Sebelum ditetapkan sistem penanggalan Islam, cara umat manusia menentukan titimangsa setiap peristiwa adalah dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada saat itu seperti penyerangan tentara gajah dibawah pimpinan Raja Abrahah, pembangunan Ka’bah, Perang Fijar, dan lain sebegainya.
Bahkan jauh sebelum itu umat manusia sudah menggunakan sistem primitif demikian seperti menggunakan peristiwa diturunkannya Nabi Adam dari surga, diutusnya Nabi Nuh, bencana banjir bah pada zaman Nuh, dan beberapa peristiwa pengutusan nabi-nabi sampai Rasulullah saw.
Hingga pada akhirnya di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab terjadi problem administratif. Dikisahkan, sekali waktu Abu Musa al-Asy’ari mengadukan kepada Umar perihal surat sang khalifah yang tidak memiliki titimangsa sehingga membingungkan.
Agar tidak terjadi masalah serupa di kemudian hari, Umar segera berembug dengan sejumlah tokoh untuk membuat sistem penanggalan yang teliti. Setelah diskusi panjang diputuskanlah sistem penanggalan Hijriah dengan mengacu pada peristiwa hijrah umat Muslim pada Rabi’ul Awwal 622 M.
Dalam riwayat lain dikisahkan, ada seseorang menghadap Umar bin Khattab dengan membawa dokumen utang-piutang yang sedang terjadi konflik. Sebab, dalam dokumen tersebut tertulis jatuh tempo pada bulan Sya’ban, akan tetapi tidak dijelaskan Sya’ban tahun kapan; tahun lalu, sekarang, atau tahun depan?
Melihat kejanggalan ini, Umar pun segera mengambil lengkah dengan mengumpulkan sejumlah tokoh untuk berembug. Diputuskanlah untuk ditetapkan tahun Hijriah. Diskusi kembali berlangsung ketika mencoba memilih kira-kira sistem penanggalan ini mengacu pada peristiwa besar apa?
Sejumlah usulan kemudian muncul. Ada yang berpendapat agar mengacu pada hari kelahiran Nabi Muhammad, ada yang mengusulkan mengacu pada tahun diutusnya Nabi (bi’tsah), ada pula yang mengusulkan mengacu pada peristiwa hijrah umat Muslim dari Makkah ke Madinah pada Rabi’ul Awwal 622 M.
Dari sekian usulan yang diajukan, disepakatilah hijrah sebagai acuan penanggalan. Sebab, peristiwa hijrah merupakan momen transformasi besar-besaran dakwah Islam.
Dalam riwayat lain dijelaskan, dalam diskusi itu juga dibahas mengenai model sistem penanggalan yang akan dibuat. Ada yang mengusulkan meniru model bangsa Romawi dengan mengacu pada masa Dzulqarnain. Karena masa itu terlalu jauh maka usulan ditolak.
Ada juga yang mengusulkan agar meniru model penanggalan kerajaan Persia. Hanya, karena biasanya raja Persia akan merevisi sistem tanggal raja sebelumnya maka usulan ini juga tidak disetujui.
Hingga akhirnya mereka berpikir berapa lama Nabi Muhammad berdakwah di Makkah. Setelah diketahui selama 10 tahun, maka disepakati agar sistem penanggalan mengacu pada peristiwa hijrah.
Lantas mengapa tahun Hijriah diawali dengan bulan Muharram? Alasannya karena bulan ini merupakan momen pemulangan jamaah haji. Sehingga harapannya bisa mengawali tahun dengan penuh berkah sebab muslim yang baru saja pulang haji diampuni dosa-dosanya. Nabi saw bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Artinya :Siapa saja yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, niscaya ia pulang (suci) seperti hari dilahirkan oleh ibunya (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).[]