bukan orang Sumatera, bukan orang Kalimantan, Sulawesi, Bali, atau lainnya. Tapi orang Indonesia, yang bersama-sama menjadi fondasi satu kesatuan nasional.” Ir. Soekarno
Pandangan bapak proklamator Republik Indonesia mendeskripsikan bahwa persatuan merupakan salah satu pilar dan pandangan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Pancasila, sila ketiga. Konsep persatuan dalam sila ketiga menjelaskan setiap warga negara Indonesia harus menjaga dan menjunjung tinggi rasa kebersamaan dan persaudaraan, meskipun bangsa Indonesia berbeda suku, bahasa, etnis, dan agama. Kaelan dalam salah satu karyanya, “Filsafat Pancasila” menjelaskan makna persatuan dalam alinea sila ketiga merupakan representasi dari Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu) sebagai semboyan bangsa Indonesia, sehingga setiap individu yang lahir di bumi pertiwi harus merealisasikan nilai-nilai persatuan berlandaskan rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Pandangan Kaelan dipertegas oleh Darmodihardjo yang menyebutkan kata persatuan dalam sila ketiga mengandung makna bersatunya suatu bangsa dari berbagai corak, baik budaya, ras, dan agama dalam suatu wilayah untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai cita-cita bersama. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata persatuan dalam sila ketiga merupakan representasi dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mendeskripsikan bersatunya masyarakat Indonesia dari berbagai perbedaan, seperti ras, suku, dan agama untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial yang berlandaskan rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita memahami bahwa persatuan dalam sila ketiga merupakan optimalisasi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berbasis pada kemanusiaan yang beradab sebagai identitas moral bangsa. Akan tetapi, untuk mengomptimalkan kesejahteraan dan keadilan sosial, masyarakat Indonesia dihadapkan oleh masalah radikalisme yang berusaha memecah belah kedaulatan dan keutuhan bangsa melalui praktik kekerasan dan sikap intoleransi yang semakin tahun mengalami peningkatan. Peningkatan kasus radikalisme di Indonesia dapat diketahui melalui penelitian Muhammad AS Hikam dan Stanislaus Riyanta yang berjudul, “Development of Radical groups in Indonesia Post Govoverment Regulations in Liue of Law no. 2/2017 Regarding Community Organization and Law no 5/2018 Regarding Terrorism in National Secuarity Perspective” menyebutkan sebanyak 1.494 kasus intoleransi dan kekerasan beragama terjadi sejak tahun 2000 hinga 2018. Menurut Muhammad AS Hikam dan Stanislaus Riyanta, tingginya kasus intoleransi dan kekerasan beragama didasari oleh pemahaman doktrinal masyarakat untuk menolak segala kepercayaan di luar keyakinannya.
Penolakan masyarakat terhadap ragam kepercayaan, dijelaskan oleh Wahid Fundation dalam survei “Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia” menyatakan kasus intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan selama 2 tahun terakhir. Pada tahun 2016, diketahui sebanyak 51% dari 1.500 korespondensi bersikap intoleransi terhadap beberapa keyakinan, seperti Syiah, Kristen, Yahudi, dan Hindu. Kemudian mengalami peningkatan di tahun 2017, sebanyak 57,1% dengan jumlah korespondensi yang sama. Terjadinya peningkatan intoleransi dalam 2 tahun terakhir disebabkan oleh sikap inklusif masyarakat terhadap kelompok yang berbeda keyakinan dengannya.
Berdasarkan data penelitian di atas, dapat diketahui bahwa kekerasan dan intolerasi merupakan indikator utama terjadinya radikalisme di Indonesia. Jika kasus kekerasan dan intoleransi terus mengalami peningkatan, maka mengindikasikan permusuhan dalam kehidupan masyrakat. Akibatnya, keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia akan terancam. Selain mengancam keutuhan dan kedaulatan bangsa, kasus radikalisme juga menyebabkan tidak terealisasinya keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai cita-cita tertinggi bangsa. Implikasinya, persatuan Indonesia di masa mendatang tidak memiliki integritas yang ditandai dengan merosotnya identitas moral bangsa.
Demi mengatasi ragam permasalahan di atas, dibutuhkan sebuah solusi untuk menyosong integritas persatuan bangsa di masa mendatang sebagai sikap merealisasikan cita-cita tertinggi bangsa Indonesia. Dalam struktur pertahan Indonesia, diketahui Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki tugas menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. TNI memiliki peran penting untuk mengoptimalkan penurunan kasus radikalisme di Indonesia. Akan tetapi, TNI tidak dapat bekerja secara maksimal tanpa bantuan masyarakat, sehingga perlu adanya sinergisitas antara TNI dan masyarakat dalam melawan radikalisme.
Tulisan ini akan membaca sinergisitas TNI dan masyarakat dalam melawan radikalisme yang bertujuan untuk menyongsong integritas persatuan bangsa yang lebih baik di masa mendatang. Langkah utama melawan perkembangan radikalisme ialah perlu adanya pencegahan secara bertahap yang meliputi 4 aspek, antara lain pencegahan dini, total, terarah, dan berkelanjutan. Pertama, pencegahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir terjadinya permusuhan di tengah masyarakat dengan mencegah provokasi dan penyebaran ujaran kebencian. TNI merupakan alat pertahanan NKRI memiliki tugas untuk membatasi segala ruang yang dapat menimbulkan perpecahan, demi memelihara keamanan, ketertiban, dan mengayomi masyarakat. Adapun tugas masyarakat, ialah meningkatkan khazanah pengetahuannya mengenai perbandingan dan perbedaan keyakinan untuk mencegah sikap intoleransi dalam kehidupan sosialnya.
Kedua, pencegahan total bertujuan untuk menerapkan hard power berupa sanksi hukuman sebagai efek jera bagi pelaku radikalisme dan soft power sebagai optimalisasi deradikalisme. Pada dasarnya, hard power dan soft power berusaha melakukan counter terrorism untuk mengendalikan pertumbahan kasus radikalisme di Indonesia. TNI dalam pencegahan total memiliki peran untuk merealisasikan soft power yang meliputi pembinaan dalam mengubah mindset tentang ideologi jihad dan memperbaiki hubungan sosial mantan pelaku pidana radikalisme guna mencegah terjadinya tindakan kejahatan yang sama. Adapun peran masyarakat dalam pencegahan total, ialah menggemakan jargon anti-radikalisme di media sosial. Di era globalisasi ini, arus perkembangan informasi bergerak begitu cepat sehingga ragam ujaran kebencian dan permusuhan rentan terjadi. Demi membantu TNI, masyarakat memiliki peran untuk menyuarakan jargo anti-radikalisme dan melapor para pelaku ujaran kebencian.
Ketiga, pencegahan tearah, ialah proses optimalisasi tujuan dan arah yang ingin dicapai melalui pencegahan dini dan total. Diketahui bahwa tujuan utama pencegahan dini dan total yang diaplikasikan oleh TNI dan masyarakat berusaha untuk mewujudkan integritas persatuan bangsa sebagai proses mengaktualkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Keempat, pencegahan keberlanjutan, ialah pencegahan yang dilakukan secara terus-menerus sebagai upaya mencabut akar radikalisme di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan 4 aspek pencegahan di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat dan TNI memiliki hubungan saling melengkapi untuk mencegah perilaku radikalisme yang dipandang dapat mengancam keutuhan, kedaulatan, dan cita-cita bangsa Indonesia. Jika keempat pencegahan ini dapat direalisasikan secara optimal, maka integrasi persatuan Indonesia di masa mendatang akan lebih baik, sehingga dapat mendeskripsikan angka kebahagiaan dan ketentraman masyarakat sebagai indikator kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasas pada nilai-nilai Pancasila, sebagaimana harapan Bung Karno “Aku meminta kepadamu sekalian, untuk betul-betul menganjurkan hal Pancasila ini kepada segenap rakyat agar supaya selamatlah negara kita ini.”
*Nurul Khoir, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ahlul Bait Iran.