Foto/Istimewa
Belakangan dunia maya diramaikan dengan perdebatan apakah tindakan teror berasal dari ajaran agama atau tidak. Kehebohan bertambah pasca Presiden Jokowi memberi komentar atas aksi teror bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar, sebagai aksi yang tidak berkait erat dengan agama.
Rasanya sulit, dan hampir mustahil, bila dikatakan aksi terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun atau sama sekali. Bila dikatakan tidak ada kaitan, setidak-tidaknya pelakunya adalah orang yang beragama. Sulit rasanya memisahkan irisan antara agama dengan penganut agama itu sendiri.
Bila dikaitkan dengan agama Islam, tak bisa ditutup-tutupi bahwa ada ajaran agama yang “berpotensi” memberi inspirasi dan motivasi pemeluknya melakukan aksi “kekerasan” sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhan atau keimanan. Contoh konkrit manakala Nabi Ibrahim diminta untuk menyembelih anaknya (Ismail), sebagai wujud keimanannya. Terlepas kemudian diganti dengan domba/kambing. Perintah menyembelih apalagi kalau bukan tindakan yang “amat radikal”.
Peristiwa perintah penyembelihan di atas cukup berpotensi melakukan kekerasan (bahkan pembunuhan) atas dasar keimanan. Dan bisa saja dijadikan landasan membunuh orang lain atas dasar teguh pada keimanan. Ditambah lagi, di dalam teks Al-Qur’an didapati ayat-ayat yang juga berpotensi menjadikan seorang muslim bertindak radikal. Ada 13 ayat Al-Qur’an yang berbicara soal peperangan (qital) dan 54 ayat tentang jihad. Terlepas dari perdebatan konteks turunnya ayat-ayat di atas dan perdebatan-perdebatan lainnya, ayat-ayat suci itu telah “ditafsiri” dengan perspektif kekerasan oleh pelaku teror yang itu kaum beragama.
Fakta adanya teks ayat-ayat suci yang dapat mendorong seseorang melakukan tindakan radikal terus disuarakan pasca 2001 sesaat peristiwa WTC di New York. Geert Wilders misalnya, adalah salah satu ilmuwan Barat yang menegaskan bahwa Islam identik dengan agama kekerasan dibuktikan dengan adanya sederet ayat-ayat Al-Qur’an yang bernuansa kekerasan.
Memang tak hanya orang yang beragama Islam yang melakukan tindak kekerasan. Umat beragam lain, Kristen misalnya, pun memiliki rekam jejak yang sama. Pada tahun 1996 tiga pria – Charles Barbee, Robert Berry, dan Jay Merelle – didakwa atas dua kali perampokan bank dan pengeboman di bank-bank di Washington State.
Atau misal yang lain, seorang Professor di University of Auckland, seorang Kristiani, yang merupakan seorang pakar internasional di bidang terorisme religius. Ia menembakan peluru di masjid Christchurch yang menewaskan 51 orang dan melukai 50 orang lain (yang kebanyakan muslim), tepatnya di Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre, New Zealand.
Tidak perlu menutup mata kalau tindakan dan aksi kekerasan dan radikal merupakan sebentuk efek dari pemahaman ajaran agama (bukan agama itu sendiri). Baik Islam maupun agama-agama lain memiliki catatan radikalisme yang telah merugikan banyak pihak. Tinggal bagaimana tanggung jawab pemeluk agama-agama untuk terus membina, mengayomi, dan mengarahkan umatnya untuk memahami ajaran agama sesuai pesan-pesan otentiknya masing-masing. Lebih baik mengakui adanya ajaran agama yang berpotensi mendorong aksi kekerasan dan berbenah, daripada membangun opini kekerasan tak ada kaitan dengan “agama” kemudian tidak ada perbaikan untuk masa mendatang.
Penulis: Lufaefi.