Ilustrasi Kriminalisasi/ISTIMEWA
Pada hari Ahad (13/9/2020) telah terjadi penusukan terhadap salah satu Pendakwah Syiekh Mohammad Ali Jaber di Masjid Falahuddin pada acara wisuda Tahfidz Qur’an, Kota Bandar Lampung. Peristiwa ini menyebabkan Syiekh Ali menderita luka tusuk dil kanan bagian atas. Hal inilah mengundang reaksi banyak kalangan bahwa telah terjadi kriminalisasi ulama. Istilah paling populer dari berbagai media adalah penggunaan kata “kriminalisasi”. Bahkan dapat dikatakan penggunaan terminologi tersebut acap kali menghiasi berbagai laman berita cetak maupun online. Ada banyak orang sering menggunakan kata “kriminalisasi” tersebut.
Meskipun dalam faktanya sejarah Islam membuktikan adanya upaya kriminalisasi terus terjadi sekalipun mendapat penentangan dari sebagian umat Islam. Yang pertama, penentangan terhadap ajaran Islam serta penolakan, intimidasi, dan ancaman kepada para Nabi dan Rasul, ulama, dan aktivis dakwah adalah sunnatullah yang akan senantiasa terjadi.
Penghinaan berupa tuduhan teroris dan radikal yang disematkan kapada para ulama sebenarnya ditudingkan juga kepada Baginda Nabi, sebagaimana dalam firman Allah SWT, “Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Alquran dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila” (QS. Al-Qalam 68:51).
Dalam beberapa diskursus pengetahuan tentu perlu mengemukakan definisi kriminalisasi ulama, yang acap kali dilontarkan oleh sebagian orang. Sebetulnya simpel saja, kriminalisasi ulama itu memang ada dan wajar.
Istilah “kriminalisasi ulama” sendiri sedang marak dikumandangkan di bumi Indonesia. Hal ini mengacu kepada pemuka agama atau para ulama yang dikaitkan dengan hal atau hal-hal yang melanggar hukum.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertiannya yang lebih dipersempit mengenai ulama, yaitu “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.” Jadi, pemuka atau pemimpin agama Islam bisa disebut sebagai ulama, sesederhana itu meskipun pada praktiknya menjadi ulama atau menjadi ahli agama Islam (seharusnya) bukanlah hal yang sederhana. Masih membutuhkan banyak kriteria, seperti halnya standarisasi keshahihan hadis memiliki syarat syarat khusus yang harus terpenuhi, meskipun asal dan sumber hadis tersebut dari kalangan ulama yang dalam pengetahuannya.
Namun ada yang menarik dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, kedudukan ulama ini memang sedikit menjadi perdebatan, karena ulama sebenarnya, biasanya, dan semestinya menyelesaikan masalah dengan dakwah, musyawarah, dengan dibantu salat minta petunjuk (istighasah), bukan berdemonstrasi. Dalam hal inilah biasa terjadi penyelewengan arti ulama.
Sedangkan kriminal memiliki definisi yang berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang atau pidana. Namun hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh pakar hukum, bahwa merujuk dari penggunaan kata “kriminalisasi” yang berkembang saat ini, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa kriminalisasi sepertinya dimaknai sebagai tindakan aparat penegak hukum menetapkan seseorang melakukan perbuatan melawan hukum atau sebagai pelaku kejahatan atas pemaksaan interpretasi perundang-undangan. Dalam hal ini aparat penegak hukum dianggap seolah-olah melakukan tafsir sepihak atau tafsir subyektif atas perbuatan seorang, lalu kemudian diklasifikasikan sebagai pelaku tindak pidana.
Harus diketahui, bahwa pengertian kriminalisasi demikian bukanlah arti yang benar dalam sudut pandang ilmu hukum. Sebab kriminalisasi merupakan salah satu studi kriminologi yang mempelajari perilaku individu untuk dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan menelusuri sebab musabab kecenderungan orang melakukan kejahatan. Kriminalisasi tidak lain bagian dari kajian kriminologi itu sendiri.
Oleh karena itu persepsi yang banyak berkembang di kalangan umum atas makna kriminalisasi pada dasarnya terdapat sebuah kekeliruan, jika kita kembali pada makna kriminalisasi yang dilihat dari asal-usul munculnya kata tersebut. Kriminalisasi bukanlah stigma, pelabelan atau bukan kata yang berkonotasi negatif, namun perumusan sebuah perbuatan menjadi perbuatan pidana dalam perundang-undangan yang pada intinya juga menjadi objek studi hukum pidana materil.
Meskipun ulama dan kriminal adalah dua hal yang saling berlawanan, tapi keduanya bisa saling beririsan. Seorang ulama tentunya bisa menjadi kriminal. Begitu juga sebaliknya, seorang pelaku kriminal bisa saja adalah ulama.
Ulama dan kriminal tentunya adalah dua definisi yang berbeda dan bertentangan satu sama lainnya. Ulama misalnya, dalam bahasa Arab memiliki arti “ilmuwan” dan secara harafiah “orang yang terpelajar”. Sedangkan menurut Encyclopedia of Islam (2000) memiliki arti sebagai yang “menunjukkan para ilmuwan dari hampir semua disiplin ilmu”. Lebih khusus lagi, dalam konteks Islam Sunni, para ulama dianggap sebagai “penjaga, pemancar, dan penafsir pengetahuan agama, doktrin, dan hukum Islam”.
Penulis: M. al-Mubarak al-Bugisi, S.Hd., M.Ag (Mahasiswa Doktor Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an Jakarta).