Foto/Dokumen Pribadi
Beberapa hari lalu warga Indonesia dihebohkan dengan berita pengeboman yang terjadi di gereja katredal Makassar, Ahad 28 Maret 2021. Aksi tersebut menuai kecaman keras dari pelbagai pihak. Ironisnya aksi brutal tersebut muncul di saat bangsa ini sedang bersatu bahu-membahu menghadapi pandemi Covid-19.
Masyarakat meminta kepada pihak yang berwenang untuk segara mencari dalang dari aksi bengis tersebut, karena aksi pengeboman pada tempat-tempat peribadatan di negara yang mempunyai kultur masyarakat yang majemuk, bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan dan toleransi beragama.
Namun banyak masyarakat yang menolak jika aksi tersebut dikait-kaitkan dengan ajaran agama tertentu. Pasalnya tidak ada satupun ajaran agama yang ada di Indonesai melegalkan aksi brutal tersebut.
Dalam ajaran Islam, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan toleransi beragama. Hal tersebut tercermin dalam surat al-Baqarah [2]: 256:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ …
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat….
Meskipun sebagian ulama menganggap ayat ini telah dinaskh (seperti pendapat Sulaiman Ibn Musa) namun dalam kitab Tafsir al-Kasyaf, Zamakhsyari berpendapat:
لم يجر الله امر الايمان على الإجبار والقسر ولكن على التمكين والإختيار.
Ayat tersebut sebagai bentuk penegasan bahwa keimanan seseorang harus didasari atas suatu pilihan secara sadar bukan atas suatu paksaan atau kekerasan. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam Tafsir Marah Labid dan Abu Muslim dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib.
Meminjam istilah Abdul Karim Soroush, jika ekspresi iman bersifat publik, maka esensi iman bersifat privasi, artinya wilayah iman ranah akhirat dimana setiap orang di akhirat nantin akan mempertanggungjawabkan keimanannya secara personal. Karena Allah berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Dalam kaitannya dengan toleransi beragama, Islam melarang umatnya untuk menghina dan mencaci-maki agama lain, karena hal tersebut justru akan menyulut konflik antarumat beragama yang dapat menimbulkan kerusakan dan mafsadat yang lebih besar, hal ini dijelaskan dalam surat[6]: 108 :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيۡنَ يَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدۡوًاۢ بِغَيۡرِ عِلۡمٍ ؕ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.
Dalam mengomentari ayat tersebut Imam Fakhru ad-Din ar-Razi berpendapat:
ﻷﻥ ﻫﺬا اﻟﺸﺘﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺴﺘﻠﺰﻡ ﺇﻗﺪاﻣﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺷﺘﻢ اﻟﻠﻪ ﻭﺷﺘﻢ ﺭﺳﻮﻟﻪ، ﻭﻋﻠﻰ ﻓﺘﺢ ﺑﺎﺏ اﻟﺴﻔﺎﻫﺔ، ﻭﻋﻠﻰ ﺗﻨﻔﻴﺮ ﻫﻢ ﻋﻦ ﻗﺒﻮﻝ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﺇﺩﺧﺎﻝ اﻟﻐﻴﻆ ﻭاﻟﻐﻀﺐ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ، ﻓﻠﻜﻮﻧﻪ ﻣﺴﺘﻠﺰﻣﺎ ﻟﻬﺬﻩ اﻟﻤﻨﻜﺮاﺕ.
Secara garis besar, alasan lalarangan mencaci agama lain karena menyebabkan mereka mencaci Allah dan Rasul-Nya, membuka pintu kerusakan, justru membuat mereka jauh dari Islam (tidak mau memeluk Islam) dan menanamkan kebencian terhadap agama Islam.
Oleh karenanya, seorang pemeluk agama yang tidak mengganggu agama lain, sejatinya ia telah menjaga marwah agamanya sendiri, dan sebaliknya jika ia berbuat kekerasan mengatasnamakan agama, justru ia sedang menghancurkan agamanya sendiri.
Tidak hanya itu, bahkan ketika Raaulullah sebelum mengutus pasukan pada perang Mu’tah tahun 8 H, beliau berpesan:
“Kalian nanti (di perjalanan) akan menjumpai beberapa pendeta yang menyendiri dan beribadat di gereja-gereja, maka janganlah sekali-kali kalian mengganggu mereka dan janganlah membunuh perempuan, anak kecil, orang tua, memotong pohon dan merubuhkan bangunan-bangunan”.
Pesan Rasulullah tersebut, menunjukan bahwa Islam menginspirasi perdamaian, meskipun kondisi perjalanan perang, jangankan mengebom gereja hinggga menimbulkan puluhan korban, mengganggu mereka yang beribadah di gereja saja dilarang. Dengan ini jelas bahwa pengeboman yang terjadi di gereja katredal Makassar bertentangan dengan ajaran Islam.
Penulis: Imam Subarul Adzim, M.Ag, Pendidik di Pesantren Tapak Sunan dan Staff Kajian LBM PCNU Jakarta Timur.