ISTIMEWA
Nuansanet.id, Terorisme masih menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia dan dunia. Aksi-aksi kekerasan masih menyeruak di permukaan. Di mulai sejak peristiwa September 2001 dengan penyerangan Gedung World Trade Center (WTC) USA terorisme masih bergulir ke semak-semak permukaan masyarakat.
Aksi kekerasan dalam beragama itu selalu muncul didasari kelompok teror dengan mengatasnamakan adanya ayat-ayat pedang dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat pedang yang berjumlah 105 itu menjadi ensiklopedia ayat-ayat teror bagi kelompok teroris dan dijustifikasi sebagai dalil ajaran perang melawan non Muslim.
Diakui atau tidak, secara geneologis, pemikiran ekslusif ini mulanya muncul dimulai sejak pemerintahan Bani Umayyah (661-1030 M) di semenanjung Jazira Arabia dan juga Spanyol. Tumbuhnya keilmuan Islam semasa pemerintahan Bani Umayyah ternyata juga memiliki catatan yang harus dikritisi.
Beberapa keilmuan Islam yang berkembang di masa dinasti ini sebagiannya adalah Ulum Al-Qur’an dan juga Fikih. Namun demikian, kedua kajian Islam ini sebetulnya lahir tidak bisa lepas dari pengaruh politik dinasti pada saat itu, dan berdampak pada lahirnya pemikiran keagamaan yang ekslusif dan rigid hingga hari ini.
Adalah teori nâsikh dan mansûkh (abrogasi ayat Al-Qur’an) disadari atau tidak sebetulnya telah memancing lahirnya pemikiran keagamaan yang ekslusif dan berwajah garang. Bagaimana misalnya ayat-ayat perang seperti QS. At-Taubah: 36 dan semisalnya yang jumlahnya tidak sedikit itu dianggap telah me-naskh ayat-ayat damai seperti salah satunya QS. Al-Baqarah: 256. Dengan ini, kelompok teror berbangga diri sebab merasa aksi-aksi kekerasan yang dilayangkan telah diizinkan Al-Qur’an.
Teori lain tentang Ulum Al-Qur’an yang juga menjadi salah satu teori yang patut ditilik ulang dengan kaitannya dengan pemahaman agama teror adalah teori sinonimitas (tanâsub). Karena konsep ini, kelompok teror menyamakan begitu saja antara jihad, qitâl, qatl, harb, dan ghazwah. Padahal jihad tidak selalu diartikan mengangkat senjata, dan qital misalnya, juga tidak diartikan perang dalam arti ofensif, namun lebih kepada mempertahankan diri.
Tidak hanya Ulum Al-Qur’an, beberapa teori fikih yang lahir di masa Dinasti Umayyah juga ikut memotivasi lahirnya gerakan keagamaan ekstrim. Lihat saja misalnya, di dalam kitab-kitab fikih klasik hampir semua dibahas persoalan jihad, dan mencengangkannya, teori ini selalu diartikan sebagai perang melawan orang kafir baik mereka menyerang terlebih dahulu atau tidak. Lihat saja definisi Imam Syafi’i (767-820 M masuk dalam tahun Dinasti Umayyah) dalam Al-Umm soal jihad, ulama fikih yang dianut mayoritas Muslim Indonesia ini memaknai jihad sebagai peperangan melawan orang kafir baik mereka reaktif kepada Muslim maupun tidak.
Teori yang tidak kalah penting dalam fikih yang juga ikut melahirkan pemikiran keagamaan yang ekstrim adalah pembagian daerah menjadi Dâr al-Harb dan Dâr al-Islâm. Daerah-daerah yang dianggap Khalifah Dinasti dianggap sebagai negara kufur dan halal darah penduduknya. Sungguh mencengangkan. Jika ini kita biarkan begitu saja dan diwarisi oleh generasi Islam ke depan, tinggal tunggu kehancurannya.
Mengakhiri tulisan ini penulis menyimpulkan, bahwa teori-teori ulum Al-Qur’an dan fikih di atas lahir bukan murni karena pemikir keilmuan, namun sarat akan nuansa politis. Teori nâsikh-mansûkh, tarâduf, dan Dâr al-Harb serta Dâr al-Islâm, lahir untuk menjadi senjata Dinasti untuk ekspansi kekuasaan. Usaha memperluas kekuasaan yang dilakukan dengan peperangan diembel-embeli teori-teori keagamaan untuk memotivasi masyarakat pro rezim pada masanya, tidak terkecuali teori Imam Syafi’i tentang jihad dalam rangka mendukung kekuasaan.
Kita tak bisa hanya bertaklid pada konsepsi-konsepsi klasik yang cukup problematis ini. Perlu ada konstruksi pemahaman baru atas keilmuan-keilmuan Islam yang lahir kental dengan nuansa politik itu. Sehingga, fitrah Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak direduksi oleh kelompok-kelompok teror menjadi agama lanatan lil alamin. []
Penulis: Lufaefi (Penulis Buku Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan).