foto: jurnalfikr
Jika di Madinah lahir suatu konsep persatuan dan kebebasan (Piagam Madinah) yang dipelopori oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, maka di Indonesia lahir Pancasila, ideologi yang menjadi payung keberagaman bangsa. Baik Piagam Madinah ataupun Pancasila keduanya merupakan manifestasi dari sumber hukum tertinggi dalam Islam yaitu Al-Qur’an yang memiliki visi dan misi merekat persatuan dan kesatuan umat. Maka secara esensial, Pancasila merupakan aplikasi dari hukum Allah yang kontekstual. Maka merupakan suatu yang tak mendasar mengklaim Pancasila sebagai sistem kafir. Apalagi rumusan Pancasila dikonsepkan sebagiannya oleh tokoh Islam, yaitu KH Wachid Hasyim yang merupakan tokoh Islam pesantren. Pertanyaannya: apakah anak dari KH Hasyim Asyari itu tidak mengerti makna kafir dan kaitannya dengan Pancasila?
Pancasila memiliki lima prinsip atau lima sila pedoman kehidupan bernegara di Indonesia. Harus diingat, ia sebagai pedoman hidup bernegara, bukan beragama, karena dalam beragama umat Islam tetap konsisten dengan pedoman Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ini sebagaimana diklaim akun Facebook dengan nama “Amma”, yang memberikan pernyataan ngawur bahwa pedoman umat Islam itu Al-Qur’an dan Sunah Nabi, bukan Pancasila, UUD 1945, dan sejenisnya. Benar dan semua orang Islam mengakui dan mengimani bahwa pedoman mereka dalam beragama adalah Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Akan tetapi Pancasila dan UUD 1945 bukanlah pedoman beragama, namun pedoman bernegara. Umat Islam dalam konteks Indonesia ‘wajib’ meyakini dan mengamalkan nilai-nilainya untuk mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai.
Kedudukan Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara sejalan dengan Piagam Madinah yang berisikan tentang tata-aturan hidup dalam suatu negara tanpa meninggalkan sedikitpun prinsip-prinsip Islam dalam Al-Qur’an. Meyakini dan menjalankan nilai-nilai Piagam Madinah atau Pancasila bukan meninggalkan Al-Qur’an menjadi pedoman hidup sebagai makhluk Allah, namun justru mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur’an tentang persatuan, kerukunan dan kemanusiaan. Baik Pancasila ataupun Piagam Madinah merupakan hasil ijtihad manusia untuk wujudkan masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi kemanusiaan di bawah payung keberagaman.
Pada sila yang pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap warga Indonesia harus memiliki keyakinan dalam beragama. Mereka harus menghamba kepada Tuhan Yang Satu sebagai tempat kembali. Pancasila menjunjung tinggi nilai-nilai kemahaesaan. Seperti itu, Allah Swt melalui QS. Al-Ikhlas [112]: 1, Al-Qur’an menjunjung tinggi nilai-nilai kemahaesaan. Esensi sila pertama dan ayat Al-Qur’an ini memberi pesan bahwa tidak boleh ada seorang pun di dunia ini yang mengesakan pendapat, termasuk mengesakan klaim bahwa Pancasila merupakan ideologi yang bertentangan dengan Islam. Semangat sila pertama dan ayat ini yang merupakan semangat bertauhid bertentangan dengan gerakan dan pernyataan yang menyalahkan pendapat orang lain dan mentauhidkan klaimnya atas pendapat-pendapat lain yang berbeda.
Melalui sila yang ke dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, menegaskan bahwa setiap orang wajib menghormati kemanusiaan orang lain yang sama-sama merupakan makhluk Allah. Prinsip ini sejalan dengan Hadis Nabi yang menyatakan bahwa tidaklah beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya. Ini juga sejalan dengan makna QS. An-Nisa [4]: 135 yang memiliki pesan kemanusiaan. Melalui sila yang sejalan dengan nilai-nilai Islam ini Pancasila menolak siapapun yang merendahkan kemanusiaan orang lain hanya karena berbeda keyakinan beragama. Apalagi kita menyadari bahwa Nabi Muhammad saja diutus untuk menyempurnakan akhlak. Tidak ada dasarnya dalam agama jika kemudian umatnya hidup untuk membuat kekerasan dan mengkafirkan mereka yang tidak memeluk agama Islam. Nabi Muhammad pernah bersabda, al-muslimu man salima al-muslimun min yadihi wa lisânihi; orang Islam adalah orang yang mampu menjaga tangan dan lisannya untuk tidak menyakiti orang lain.
Sementara melalui sila ke tiga, Persatuan Indonesia, bangsa Indonesia diharuskan mementingkan persatuan, kesatuan dan kepentingan bangsa serta negara sebagai kepentingan bersama yang harus diutamakan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Ini sejalan dengan makna QS. Al-Hujurat [43]: 13 yang menyinggung tentang persatuan meskipun dalam ruang kehidupan masyarakat yang berbeda-beda. Fakta bahwa sila ketiga ini sejalan dengan nilai Islam juga nilainya yang sejalan dengan praktik Nabi Muhammad Saw dalam memimpin kota Madinah. Meskipun di dalamnya terdiri dari kaum yang beragam, dari mulai Islam, Yahudi, Nasrani, dan bahkan orang-orang musyrik seperti Bani Khuaza’ah dan Bani Khunainah, namun masyarakat Madinah bersatu di bawah payung perbedaan. Indonesia sebagai negara yang dihuni oleh masyarakat yang beragam baik dalam agama, suku, ras, etnis dan keyakinan, tepat menggunakan ideologi Pancasila sebagai titik temu persatuan. Sebaliknya, menolak Pancasila berarti menolak nilai-nilai persatuan dan menginginkan perpecahan dan kekacauan di tengah masyarakat.
Sila ke empat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, memberi pesan penting bahwa setiap orang Indonesia memiliki kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga bangsa. Dalam menghadapi persoalan hendaknya diselesaikan melalui jalan musyawarah untuk menemukan solusi terbaik. Ini sejalan dengan QS. Syura [52]: 38 yang mengharuskan umat Islam bermusyawarah dalam menghadapi sebuah perkara. Semangat sila keempat yang sejalan dengan ayat Al-Qur’an ini menolak sistem totalitarianisme dan otoritarianisme dalam pemerintahan. Sebab sistem tirani ini bertentangan dengan nilai Al-Qur’an yang menolak kepemimpinan hanya dipegang oleh kepentingan individu yang hanya akan menyalahgunakan kepentingan rakyat. Gambaran ini oleh Al-Qur’an dilukiskan dengan sosok Fir’aun sebagai pemimpin yang otoriter, dan menolak nilai-nilai musyawarah. Maka siapapun yang menolak sila ini secara otomatis telah mendukung sistem otoriter yang jelas-jelas merupakan sistem kufur dan ditentang Al-Qur’an.
Dan melalui sila yang terakhir, ke lima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, seluruh bangsa Indonesia harus mengembangkan perbuatan yang luhur berupa keadilan yang menyeluruh bagi setiap individu warga bangsa. Ini sejalan dengan QS. An-Nahl [16]: 90 yang mengharuskan umat Islam berlaku adil kepada semua alam. Sila yang secara esensial sejalan dengan Al-Qur’an ayat di atas ini bertolakbelakang dengan penjajahan dan penindasan sebab tidak berkeadilan. Maka jelas tindakan dan perilaku yang menindas orang lain atas dasar apapun, apalagi dengan mengatasnamakan Islam, sejatinya merupakan musuh Islam dan musuh bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Pancasila dan Islam menolak tindakan penindasan karena tidak sejalan dengan pesan Al-Qur’an.
Dengan pendasaran Al-Qur’an atas Pancasila ini maka jelaslah bahwa ideologi negara ini tidak sama sekali bersifat kafir. Ia berkait erat dengan semangat Islam, Al-Qur’an dan semangat kemanusiaan. Untuk mengakhiri tulisan pendek ini, maka siapapun yang menolak prinsip keesaan, menolak kemanusiaan, memecahbelah persatuan, mengadopsi sistem otoritarianisme meski atas nama Islam atau khilafah, dan menghancurkan nilai-nilai keadilan, sesungguhnya merekalah yang tidak memiliki tempat dalam agama Islam dan Al-Qur’an. Meskipun secara tertulis Pancasila bukan bernamakan sistem Islam, ia merupakan ideologi negara, pedoman dalam bernegara, yang sangat sejalan dengan nilai-nilai Islam. Itu lebih utama dibanding mengatasnamakan sistem Islam, khilâfah Islam, tetapi tidak disadari di dalamnya sarat akan kekerasan, otoriter dan keluar dari nilai-nilai Islam.