foto: nuonline
Jika dalam aliran filsafat muncul aliran romantisme, yaitu aliran yang mencoba menemukan kebenaran dengan menitikberatkan pada imajinasi, ida, khayalan dan tidak mendasari pada sisi rasionalitas, maka hemat penulis para penyeru khilafah adalah bagian dari aliran ini. Mereka ahli dalam soal berimajinasi terhadap kembalinya sistem khilafah islamiyyah yang dulu pernah dijalankan para sahabat Nabi untuk kembali diterapkan ke masa sekarang. Para penyeru khilafah berandai-andai bahwa sistem yang sudah tidak dibutuhkan umat Islam itu akan kembali entah kapan waktunya. Dengan mengklaim hadis Nabi yang berbunyi…”…tsumma takÅ«nu khilafatan ‘alâ minhâj an-nubuwwah; kemudian kelak akan ada khilafah yang seperti masa Nabi” mereka berkhayal tingkat tinggi akan kembalinya sistem khilafah di era modern. Padahal, para ulama memaksudkan khilafah pada hadis tersebut adalah makna universal, yaitu kepemimpinan di muka bumi yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat di muka bumi.
Para penyeru khilafah seperti pemilik akun Facebook ‘Mas Farihin’ berandai-andai tanpa didasari tahapan berfikir dan hanya menduga-duga bahwa khilafah yang menggunakan sistem Islam akan mampu melindungi umat. Itu berbeda dengan demokrasi yang tidak dapat melindungi umat dengan dibuktikan salah satunya oleh adanya peredaran daging Babi yang dioplos ke daging Sapi. Farihin penyeru khilafah menyimpulkan demikian itu merupakan bukti bahwa pemerintah melalui sistem demokrasi tidak peduli dengan Islam. Sehingga upaya penghapusan labelisasi makanan halal pun tidak dihiraukan, akibatnya makanan haram dapat bercampur dengan makanan halal dengan mudah. Apapun problemnya, bagi orang seperti Farihin ini, khilafah solusinya. Padahal, secara historis, khilafah juga sarat dengan problem-problem yang justru menyengsarakan umat Islam.
Khilafah bukanlah sistem yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah. Menyatakan khilafah merupakan sistem sempurna bisa jadi merupakan sebuah perbuatan syirik yang tidak disadari pelakunya. Sejarah mencatat khilafah juga banyak memilki borok, yang membuat umat sengsara. Sebagai umat Islam yang membaca sejarah kita sadar masa-masa khilafah penuh dengan pertikaian antar saudara, antar khalifah, dengan tujuan nafsu politik, yang korbannya banyak dari umat yang telah bersyahadat. Nadirsyah Hosen dalam buku “Islam Yes, Khilafah No!” membeberkan secara panjang kesengsaraan umat di masa khilafah karena pertikaian yang dilakukan oleh pemimpin di masa kekhilafahan. Satu di antaranya terjadi perang saudara antara Sayyidina Ali dan Siti Aisyah (perang Jamal). Perang antara istri Nabi dan menantunya ini telah mengakibatkan 18.000 sahabat gugur. Peristiwa lain juga seperti Abdullah Ibn Zubair, penguasa Mekah pada zamannya, yang dibunuh oleh Al-Hajjaj dengan cara kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib. Sekelumit dari bagian fakta sejarah khilafah ini membuat umat tidak diperhatikan urusan dunia maupun agamanya. Para khalifah sibuk berebut kursi kekuasaan dengan perang antar saudara.
Namun demikian, lagi-lagi mereka yang pro khilafah selalu acuh dengan sejarah kelam khilafah seraya mengkultuskan sistem itu tanpa otokritik. Secara sistemik, khilafah juga merupakan konsep kepemimpinan yang problematis. Jika memang klaim khilafah merupakan kewajiban agama Islam, sehingga umat harus meneruskan kembali khilafah, mengapa Nabi Muhammad sebelum wafat tidak menunjuk siapa yang harus menjadi khalifah pasa wafatnya? Bila memang khilafah wajib, maka Nabi Muhammad dianggap telah berdosa tidak menunjuk khalifah sebelum meninggalkan dunia. Problematika konsep khilafah juga karena tidak adanya konsep pemilihan khalifah yang baku sejak Abu Bakar Ashiddiq hingga Khalifah Usman. Abu Bakar sendiri dipilih melalui jalan musyawarah, Usman Ibn Affan dipilih melalui penunjukkan langsung oleh Abu Bakar, Usman Ibn Affan dipilih dengan jalan musyawarah, Ali Ibn Abi Thalib melalui baiat sebagian umat, dan khalifah setelahnya hingga khalifah Usmani dipilih melalui perebutan kekuasaan, bahkan dengan kudeta yang berdarah-darah.
Dhiyâ Al-Dîn dalam Nazariyyât Al-Siyâsah Al-Islâmiyyah menegaskan bahwa salah satu tujuan khilafah adalah memberikan kebebasan individu dan memenuhi kebutuhan umat secara umum. Oleh karena itu menurut Al-Mawardi dalam Al-Ahkâm Al-Shultâniyyâh menyatakan syarat utama seorang pemimpin bukanlah agama, akan tetapi mampu berbuat adil. Keadilan dalam konteks pemimpin ialah sikap bijak yang dimilikinya dalam menentukan kebijakan yang adil baik kepada kawan maupun lawan. Berpacu pada landasan di atas masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam) dengan berlandaskan Pancasila memiliki cita-cita luhur dalam bernegara yaitu memberikan keadilan. Kita tidak pernah menemukan umat Islam tidak diberikan kebebasan dalam beragama di Indonesia. Umat Islam pun selalu diberikan keadilan oleh negara, bahkan kadang diutamakan oleh negara karena merupakan umat mayoritas. Jika unsur kebebasan individu umat dan keadilan dapat diwujudkan di Indonesia, mengapa kota koar-koar khilafah?
Melalui dasar negara Pancasila, umat telah berada di dalam perlindungan yang cukup maksimal, baik menyangkut persoalan agamanya maupun duniawinya. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Murodhi menegaskan Pancasila merupakan ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia, bahkan tidak berlebihan jika terbaik pula bagi dunia. Mengapa demikian sebab Pancasila mencakup seluruh sendi kehidupan manusia, dari mulai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Umat harus terus mendalami dan menghayati nilai-nilai Pancasila untuk terus mewujudkan keadilan, ketentraman dan kemajuan bangsa. Ideologi Pancasila jelas-jelas mencakup menaungi agama Islam yang merupakan agama yang universal dan komprehensif. Di bawah naungan Pancasila, umat Islam bebas mengekspresikan ajaran agamanya kapan pun dan di mana pun. Demikian itu karena menurut Profesor Said Aqil Siraj Islam dan Pancasila merupakan dua saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan.
Fakta-fakta historis berupa kekerasan, kudeta, dan pemberontakan yang terjadi di masa khilafah cukup menjadi bukti bahwa khilafah bukanlah sistem yang terbaik. Khilafah hanyalah produk ijtihad manusia yang sarat akan peristiwa kelam dan penuh pembantaian. Tidak ada masa depan bagi khilafah bagi bangsa Indonesia yang sudah aman dan tentram di bawah naungan Pancasila. Khilafah juga merupakan konsep kepemimpinan yang problematis dan tidak ada yang baku. Kita tidak mungkin berharap pada khilafah untuk masa depan bangsa Indonesia yang maju dan berperadaban. Umat Islam di Indonesia tidak butuh khilafah. Tidak ada ruang bagi sistem khilafah yang penuh problematis bagi bangsa Indonesia yang sudah aman, tentram, dan damai dalam ruang demokrasi dan Pancasila.