Tak terasa sudah hampir 100 hari Abah telah meninggalkan kami menuju peristirahatan terakhirmu. Hati ini masih belum bisa percaya Abah pergi meninggalkan kami untuk selamanya, padahal rasa-rasanya baru kemarin Abah masih bersua dan bercanda tawa dengan kami.
Kehilanganku mungkin tak sebanding dengan yang dirasakan anak-anakmu, tapi percayalah, Bah, walau aku hanya menantu dan bukan darah dagingmu, namun diriku juga sangat kehilanganmu, Bah, seseorang yang sudah ku anggap ayah kedua dalam hidupku.
Jujur, Bah, aku masih belum siap berpisah, apalagi saat ini putrimu yang telah menjadi istriku sedang mengandung cucumu yang kelak akan memanggilmu ‘mbah’. Namun takdir berkata lain, saat cucumu nanti terlahir ke dunia, mungkin hanya cerita tentangmu yang akan didapatinya jika ia bertanya kemana mbahku.
Aku pasti tak tahu harus bercerita mulai darimana kepada cucumu jika ia menanyakan sosok kakek dari ibunya. Mungkin hanya akan ku jawab “mbahmu orang baik nak, namun kini dia sudah berada dalam pelukan Ilahi”. Begitulah kira-kira jawaban yang telah kusiapkan untuk cucumu, Bah.
Oh iya, Abah tau nggak, kalau aku pertama kali mengenal kata Abah setelah aku mulai mengenal putrimu yang dulu kupersunting sekitar dua tahun berkat restumu bersama Umi. Jujur aku tidak pernah mengenal kata Abah, maklum di tempat lahirku aku hanya mengenal panggilan papa dan pua untuk memanggil seorang ayah. Namun dirimu orang pertama yang kupanggil Abah.
Abah ingat nggak, pertama kali aku meminta restu kepada Abah untuk mengenal lebih jauh putrimu. Aku masih ingat, Bah. Waktu itu, sekitar enam tahun lalu, kuberanikan diri meminta restumu karena putrimu memberi syarat jika ingin mendekatinya harus izin terlebih dahulu kepada ayah dan ibunya.
Sejak saat itu aku kagum dengan putrimu, yang begitu sayangnya kepada orang tuanya sehingga lelaki yang mendekatinya harus minta restu Abah dan Umi. Jarang, Bah, ada perempuan seperti itu. Biasanya banyak perempuan mengenalkan pasangannya setelah beberapa bulan menjalin kasih. Namun tidak bagi putrimu, beberapa setelah aku mengutarakan isi hatiku, ia menguji keberanianku untuk meminta restumu terlebih dahulu.
“Jika kamu sungguh menyayangiku minta izin dulu sama Abah dan umiku,” begitulah kira-kira kata putrimu kepadaku.
Jujur, Bah, aku bukan lelaki yang baik. Waktu itu aku mengiyakan syarat putrimu padahal aku juga sudah memiliki perempuan lain yang datang sebelum anakmu. Maaf, Bah, aku sudah tak jujur padamu.
Seingatku pagi itu, aku pun melaksanakan syarat putrimu untuk meminta restumu sebelum menjalin kasih dengannya. Aku masih ingat, pagi itu aku menelpon ke nomor yang telah diberikan anakmu. Aku sudah menyiapkan semua apa yang akan kusampaikan padamu sejak malam sebelumnya.
Meski diriku sedikit gugup, tapi dalam benakku berpikir “ngapain takut toh nggak ketemu langsung, ngomong ditelpon minta restu, kalau nggak diterima gak apa-apa, kalau diterima Alhamdulillah”.
Aku pun menelpon, dan tak lama ternyata ada seseorang yang mengangkat dan bertanya. “Ini siapa, yah?” terdengar seperti suara pemuda, yang ternyata adalah adik dari perempuan yang sekarang telah menjadi ‘istriku’.
“Ini teman kuliah kakakmu,” kataku.
“Oh, bentar, yah,” katanya dari ujung suara telepon di sana.
Kudengar dia memanggil seseorang, “Umi, Umi, teman kuliah mbak In nelpon,” panggilnya.
Tak lama ada suara ibu-ibu kemudian berkata, “Iya, ada apa yah, Nak?” katanya dengan nada menanyakan.
Tetiba jantungku berdetak kencang, aku tak menyangka, Bah, suara itu seolah menembus hatiku. Aku diam seribu bahasa, tak tahu harus berkata apa. Semua konsep yang telah kusiapkan seolah hilang, yang ada hanya perasaan kaku dan gugup, seolah ibu itu tepat berada di hadapanku.
“Eh.. eh.. begini, Bu, maaf,” ujarku sedikit kikuk menjawab pertanyaan itu.
“Iya kenapa, Nak?” perempuan yang tadi disapa ‘Umi’ itu kembali menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku.
“Begini, Bu, aku lagi dekat sama putri ibu, dan pengen lebih dekat lagi, tapi anak ibu ngasih syarat buat izin dulu ke orangtuanya,” kataku rada tidak enak hati.
“Oh gtu, ya udah aku kasih dulu ke orang yang lebih berhak yak, Nak,” katanya sambil memanggil nama Abah. “Bah ini temannya In mau bicara katanya.”
Tetiba hatiku semakin gugup, makin takut rasanya. “Wah kayaknya bakal dimarahin ini,” kataku dalam hati, membayangkan nada keras seorang laki-laki paruh baya yang siap memberikan ceramah selama sepekan tanpa henti.
“Iya ada apa, Nak,” terdengar suara seseorang seperti nada laki-laki berusia setengah abad lebih, sedikit serak.
“Maaf, Pak, aku mau minta izin, aku sekarang dekat dengan putri bapak dan mau mengenal lebih jauh lagi. Tapi putri bapak ngasih syarat harus minta restu dulu sama orang tuanya,” jawabku langsung ke poin utama pembicaraan.
Suasana hening, dalam pikiranku “Wah kayaknya bakal ditolak ini, apalagi belum pernah bertemu langsung minta restu aja. Pasti akan ditolak dengan alasan anak saya disuruh fokus kuliah dulu, nggak boleh yang namanya pacar-pacaran,” kataku lirih yang mulai berfikir kurang baik.
Namun semua yang aku bayangkan bertolak belakang dengan kenyataannya. Ku dengar jawaban Abah, yang membuatku waktu itu rasanya pengen loncat-loncat kegirangan tak menyangka, Abah merestui hubungan kami.
“Oh iya, gak apa-apa yang penting kalian bisa saling menjaga satu sama lain, dan jangan sampai mengganggu kuliah kalian,” begitulah jawaban Abah yang seolah waktu itu semesta merestui hubungan kami.
“Terima kasih, Pak, aku janji akan menjaga anak bapak,” jawabku dengan penuh perasaan bahagia.
“Iya udah dulu yah, Nak. Assamualaikum warahmatullahi wabarakatu,” kata Abah.
“Waalaikumsalam.”
Rasanya waktu proses permintaan restu itu begitu lama, padahal hanya berlangsung beberapa menit saja.
Jujur, Bah, kenangan itu masih melekat di dalam diri hingga detik ini, Bah. Dan baru kusadari begitu lah Tuhan menentukan takdir seseorang. Aku tak menyangka bisa masuk menjadi bagian keluargaku, Bah, keluarga yang dipenuhi dengan kebahagiaan dan keceriaan.
Padahal aku hanya anak orang miskin yang mencoba peruntungan di ibukota. Andai saat itu Abah menolak permintaanku, aku tak tahu aku saat ini akan seperti apa.
Terima kasih, Bah, restumu membuatku kini bersama dengan perempuan hebat dan tangguh. Putrimu begitu setia di sampingku menghadapi segala lika-liku kehidupan dan menerima segala kekuranganku. Aku bahagia bersamanya, Bah.
Namun, Bah, saat ini putrimu masih belum bisa melepasmu, Bah. Dalam sholatnya ia masih sering menangis kala menyebut namamu. Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya, yang jelas saat dia menyebut namamu tetiba air mata itu menetes. Aku pun hanya bisa membiarkannya larut dalam kesedihannya, karena kupikir tangisan akan membuat seseorang kuat kembali.
Selamat jalan, Bah. Meski sulit melepasmu, namun aku yakin Abah saat ini sedang sangat bahagia dalam dekapan Ilahi. Tentu di sana Abah sedang berkumpul dengan orang-orang beriman, karena aku tau Abah orang baik, yang hari-harimu dipenuhi dengan ibadah, yang harimu tak lepas dari zikir dan memunajat kepada-Nya.
Selamat jalan Abah, sampai jumpa di dimensi yang lain. Aku akan selalu menjaga janjiku padamu dimana aku pertama kali meminta restumu untuk meminang putrimu. Dan pasti akan kuceritakan pada cucu-cucumu bahwa mereka memiliki kakek yang hebat seperti Abah.
Selamat jalan, Abah, doa kami selalu menyertaimu!
Penulis: Alibas (Wartawan Jurnas.com).