foto: hukumonline
Sebagian pekerja di negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka adalah pekerja yang memenuhi syarat yang ditentukan negara, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas suatu jabatan atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku. Sebagai konsekuensinya, mereka harus taat aturan yang diberlakukan oleh negara. Mereka menjadi abdi negara yang harus siap patuh dan mengikuti apapun yang ditentukan oleh pemerintah.
Kepatuhan PNS yang harus dijalankan oleh semua pegawai negeri tersebut bahkan menjadi kewajiban bagi mereka untuk siap dibaiat negara sebagaimana Peraturan Pemerintah Indonesia No. 21 Tahun 1975 pasal 6, dengan bunyi, “Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Saya akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab.”
Bagaimana status ketaatan PNS kepada pemerintah dalam kaitannya dengan taat kepada Allah? Apakah taat kepada pemerintah berarti tidak taat kepada Allah? Apakah berjanji tunduk kepada aturan pemerintah berarti menyekutukan Allah? Atau apakah berkomitmen untuk setiap pada tata aturan pemerintah dianggap kafir serta murtad sebagaimana diklaim oleh pemilik akun Facebook Farooq Maghaazii? Bagaimana juga labelisasi murtadnya PNS dengan QS. Muhammad: [47]: 25-26 sebagaimana dituduh olehnya?
Sudah sejak 14 abad yang lalu Allah melalui Al-Qur’an-Nya menegaskan bahwa taat kepada pemerintah (ulil amri) merupakan suatu kewajiban. Bahkan ketaatan pada penguasa disandingkan setelah taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya QS. An-Nisâ’: [4]: 59. Al-Mawardi dalam menjelaskan ayat tersebut menyatakan bahwa kata ‘ulil amri’ satu sama lain antar Mufasir berbeda pemaknaan, ada yang memaknai ahli fiqh, ahli ilmu, dan lain sebagainya. Akan tetapi menurutnya yang lebih tepat adalah bermakna umarâ, yaitu para pemimpin yang konotasi maknanya ialah pemimpin masalah kehidupan dunia. Dalam konteks ini maka, presiden adalah tergolong sebagai umarâ, karena merupakan pemimpin yang mengurusi persoalan dunia umat manusia.
Taat kepada pemerintah tidak bisa diperlawankan dengan taat kepada Allah, atau bahkan dengan ketaatan kepada siapapun. Taat kepada pemerintah bukan berarti enggan untuk berpaling dengan taat kepada Allah. Akan tetapi semata untuk menjalankan aturan main dalam mengabdi atas dasar taat kepada pemerintah yang juga merupakan perintah Allah melalui Al-Qur’an QS. An-Nisâ’: [4]: 59. Ini tidak berbeda dengan kita taat kepada orang tua ataupun kepada guru. Apakah taat kepada orang tua atau guru akan dianggap musyrik atau murtad? tentu jawabannya adalah tidak. Taat kepada keduanya adalah dalam rangka menjalankan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan orang tua dalam kehidupan dan diberlakukan guru dan sekolah agar selama proses belajar dapat mudah menggapai apa yang dicita-citakan kita.
Ketaatan PNS kepada hukum yang tertuang dalam UUD 1945 dan juga demokrasi yang merupakan sistem negara Indonesia tidak sama sekali membuat PNS musyrik, apalagi murtad. Ketaatan kepada hukum-hukum tersebut semata untuk dapat memberikan panduan agar PNS dapat mengabdi kepada negara dengan baik dan tentu tidak menyimpang dari aturan agama. Semua hukum tata negara di dunia semuanya merupakan produk hukum manusia yang merupakan khalifah Allah yang memiliki legalitas untuk memimpin di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Tidak berbeda dengan UUD 1945 dan UUD 1945, pun produk hukum dalam sistem khilafah juga merupakan produk manusia. Hukum yang lahi merupakan interpretasi akal manusia atas teks dan mengharmoniskannya dengan konteks. Maka taat kepada hukum-hukum negara dalam model apapun sebetulnya merupakan ketaatan kepada aturan bersama yang merupakan keberlanjutan mandat Allah kepada manusia untuk memimpin.
Klaim kekafiran PNS dengan menggunakan QS. Muhammad [47]: 25-26 merupakan perbuatan yang mengada-ada. Para Mufasir menegaskan bahwa status kafir dalam ayat di atas adalah status yang disandang oleh orang Yahudi yang sebelumnya beriman namun memilih menyatu dengan Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraidhah untuk sama-sama memerangi orang Mukmin. Mereka dianggap kafir sebab telah menghianati perjanjian dengan orang Islam. Ayat ini tidak ada kaitan sama sekali dengan ketaatan seseorang kepada pemerintah atau hukum negara, lebih-lebih soal ketaatan PNS kepada UUD 1945 dan demokrasi. Jangan sampai alih-alih menggunakan ayat namun hakikatnya telah terjerumus pada pemerkosaan ayat yang merupakan perbuatan keji.
Akhirnya bahwa, ketaatan PNS kepada pemerintah adalah ketaatan kepada Allah yang memerintah umat manusia taat kepada ulil amri. Ketaatan pada pemerintah bukan berarti tidak hendak taat kepada Allah, sebab makna taat memiliki makna yang bergradasi, ada taat kepada Allah, Rasul, orang tua, pemerintah, guru dan sebagainya. Ketika kita taat kepada salah satunya bukan berarti menolak taat kepada selainnya. Taat kepada Allah tentu saja merupakan konsekuensi yang harus selalu dijalankan seorang Muslim, kapanpun. Akan tetapi taat kepada selainya bukan soal keimanan, tetapi agar apa yang sedang dijalankan seseorang dapat menjadi tertata dan teratur sehingga dapat menanamkan kemaslahatan yang merupakan perintah agama.
Artikel asli dimuat di sangkhalifah.co
Pemulis: Lufaefi (Mahasiswa PTIQ Jakarta).