spot_img

Civil Religion dalam Wawasan Pancasila; Angin Segar Bagi Islam Indonesia

ISTIMEWA

Nuansanet.id, Rintangan dan tantangan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia adalah tidak adanya sosok pancasilais (manusia Pancasila), sebagaimana Islam memiliki Muhammad, Kristen memiliki Yesus, dan agama-agama lain yang juga memiliki sosok tauladan. Kenyataan ini disadari atau tidak memunculkan generasi yang menolak Pancasila, utamanya dari sebagian umat Islam, karena Pancasila dianggap tidak jelas panutannya. 
Pancasila diklaim sebagai ideologi taghut, yang sama sekali tidak patut untuk diyakini umat Islam. Gagasan-gagasan yang embroinya sudah ada pasca Indonesia merdeka ini terus mengkampanyekan ideologi baru (new ideology), dengan menjanjikan kejelasan dan arahnya. Menyikapi fenomena ini Yudi Latif dalam bukunya “Wawasan Pancasila” memberikan gagasan segar tentang Civil Religion; agama sipil. Bagi Yudi, Pancasila adalah “agama” yang hadir di tengah masyarakat Indonesia, yang, kehadirannya bukan untuk menggeser agama-agama yang sudah ada. 
Dari sisi epistemologi, Yudi mendasari Pancasila sebagai civil religion melalui preseden Piagam Madinah, yang, dibangun di atas entitas politik berdasarkan konsepsi negara-bangsa. Negara Madinah didirikan atas dasar penyatuan kekuatan masyarakat yang berbeda-beda, untuk satu tujuan. Dalam piagam Madinah disebut bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki hak atas agama mereka. Yahudi, Muslim, dan Kristen, memiliki kebebasan dalam beragama. Antara satu kelompok dengan yang lain saling memberi nasihat. 
Konsepsi negara Madinah sangat menghormati perbedaan pandangan dan mengakomodir pendapat yang berbeda. Hal ini tercermin dalam dialog perjanjian damai Hudaibiyah, di mana misalnya Suhail banyak tidak setuju dengan apa yang ditulis Ali tentang khas Islam dan pribadi Rasulullah. Suhail meminta agar dalam perjanjian tidak disebut kalimat “Bismillah ar-rahman ar-rahim”. Begitu ia juga tak setuju dengan sebutan kalimat “Muhammad Rasulullah”. Selama itu Muhammad mengakomodir apa yang diinginkan Suhail.
Konsepsi Negara Madinah disadari atau tidak telah menyejarah ke Indonesia. Dihapusnya tujuh kata Piagam Jakarta yang disinyalir adanya diskriminasi kelompok tertentu pada akhirnya dihapus untuk mengakomodir pendapat-pendapat yang tidak setuju dengan tujuh kata itu. Kelompok yang pro pun menyetujui untuk dihapusnya tujuh kata itu, untuk menerima dan memberi hak yang sama antar kelompok agama.
Dalam konteks Pancasila, piagam Madinah relevan sebagai upaya menghadirkan kemaslahatan dan kebahagiaan bersama. Dasar ontologinya, sebagaimana menurut Yudi Latif, adalah kehendak mencari titik temu. Piagam Madinah yang dikomandoi Nabi Muhammad dengan mengakomodir pemeluk agama lain, sebagiannya tentu disuling dari nilai-nilai agama universal. Seperti demikian adalah Pancasila, meski bukan agama secara simbolik, ideologi Pancasila sebagiannya disuling dari nilai-nilai agama universal, sehingga dapat diterima oleh semua pemeluk agama.
Dalam tataran aksiologi, pengamalan nilai-nilai Pancasila harus melibatkan berbagai peran dan inisiatif berbagai komunitas. Pancasila tidak boleh hanya menjadi sarana negara untuk mendisiplinkan masyarakat agar sesuai keinginan negara, akan tetapi Pancasila juga harus menjadi sarana masyarakat untuk mendisiplinkan penyelenggaraan negara. Dengan begitu maka posisi Pancasila sebagai civil religion selain memenuhi cita-cita umat Islam, juga menjadi dasar yang harus diakui dan dijalankan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, serta sama-sama saling check and balance. 
Penulis: Lufaefi (Mahasiswa PTIQ Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles