Masyarakat muslim, khususnya warga Nahdliyyin bangga dengan capaian Ketua Umum PBNU. Beliau dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu (10/2/23).
Gus Yahya membawa tema “Membangun Peradaban dalam Keragaman Kemanusiaan”. Terkesan, tema yang diangkat sudah tidak asing di telinga warga NU. Berbicara keragaman, kemanusiaan, dan peradaban, adalah hal-hal lumrah mereka.
Beliau dalam pidatonya menawarkan istilah fikih baru. Meskipun, hemat penulis, gagasan-gagasannya tidak ada yang baru. Fikih baru bukan fikih klasik, yang terkesan kaku, hanya fokus urusan ibadah, dan abai dengan perkembangan peradaban.
Gus Yahya berharap, dengan fikih baru, umat Islam lebih fokus pada visi kesejahteraan, persatuan antar-umat beragama, dan memperjuangkan peradaban yang lebih baik. Fikih klasik hanya akan membuat peradaban mandeg, dan kehidupan yang kaku.
Agaknya, apa yang disampaikan Ketua Umum PBNU itu tidak berbeda dengan konsep Islam Nusantara. Islam yang tidak hanya berbicara ibadah dan masalah ukhrawi, lebih jauh Islam yang mengedepankan peradaban, harmonisasi Islam dan budaya, serta bervisi mengentas kemiskinan.
Visi Gus Yahya sama dengan Ketua Umum PBNU sebelumnya, Prof KH Said Aqil Siroj dengan Islam Nusantaranya. Kedua tokoh tersebut ingin membangun Islam yang berbudaya, berperadaban, dan mensejahterakan umat manusia tanpa pandang golongan.[]