spot_img

Falsafah Shalat: Tafsir QS. Al-Ankabut [29]: 45

Salat merupakan salah satu tiang agama yang paling pokok, serta mengajarkan umat Muslim untuk tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Ankabut [29]: 45, yaitu:

ان الصلاة تنهى عن الفحشاء و المنكر

Dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. 

Jika memahami potongan QS. Al-Ankabut [29]: 45 ini, maka kita dapat mengetahui secara pasti bahwa salat bertujuan untuk mencegah atau membatasi manusia dari perbuatan keji dan munkar dengan menggunakan kata الفحشاء و المنكر yang berarti mengarah pada perilaku individu dalam konteks sosial.

Akan tetapi, perlu kita cermati bersama mengapa Allah Swt tidak menggunakan kata ضلال الهدى و , yaitu petunjuk dan kesesatan sebagai tujuan utama praktik salat. Dalam permasalahan ini, Makarim Shirazi dalam Tafsir Al-Amtsal menjelaskan hakikat utama dari salat ialah memenjara keakuan atau egoisme yang dipandang sebagai hawa nafsu tertinggi manusia.

Jika kita melacak makna keakuaan dalam peradaban filsafat eksistensialis Barat, seperti Jean Paul Satret yang memahami kata “aku” sebagai subjek utama, yang memiliki kehendak bebas terhadap ragam kemauan yang diinginkan melalui sebuah praktik atau tindakan dalam konstruk sosial.

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa salat sebagai penjara hawa nafsu bertujuan untuk membatasi ragam perilaku yang bebas atau bertindak berdasarkan keinginan individu tanpa didasari oleh pemahaman baik dan buruk.

Adapun alasan kenapa salat tidak bertujuan untuk memberikan petunjuk (الهدى) dan membatasi diri dari kesesatan (ضلال) ialah karena ragam petunjuk beserta pembedanya (kesesatan) telah terjelaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185, yang berbunyi:

شهر رمضان الذي انزل فيه القران هد للناس و بينات من الهدى و الفرقان

Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembedanya.

Allah Swt telah menurunkan Al-Qur’an di bulan yang berkah, yakni Ramadan.  Jika umat Muslim berpegang teguh kepadanya, niscaya ia memperoleh sebuah petunjuk sebagai proses pembatasan diri dari kesesatan di dunia.

Salat juga merupakan sebuah aktualitas dari petunjuk Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk mendirikan salat dengan tujuan menghidari kesesatan, seperti perbuatan keji dan kemungkaran dalam konstruk sosial.

Dalam hal ini, kita dapat pahami bersama bahwa salat juga berperan sebagai tiang petunjuk bagi kehidupan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika salat berperan sebagai tiang petunjuk bagi manusia, lalu mengapa individu yang mengerjakan salat masih saja berbuat keji dan mungkar dalam kehidupannya?

Makarim Shirazi menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat Muslim belum mengetahui prinsip dari praktik salat. Mereka hanya memahami sebagai gerakan tubuh dan aturan-aturan fikih tertentu saja.

Menurutnya, prinsip dari salat ialah sebuah kesadaran atas siapa yang ia sembah, apa tujuan dari praktik tersebut, dan apa yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila manusia dapat menyadari praktik dari salat yang ia lakukan, niscahya ia akan merasakannya.

Lebih lanjut lagi, apabila ia sadar dalam mempraktikan salat maka akan dapat menghadirkan sebuah keyakinan dalam dirinya bahwa serangkaian aktivitasnya senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Sehingga, ia dapat membatasi dirinya dari ragam tindakan keji dan mungkar.

Sampai di sini, kita dapat mengetahui bahwa pada hakikatnya salat menurut Makarim Shirazi yaitu membatasi manusia dari ragam perbuatan keji dan mungkar atau mematikan sisi keakuaan diri yang didasari dari sebuah kesadaran terhadap dirinya. Dan menjadikan Allah Swt sebagai keberadaan yang disembah dalam ruang peribadahan dan ketakwaan.

Jika kita sadar dan yakin bahwa wujud Allah Swt sebagai entitas yang utama, maka setiap manusia diwajibkan untuk menyembahnya sebagai sikap kebergantungan eksistensinya kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Adz-Dzariyat [51]: 56, yaitu:

وما خلقت الجين و الانسان الا ليعبدون

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (kepada-Ku). 

Manusia dan jin merupakan makhluk ciptaan-Nya yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Utamanya dari menjalankan ibadah, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, senantiasa membatasi perbuatan mungkar dan keji dalam kontruks sosial, serta mendekatkan eksistensinya kepada Allah Swt sebagai wujud yang mutlak di dunia.

Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa salat merupakan inti dari kehidupan manusia yang tidak sekadar dipandang sebagai tiang agama. Salat bukan hanya memenjarakan hawa nafsu dan keakuaan manusia untuk menghindari ragam tindakan keji dan mungkar dalam bingkai sosial saja, namun dalam bingkai peribadahan, salat juga merupakan salah satu bentuk peribadahan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Salat seorang hamba tentu harus didasari oleh kesadaran terhadap siapa yang disembah dan sadar terhadap tujuan dari praktik salat yang tidak sebatas gerakan tubuh dan hukum fikih saja yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya, akan tetapi juga mengetahui arti dari eksistensi dirinya.

Makarim Shirazi, menyebutkan bahwa manusia yang telah sampai pada tahap kesadaran dalam praktik salat dan sadar terhadap kedekatannya dengan Allah Swt, maka akan menjelaskan citra Allah Swt yang senantiasa bertindak berdasarkan kebenaran dan menghindari kemungkaran untuk mencapai sebuah kesempurnaan eksistensi di dunia dan akhirat.

Referensi:
http://www.hodaalquran.com/rbook.php?id=4569&mn=1     

Penulis: Nurul Khair (Magister Ahlul Bait University, Tehran).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles