Bulan Ramadan merupakan bulan kesembilan dalam penanggalan bulan Hijriah yang senantiasa dinanti oleh umat Muslim untuk melakukan serangkaian aktivitas beragama secara intens berdasarakan perintah yang termuat dalam kitab suci Al-Qur’an, yaitu dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185:
….bulan Ramadan ialah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembedanya.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an di atas terkait keistimewaan bulan Ramadan yang dipandang sebagai awal diturunkannya kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pembedanya mengenai benar dan salah dalam serangkaian kehidupan umat Muslim di dunia dan akhirat (Shihab, 2012).
Sementara itu ‘Aidh al-Qarni dalam Tafsir Muyassar menafsirkan ayat di atas dengan maksud adanya suatu kemuliaan yang diberikan Allah Swt. kepada umat Muslim dengan diturunkannya Al-Qur’an di bulan Ramadan sebagai sebuah pedoman untuk mencapai sebuah kebahagiaan, keselamatan, dan keberhasilan di dunia dan akhirat (Al-Qarni: 2007).
Sampai di sini, kita mengetahui bersama bahwa keistimewaan utama bulan suci Ramadan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185 ialah diurunkannya kitab suci Al-Qur’an yang dipandang oleh para Mufasir sebagai pedoman atau petunjuk untuk membedakan sesuatu yang benar dan salah dalam kehidupan manusia, sehingga manusia diperintahkan untuk membaca dan memahami pesan-pesan yang termuat dalam Al-Qur’an.
Di satu sisi, dalam ayat yang lain, yaitu pada QS. Al-Ankabut [29]: 45 menyebutkan bahwa pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an senantiasa diselaraskan dengan praktik salat, sebagaimana bunyi ayat tersebut yaitu:
… bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah salat sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Al-Qur’an dan salat merupakan dua entitas yang mengantarkan pemahaman manusia mengenai benar dan salah secara teoritis, serta keji dan munkar secara praktis. Benar dan salah secara teoritis, ialah pemahaman manusia untuk mengetahui sesuatu yang dipandang benar dan salah, sebagaimana termaktub dalam ayat Al-Qur’an di atas.
Sedangkan maksud keji dan munkar secara praktis ialah menghindari perbuatan keji dan munkar dalam serangkaian aktivitas beragama manusia yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Makarim Shirazi dalam Tafsir Al-Amtsal menjelaskan bahwa hakikat salat ialah memenjara hawa nafsu yang dipandang sebagai hijab ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya.
Hal itu sebab hawa nafsu senantiasa mengarahkan manusia pada suatu perbuatan keji dan munkar, sehingga siapa saja yang jatuh di dalamnya merupakan sebuah kebodohan yang tidak didasari oleh pemahamannya terhadap sesuatu yang benar dan salah, sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an sebagai kitab pedoman kehidupan manusia.
Lebih lanjut, Makarim Shirazi menjelaskan untuk membangun sebuah pemahaman yang kuat, umat Muslim harus memahami hakikat salat yang tidak sebatas dari gerakan tubuh, akan tetapi meneguhkan keyakinannya terhadap petunjuk Al-Qur’an untuk menghindari kesalahan dan perbuatan keji, sehingga dapat meraih sebuah keselamatan, kebahagiaan, dan keberhasilan di dunia dan akhirat.
Makarim Shirazi menyebutkan terciptanya sebuah keselamatan, kebahagiaan, dan keberhasilan merupakan sebuah kenikmatan dari praktik salat yang tidak diketahui oleh mayoritas umat Muslim yang tidak sebatas dari sebuah gerakan tubuh.
Sampai di sini, kita dapat mengetahui bersama bahwa ragam petunjuk yang termaktub dalam Al-Qur’an dapat dimaknai melalui praktik salat. Sebagaimana pemaknaan secara hakikatnya yang memiliki urgensi dan kenikmatan dalam menghantarkan manusia dalam proses ketakwaannya kepada Allah Swt., yaitu penyingkapan seluruh hijab yang membatasi keduanya untuk membangun sebuah keyakinan. Keyakinan itu yakni keyakinan dalam memahami bahwa tidak ada eksistensi yang bergantung kepada-Nya, sedangkan Dia tidak bergantung kepada seluruh eksistensi.
Murtadha Muthahhhari dalam magnum opusnya Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi, bab tauhid, menyebutkan bahwa tingkatan tertinggi dari sebuah peribadahan ialah mengantarkan manusia pada pemahaman mengenai keberadaan dirinya yang terbatas secara mutlak yang senantiasa bergantung pada suatu entitas tertinggi, yaitu kepada Allah Swt. Di samping itu berefek pada pengakuan tak ada lagi ego atau keakuan, melainkan sebuah ketundukan secara utuh yang dilakukan oleh seseorang untuk meraih sebuah keselamatan, kebahagiaan, dan keberhasilan di dunia maupun akhirat.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa salat dan kenikmatannya berusaha untuk membangun kedekatan antara Allah Swt. dan seorang hamba dengan menyingkap seluruh hijab dalam hidupnya. Proses penyingkapan hijab dapat dicapai dengan memaknai salat sebagai penjara hawa nafsu untuk menghindari ragam perbuatan keji dan munkar dalam kehidupan manusia untuk merealisasikan petunjuk (الهدى) dan pembedanya (الفرقان).
Dalam konteks bulan Ramadan sudah semestinya umat Muslim membangun ketakwaan diri kepada Allah Swt. untuk meraih sebuah keselamatan, keberhasilan, dan kebahagiaan dengan memaknai hakikat salat dan kenikmatannya. Bukan hanya menjalankannya sebagai kewajiban, akan tetapi sebagai kebutuhan ruhani yang akan menghantarkan seorang hamba kepada jalan kebenaran yang hakiki.
Penulis: Nurul Khair (Mahasiswa Magister Universitas Ahlul Bait, Tehran, Iran).