foto: tribuns
Kedudukan bahasa Indonesia yang tidak mampu mengimbangi bahasa Arab terkadang membuat sebagian orang salah menggunakan penerjemahan. Kesalahan ini tidak jarang berakibat pada kesalahan mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam yang ditulis dengan bahasa Arab untuk diterapkan di Indonesia. Demikian itu karena bahasa Arab lahir tidak bisa lepas dari pertautan politik, budaya, sosial, dan juga dimensi-dimensi lainnya. Sebagian dari kata-kata bahasa Arab yang seringkali disalahartikan adalah ‘jihad’ dan ‘qital’. Dua kata ini kerapkali disalahgunakan untuk melakukan kekerasan tanpa ditelaah secara mendalam bagaimana esensi maknanya.
Jihad sendiri bermakna ‘bersungguh-sungguh’. Para ulama memaknainya secara terminologi yaitu bersungguh-sungguh dalam menjalankan kebaikan yang dapat memberikan kemaslahatn bagi banyak orang. Kata jihad memiliki keterkaitan dengan kata ‘ijtihad’ dan ‘mujahadah’. Disebutkan oleh Prof Nasaruddin Umar, bahwa makna ijtihad yaitu perjuangan dengan nalar, dan makna mujahadah yakni perjuangan dengan kekuatan rohani. Hal itu karena perbuatan yang dilakukan atas nama agama namun tidak didasari dengan nalar yang sehat dan pertimbangan rohani, apalagi sampai membuat kerugian banyak orang, tidak dinamakan jihad. Hal demikian justru bisa dinamakan dengan tindakan keonaran (al-fasad).
Dalam Al-Qur’an, kata jihad lebih sedikit digunakan sari kata qital. Salah satu ayat Al-Qur’an yang memuat kata jihad adalah QS. At-Taubah [9]: 73 yang artinya: Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Para Mufasir Al-Qur’an menegaskan bahwa turunnya ayat ini ialah manakala Nabi Muhammad dan para sahabatnya mulai disakiti secara fisik dan secara terus menerus serta dicegat untuk beribadah. Mereka dilempari dengan batu dan kotoran unta ketika melangsungkan salat dan ibadah lainnya.
Allah Swt mengizinkan kaum Muslimin melakukan jihad bukan sebagai satu-satunya alternatif berdakwah. Mereka mengedepankan kesantunan, diskusi dan musyawarah. Hal ini dibuktikan dengan baru diizinkannya mereka melakukan jihad setelah tahun ke 22 masa kenabian. Sebelum itu, selama orang kafir Quraisy tidak menyakiti fisik secara membabi-buta dan melakukan kekerasan di saat orang Islam beribadah, mereka selalu mengdepankan rasa santun dan cara-cara lembut untuk mengajak masuk Islam. Itu artinya, perbuatan yang mengatasnamakan jihad namun dilakukan bukan diperangi dahulu atau dilarang beribadah oleh orang kafir maka tidak dinamakan jihad. Bisa jadi hanyalah luapan emosi yang dibalut dengan mengatasnamakan agama.
Sedangkan kata qital bermakna ‘membunuh’. Kata ini lebih spesifik bermakna peperangan dengan orang kafir daripada makna jihad yang berarti tidak hanya mengandung arti peperangan. Dalam konteks perang (qital), kaum Muslim pun lebih mengedepankan penjagaan diri, bukan dengan reaktif. Selain itu, penjagaan diri yang dilakukan orang Islam pun dengan mengedepankan ‘soft power’, bukan dengan ‘hard power’. Orang-orang Islam melakukan qital harus seirama dengan misi ajaran Islam yang mengedepankan perdamaian dan keselamatan, bukan dengan dasar dendam apalagi kebencian.
Dalam melakukan qital dengan orang-orang kafir, nabi selalu berpesan kepada para sahabatnya agar selalu mempertimbangkan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman dan tidak menghancurkan tempat-tempat ibadah. Dalam peperangan Rasulullah Saw dan para sahabatnya mengedepankan akhlak. Ketika musuh tertangkap oleh orang Islam misalnya, apalagi sudah mengungkapkan dua kalimat syahadat, maka umat Islam dilarang membunuhnya. Hal ini pernah terjadi ketika Rasulullah menegur dengan tegas panglima perang Usamah yang membunuh musuh padahal sudah bersyahadat.
Baik jihad ataupun qital pada dasarnya memang pernah dilakukan oleh umat Islam dalam menghadapi orang-orang kafir Quraisy. Jihad diterapkan oleh orang-orang Islam tidak hanya dalam rangka mempertahankan diri menghadapi musuh, tetapi juga melangsungkan kegiatan-kegiatan positif untuk kemaslahatan umat. Pada posisi inilah umat Islam tak perlu berjihad fisik dengan memerangi orang-orang kafir (jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi). Mereka dapat berjihad dengan melakukan amal ma’ruf nahi munkar dalam bentuk apapun untuk memberikan kemanfaatan bagi banyak orang. Sebagaimana jihad, qital juga dilakukan oleh Muslimin untuk mempertahankan martabat dan harga diri Islam, bukan untuk memulai reaksi peperangan. Qital dilakukan dengan mengedepankan akhlak, rasa kasih sayang dan tidak berdasarkan niat pembunuhan.
Artikel asli dimuat di: sangkhalifah.co
Penulis: Lufaefi (Mahasiswa PTIQ Jakarta).