ISTIMEWA
Nuansanet.id, Qardhawi, begitu panggilan Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang memiliki gagasan-gagasan brilian soal isu-isu kontemporer. Salah satu di antara gagasannya yang patut diapresiasi adalah kritik terhadap radiikalisme. Dalam bukunya, Ash Shahwah Al Islamiyyah bainal Juhud wa At Tatharruf, ia mengkritik keras tindakan terorisme yang dianggap sebagai beban sejarah umat Islam. Keprihatinan beliau semakin memuncak dikala munculnya anak-anak muda yang terjerumus dalam radikalme dan terorisme. Salah satu rekomendasi dalam buku tersebut untuk terhindar dari faham radikalisme agar generasi muda memahami ilmu agama melalui majma’ ulama, melalui jalur ulama yang jelas kredibilitasnya, dan bukan asal belajar kepada orang yang tak dikenal track-record keilmuannya.
Untuk menjembatani adanya tindakan radikal dan teror, Qardhawi meletakkan fondasi multikulturalisme yang terdiri atas beberapa hal. Pertama, kaum Muslimin harus menyadari bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Keragaman dalam pemahaman, keyakinian, bahkan agama adalah hal yang tak bisa dipungkiri. Hal itu sebab teks-teks keagamaan bersifat multi-interpretatif. Kita mesti menolak kelompok yang selalu mengklaim diri paling benar dalam beragama, seperti pengusung khilafah, baik ISIS maupun HTI yang selalu ekslusif dalam beragama. Mereka adalah dua kelompok yang tidak memahami sejarah Islam soal perbedaan pandangan, padahal para sahabat Nabi dulu telah terlibat dalam perbedaan penafsiran Al-Qur’an.
Prinsip kedua untuk menangkal radikalisme dan terorisme adalah menyadari bahwa perbedaan adalah rahmat. Berbeda dengan kelompok radikal dan teroris seperti ISIS dan HTI yang menduga bahwa perbedaan dalam memandang konsep beragama dan bernegara adalah sebuah kekufuran, dan hukumannya harus dimusuhi serta diberantas dengan dalil mengganti menggunakan sistem yang paling Islam. Padahal dalam kenyataannya, bagi Qardhawi, perbedaan selain menjadi rahmat juga sebagai kekayaan budaya Islam sehingga umat Islam bisa menentukan pilihan dalam beragama. Namun demikian, kelompok teroris dan khilafah menolak bahwa Islam dan pemahamannya harus sama dan satu. Di luar itu harus ditolak dan dihumus dengan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun sikap.
Setelah memahami akan kerahmatan perbedaan prinsip selanjutnya adalah memilih pendapat yang moderat. Upaya ini, bagi Qardhawi, sebagai jembatan untuk menghindari pemahaman yang ekstrim baik kanan maupun kiri. Apalagi menurut Qardhawi, watak moderat adalah watak umat Islam, sebagaimana ditegaskan melalui QS. Al-Baqarah: 143. Menganalisa dari sini, dalam pandangan Qardhawi, para kelompok teroris dan radikalis seperti ISIS dan HTI bukanlah kelompok yang moderat, sebab mereka memiliki pemahaman ekstrim kanan, yang menginginkan perubahan keagamaan dan konsep negara secara total serta mengganti yang sudah mapan. Bahkan bisa jadi, jika membaca dengan cara oandang Qardhawi ini, kelompok teror dan radikal sejatinya bukan Islam, sebab tidak memiliki watak moderat sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an itu.
Prinsip yang keempat untuk menolak radikalisme dan terorisme adalah menjauhi sikap mengklaim kebenaran sepihak. Merasa paling sempurna dalam beragama adalah watak kelompok radikal. Mereka mengusung konsep jihad, misalnya, dengan peperangan melawan non Islam yang tidak memusuhi. Atau misal lain, mengusung negara Islam transnasional, yang padahal ditolak di mana-mana, sebagaimana konsep khilafah HTI dan ISIS. Dalam memperjuangkan ideologinya itu mereka menganggap bahwa hanya perspektifnya yang paling benar, sementara yang lain salah. Konsep beragama, berjihad, bernegara, dan berbangsa yang tidak sejalan dengan pemikiran dianggap kafir dan taghut, serta wajib diperangi. Bagi Qardhawi, sikap ini mutlak harus dihindari untuk menjauhi tindakan radikal yang dikecam Islam.
Prinsip kelima, yang tidak kalah pentingnya, adalah tolong menolong dalam hal yang disepakati oleh semua golongan. Prinsip ini sejalan dengan prinsip pembentukan Piagam Madinah yang disepakati oleh golongan Ansor, Muhajirin, Yahudi, Nasrani, dan kaum Pagan. Mereka bersepakat untuk legalisasi konstitusi negara Madinah tersebut. Orang-orang Islam tidak ada yang menolak konstitusi hasil kesepakatan umat Madinah yang super multikultural itu. Demikian juga seharusnya penyepakatan kepada ideologi Pancasila, UUD, dan konsep bangsa NKRI yang merupakan kesepakatan antar-golongan di awal masa kemerdekaan. Konsep ini harus dihormati sama-sama sebagaimana masyarakat Madinah menghormati Piagam Madinah, tidak lain, yaitu untuk menghindari kekerasan dan sikap radikal.
Toleransi terhadal hal-hal yang diperselisihkan para ulama adalah prinsip multikulturalisme dalam cara pandang Al-qaradawi untuk menolak paham radikal dan teroris. Menoleransi hal-hal yang diperselisihkan, seperti konsep bermazhab, konsep negara Islam, konsep jihad, konsep hijrah, dan lain sebagainya, adalah sebuah upaya yang harus dilakukan untuk terus menolak kelompok radikal, baik pengasong khilafah maupun pembuat teror lainnya. Prinsip ini sebetulnya, bagi orang yang akalnya sehat, pasti akan menerimanya. Toh, Mazhab dalam fikih saja berbeda-beda dan memiliki cara pandang yang berbeda pula dalam meyakini model keagamaan masing-masing. Ini bertolak dengan cara pandang kelompok teroris dan radikal yang enggan mau mentoleransi perbedaan, baik perbedaan dalam beragama maupun berbangsa.
Prinsip-prinsip tersebut di atas penting disadari bagi generasi muda untuk menolak paham-paham radikal dan teror yang secara kasat mata terkesan Islam, namun hakikatnya hendak merusak Islam dari dalam. Prinsip-prinsip tersebut perlu direnungkan untuk menjaga agama dan negara dari ancaman kekerasan para pengusung khilafah dan teror lainnya yang selalu mengatasnamakan agama untuk aksi tak berkemanusiaannya.[]
Penulis: Lufaefi (Penulis Buku Keislaman).