Foto: tribun
Di tengah pandemi Covid-19 masih ada saja sebagian orang yang lebih mementingkan egoisme dalam beragama dibandingkan dengan persatuan untuk melawan virus. Anjuran pemerintah untuk melakukan sosial distancing dan pysical distancing tidak dihiraukan dengan mencatut dalil-dalil agama.
Pepatah Islam mengatakan:
الصحة تاج على رؤوس الأصحاء لا يراه إلا المرضى
Kesehatan adalah mahkota bagi kepala orang-orang yang masih sehat. Tidak bisa merasakannya kecuali mereka yang sedang sakit.
Setiap dari kita mengetahui apa yang sudah disampaikan peramedis dan pemerintah soal bahayanya kerumunan masa di tengah pandemi Covid-19. Ketika satu orang dinyatakan positif – dalam satu Masjid atau Gereja – maka semua jamaah yang berada di dalam tempat ibadah harus diisolasi. Selama 14 hari mereka harus dikatantina, yang bisa jadi memakan banyak biaya, yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan medis dan pasien kritis Covid-19.
Kita memang patut menjadi umat beragama yang semangat dalam melaksanakan ibadah dan ritualnya. Namun jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membahayakan bagi banyak orang. Bukannya menambah pahala, yang ada justru hanya menambah dosa dan sengsara.
Salah satu hal yang membuat Islam dikatakan sebagai agama paripurna adalah selalu melibatkan spiritual dan rasional. Tidak melulu soal spiritual, tanpa rasional, ataupun sebaliknya. Bahkan dalam praktiknya Islam lebih mendahulukan rasional daripada mengejar kesempurnaan spiritual. Maka, jika ada orang beragama, namun lebih fanatik kepada hal-hal spiritual dan mengesampingkan sisi rasional, boleh jadi ada yang salah dalam cara beragamanya.
Sebagai contoh, bersuci, seperti berwudu, dan mandi junub bagi yang punya hadas besar menjadi syarat sah salat. Salat adalah ritual spiritual, sementara wudu dan mandi, di samping memiliki nilai dogmatis (ta’abbudi), juga menunjukan nilai rasionalis-medis. Orang yang wudu dan mandi, maka badannya akan sersih dan segar. Jika badan bersih dan segar, maka kesehatannya akan terjaga.
Dalam QS. Al-Maidah [5]: 6 Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Dalam kitab-kitab fikih, para ulama selalu mendahulukan bab bersuci (taharah) sebelum lebih jauh membahas tentang bab salat, mua’malah (interaksi sosial), munakahat (pernikahan), dan bab-bab selanjutnya. Itu berlaku bagi semua kitab fikih. Siapapun penulisnya dan apapun madzabnya.
Dalam faktanya, salat tanpa wudu tidak mungkin sah. Salat adalah praktik spiritual, sementara wudu -di samping memiliki sisi spiritual- juga banyak memiliki sisi rasional yang tidak bisa dikesampingkan, salah satunya menjaga kesehatan badan. Begitulah Islam. Betapa kesehatan tubuh menjadi prioritas, bahkan sebelum praktit ritual dan spiritual.
Dalam melaksanakan salat seorang mukmin juga harus berusaha untuk khusyuk. Bahkan ada sebagian ulama yang mewajibkannya. Salah satu faktor utama khusyuk dalam salat adalah persiapan zahir sebelum salat. Seperti pakaian harus bersih, harum dan -tentu saja- badan sehat. Tidak mungkin orang bau badan atau sakit gigi akan bisa khusyuk dalam shalat.
Islam lebih memprioritaskan kesehatan jasmani untuk mendapatkan kesempurnaan ruhani. Bukan hanya soal wudu atau bersuci, tetapi dalam banyak hal ibadah dalam Islam selalu mempertimbangkan kesehatan umatnya.
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-A’raf [7]: 31:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Dan, makan serta minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Ada tiga poin penting dalam ayat tersebut. Yaitu salat, mengenakan pakaian bagus ketika hendak salat dan menjaga pola makan dengan tidak makan minum berlebihan, tentu saja di luar makanan-makanan yang dihalalkan.
Betapa luar biasanya Islam, memprioritaskan kesehatan jasmani yang sifatnya rasional-medis. Sampai-sampai pola makan saja diruntut setelah menyebut persoalan spiritual (salat). Bahkan ayat tersebut diawali dengan anjuran untuk memakai pakaian bagus yang tentunya bersih dan wangi ketika handak shalat.
Ada sebuah kisah kehidupan Rasulullah yang begitu berimbang dalam ibadah dan kehidupan dunia. Suatu hari ada tiga orang sahabat Nabi bertanya kepada Siti ‘Aisyah perihal ibadah Rasulullah ketika di rumah. Memang ketika di depan umatnya, Nabi tidak pernah menunjukan semangat ibadah yang tinggi. Khawatir ditiru oleh umatnya dan akhirnya memberatkan mereka.
Singkat cerita, ‘Aisyah menjawab pertanyaan ketiga Sahabat itu. Mendengar jawaban Ummil Mukminin tersebut, para Sahabat merasa bahwa ibadah mereka selama ini jauh dari kesempurnaan. Rasulullah yang sudah pasti diampuni dosa-dosanya saja ibadahnya sangat luar biasa.
Akhirnya tiga Sahabat itu terprovokasi. Satu Sahabat bertekad untuk shalat malam setiap hari tanpa tidur sederikpun. Satunya lagi bertekad untuk berpuasa setiap hari sampai akhir hayat. Dan satunya lagi -ini lebih ekstrim- bertekad untuk ‘menjomblo’ seumur hidup agar lebih fokus beribadah.
Tidak lama kemudian Rasulullah datang dan dengan tegas menegur, “Apa yang kalian katakan? Demi Allah. Saya adalah yang paling khusuk dan paling bertakwa kapada Allah daripada kalian semua. Memang saya berpuasa, tetapi juga ada tidaknya. Saya shalat malam, juga ada tidurnya. Saya juga beristri. Barang siapa tidak menyukai sunahku, maka bukan termasuk golonganku”.
Potret kisah baginda Rasulullah dan para Sahabatnya di atas menunjukkan bahwa semangat dalam beragama harus diimbangi dengan persoalan rasional duniawi. Memperhatikan kesehatan, lingkungan hidup, dan memenuhi kebutuhan fisik. Semangat beragama memang sangat baik, akan tetapi Islam mengharuskan membarenginya dengan semangat menjaga jiwa.
Dalam konteks pandemi Covid-19 seperti hari ini, semangat beragama tidak boleh lentur, akan tetapi harus pertimbangkan kesehatan fisik, penjagaan jiwa dan memberikan pemenuhan hak-hak jiwa untuk tetap merasakan kesehatan. Agama harus tetap dinomorsatukan, akan tetapi tak pantas mengesampingkan sisi kesehatan diri dan orang lain. Karena kesehatan dan kebugaran tubuh adalah kunci untuk kekhusyuan ibadah.
Marilah kita sejenak mengedepankan kasih sayang antar sesama di tengah musibah virus menular ini. Tampilkan agama secara sempurna, dengan ibadah semaksimal mungkin, tetapi juga pertimbangan kesehatan sebesar mungkin. Islam adalah agama yang paripurna, yang mengharmonikan sisi spiritual dan rasional dalam setiap ajarannya. Hanya dengan mengaplikasikan kedua sisinya itu, agama akan menjadi rahmat bagi semua umat.
Penulis: Muhamad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta).