spot_img

Tarekat dan Pembelaan Kepada Kelompok Alit (Kecil)

foto: alsoufia

Umumnya, jika seseorang ingin masuk dan atau mengamalkan ajaran suatu tarekat, ia harus diakui dulu oleh mursyid tarekat tersebut. Biasanya, mereka harus dibaiat, ditalqin, atau diijazahkan oleh sang mursyid, untuk dianggap sah sebagai anggota tarekat dan bisa mengamalkan ajarannya.

Tapi tidak dengan tarekat Alawiyyah. Meski masuk dalam 41 tarekat muktabarah (diakui) dalam Islam, tarekat ini memiliki ciri khas yang unik dan berbeda dari tarekat yang lainnya. Tarekat ini terkenal dengan fleksibilitas, kelenturan, dan kemudahan dalam mempraktikkan ajarannya. Orang tidak perlu harus masuk sebagai anggota tarekat tersebut, untuk kemudian bisa mengamalkan ajaran-ajaran dari tarekat tersebut. Dengan kata lain, tarekat ini tarekat untuk semua, siapa pun bisa mengamalkan tanpa harus menjadi anggota.

Salah satu tokoh sentral dalam tarekat Alawiyyah adalah Imam Al-Haddad (1636-1724 M). Ia adalah tokoh yang perannya sentral dalam menyebabkan kelenturan tarekat ini. Ia dikenal sebagai reformis (pembaharu) serta penyegar gagasan tarekat Alawiyyah. Salah satu gagasan tasawufnya adalah seseorang tidak perlu harus dibaiat atau berbaiat jika ingin mengamalkan amalan ajaran tarekatnya.

Gagasan inilah yang kemudian membuat pamor tarekat ini mudah dikenal dan menyebar. Tidak hanya di Tarim, Hadramaut, asal tarekat ini berasal, tetapi juga ia menyebar sampai ke kawasan Asia Tenggara, seperti, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Mengayomi Kelompok Kecil

Tidak hanya kelenturan dalam mengamalkan ajaran tarekatnya, seperti kitab-kitab, wirid, syair, dan sholawat, yang membuat penyebarannya relatif cukup luas dan bisa dinikmati masyarakat umum. Ajaran Imam Al-Haddad semacam memunculkan gerakan baru dalam menciptakan ruang sosial baru di tengah-tengah umat.

Kitab-kitabnya, seperti kasidah, wirid, dan ratib ternyata sukses mendapatkan tempat di khalayak luas. Ini bisa kita lihat dari persebaran kaum Alawiyyah Hadrami yang masuk ke berbagai penjuru negara, seperti Afrika, India, dan sepanjang samudera Hindia yang (masih) mengamalkan ajaran-ajaran Imam Al-Haddad.

Tidak hanya itu, hal tersebut juga terkait erat dengan ketekunan Imam Al-Haddad dalam menyampaikan gagasan keilmuannya (khususnya dalam bidang tasawuf) melalui tulisan, baik itu pokok-pokok ajaran maupun gagasan tasawufnya dalam tarekat Alawiyyah. Ini kemudian menjadikan dirinya dikenal sebagai pelopor, penggerak, dan reformis terhadap tradisi tarekat tersebut.

Pada akhirnya, hal tersebut menjadikannya sebagai tokoh sentral dalam perjalanan tarekat Alawiyyah. Salah satu alasan kenapa Imam Al-Haddad dianggap sebagai seorang reformis adalah karena kerja intelektualitasnya dalam bidang tasawuf mampu mewujudkan suatu konvergensi (penggabungan) antara tasawuf ‘amali dan falsafi. Salah satunya dengan membagi akses tarekat ke dalam dua segmen, yaitu thariqah khassah dan thariqah ammah.

Pembagian ini tidak dilepaskan dari pandangannnya terkait tarekat Alawiyyah. Ia menganggap bahwa tarekat Alawiyyah adalah thariqah ashhab al-yamin, yakni, tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan taat kepada Allah dan selalu menjaganya dengan melakukan hal-hal yang bersifat ukhrawi. Maksudnya ialah, baginya, reformasi ajarannya dalam tarekat Alawiyyah adalah untuk kelompok awam.

Tampaknya, gagasan ini muncul tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial-politik yang dialaminya pada saat itu. Di mana daerahnya terjebak dalam situasi chaos dan kemelut yang berkepanjangan. Bagi Imam Al-Haddad, kondisi daerahnya (Hadramaut) saat itu membutuhkan solusi yang konkrit dalam penyelesaiannya, baik secara individu maupun kolektif. Ia menekankan pentingnya tarekat Alawiyyah sebagai gerakan moral-ideologis yang siap memberikan pelayanan bagi masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari.

Sedangkan dalam bentuk kolektif, ia mengajak para tokoh agama untuk menggerakkan upaya penyadaran beragama melalui gerakan moral, dan menjadi aktivis sosial, bukan malah sebaliknya, asyik dengan individualitas keagamaannya semata.

Kritik dari Imam Al-Haddad  ini muncul setelah ia mengamati kondisi tarekat pada saat itu. Institusi tarekat hanya dimonopoli oleh kaum borjuis dan dinikmati kalangan tertentu semata. Eksistensi tarekat tidak dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat secara luas.

Kondisi tarekat yang lebih menekankan pada kesalehan individu semata dan menekankan pada praktik-praktik spiritualitas yang keras dan berat (riyadhah), serta menjauhi kehidupan sosial kemasyarakatan (‘uzlah) membuat keberadaan tarekat seolah berjarak dengan umat.

Ini memberikan kesan bahwa para sufi dan tarekatnya (pada saat itu) tidak lagi akomodatif dengan kultur masyarakat setempat. Dengan demikian diperlukan suatu reorientasi dari eksistensi institusi tarekat itu sendiri yakni dengan menekankan pada pembinaan moral individu dan sosial kemasyarakatan, tujuannya adalah agar efek dari keberadaan institusi tarekat tersebut terasa dan bisa juga dinikmati oleh kalangan awam, yang secara agama dan keilmuan terbilang awam.

Di sinilah kemudian pembaharuan gagasan dalam pandangan tasawuf Imam Al-Haddad terjadi. Reformasi spektakuler dilakukan olehnya dengan merekonstruksi ulang metode tarekat, dari bentuknya yang semula hanya bisa diakses oleh kelompok elit saja, di tangannya tarekat kemudian bisa diakses oleh siapapun. Ia kemudian menggagas arus baru model tarekat yang ia kembangkan dalam tarekat Alawiyyah, yang ia sebut ashab al-yamin.

Maka, tidak heran bila hari ini, di setiap tempat dan daerah (Indonesia khususnya), setiap pengamal ajaran tarekat Alawiyyah memiliki ciri khasnya masing-masing. Ini karena tidak ada kebakuan dalam mengikuti ajaran tarekat tersebut sebagaimana yang terjadi pada tarekat pada umumnya. Ala kulli hal, akhirnya setiap orang, siapa pun itu, bisa mengamalkan ajaran tarekat Alawiyyah dan bisa mencicipi kenikmatan ibadah tanpa perlu bersusah payah apalagi harus terlibat dalam praktik yang berat. Setiap orang, bisa menentukan ajaran serta gurunya sendiri yang (menurutnya) pas bagi dirinya.

Penulis: Deni Gunawan (Penulis Buku Indonesia Tanpa Caci Maki).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles