spot_img

Bom Gereja Katedral; Sekali Lagi tentang Makna Jihad; Bukan Tindakan Brutal

 

Foto/Tribunnews

Gejala radikalisme agama tidak pernah berhenti dari dahulu hingga sekarang. Bahkan, wacana kaitan antara Islam dan radikalisme kian waktu kian menguat mengingat banyaknya aksi dan tindakan radikalisme dan terorisme di dunia. Dimulai dari peristiwa 9 September 2001 di Washington DC dengan penyerangan World Trade Center, diikuti dengan aksi bom bunuh diri di berbagai tempat, seperti bom Bali I, bom Bali II, dan terbaru Bom Gereja Ketadral Makassar. Tindakan tersebut kemudian melahirkan pandangan stereotipe terhadap Islam oleh sebagian orang, dengan menganggap Islam sebagai agama kekerasan, brutal, dan tak peduli dengan fakta keragaman manusia.

Ajaran yang selalu disalahpahami oleh kelompok teroris adalah jihad. Atas nama jihad kemudian mereka melakukan tindakan kekerasan, bahkan membunuh orang-orang yang hanya karena beda paham dan keyakinan. Jihad selalu dimaknai sebagai tindakan melawan hal-hal yang bertentangan dengan Islam, dan seringkali hanya memenangkan pemahaman versinya sendiri. Padahal, jihad tidak identik dengan perang. Jihad dalam Islam bermakna tindakan menjaga dan mempertahankan diri, bukan memulai memerangi musuh. Jihad juga tidak identik dengan qital, sebagaimana disalahpahami kelompok radikal. Ayat-ayat jihad beda dengan ayat-ayat qital. Jika ayat-ayat jihad turun di Makkah, dan menjadi dasar teologis umat Islam. Sementara qital baruu turun saat nabi Muhammad berada di Madinah.

Sayyed Hosen Nashr dalam The Heart of Islam, menyebut bahwa dari 36 ayat-ayat jihad di dalam Al-Qur’an, kurang dari 10 ayat yang membahas peperangan. Selebihnya, jihad dimaknai sebagai sikap dan tindakan mengerahkan jiwa dan raga untuk membuat kemaslahatan, kemuliaan dan keadilan di muka bumi. Jihad di dalam Al-Qur’an sebetulnya adalah untuk tujuan kehidupan yang lebih baik di masa depan, bukan tindakan yang justru merugikan dengan membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan memutus mata rantai masa depan umat manusia. Oleh demikian, apa yang dipahami dan dilakukan gerakan ekstrimisme dan terorisme dengan memaknai jihad sebagai peperangan adalah tindakan yang gegabah, tidak mendasar.

Disebut juga di dalam Tafsir Departemen Agama RI, bahwa pembahasan jihad di dalam Al-Qur’an selalu bermuara pada tujuan as-salam, as-salamah, al-sulh, dan al-ihsan. Yaitu tujuan untuk kedamaian, perdamaian, dan perbaikan. Jihad tidak ada satupun yang bermakna tindakan kekerasan dan perilaku brutal seperti ISIS. Dalam QS. Al-Maidah ayat 35 bahkan dijelaskan, jihad yang sesungguhnya ialah jihad dalam rangka mewujudkan cita-cita manusia diciptakan di muka bumi, yaitu untuk mewujudkan kemanfaatan dan kemaslahatan yang luas di muka bumi. Jihad tidak ada yang bermakna merusak fasilitas umum, membunuh perempuan, anak-anak, dan orang yang tak berdosa lainnya.

Kemudian di dalam QS. Al-Baqarah ayat 218, juga dijelaskan tentang prakondisi yang harus dilakukan oleh orang yang akan melakukan jihad. Bahwa, sebelum melakukan jihad seseorang harus berhijrah terlebih dahulu, yaitu berhijrah menghindari pemikiran, emosi, amarah, tindakan, dan sifat yang justru bertentangan dengan Al-Qur’an. Di antara sifat-sifat itu ialah egoisme keagamaan yang mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan atas nama jihad. Otomatis, kelompok ekstrim dan radikal yang mengatasnamakan melakukan jihad pada dasarnya bukan melakukan jihad, sebab belum hijrah dari meninggalkan tindakan-tindakan kekerasan, kebrutalan, dan egoisme keagamaan.

Selain itu di dalam QS. Al-Baqarah ayat 95 juga dijelaskan tentang hal yang perlu dilakukan oleh orang yang jihad, yaitu mendermakan harta dan jiwanya. Ini artinya, jihad pada dasarnya dapat dilakukan dengan memberikan zakat, sedekah, infak, wakaf dan santunan kepada anak-anak Yatim. Sementar dengan jiwa, jihad dapat dilakukan dengan mendarmabaktikan jiwa untuk secar totalitas menjunjung tinggi dan mempertahankan diri bangsa dan negaranya agar tidak dijajah oleh bangsa lain. Kata ‘nafs’ di dalam ayat-ayat jihad ini menurut Quraish Shihab, sering disalahartikan oleh kelompok radikal dan teror sehingga memaknai jihad selalu dengan arti perjuangan fisik. Salahnya lagi, mereka melakukan tindakan-tindakan yang opensif, yang amat dikecam oleh Islam.

Akhirnya dapat disimpulkan, makna jihad bukanlah peprangan an sich. Jihad dapat bermakna luas, bahkan dapat ditujukan kepada segala bentuk kebaikan yang dilakukan oleh umat Islam dengan cara sungguh-sungguh. Paling tidak, jihad dapat dimaknai menjaga hawa nafsu agar tidak terjerumus kepada tindakan yang berlawanan dengan agama. Sehingga hemat penulis, sesungguhnya setiap muslim adalah mujahid, yang mengerjakan segala sesuatu kebaikan dengan cara sungguh-sungguh. Peradaban Islam yang dulu pernah dicapai oleh umat Islam sesungguhnya karena jihad, baik jihad fikiran, keterampilan, kecerdasan, dan tentu saja jihad hawa nafsu. Dengan begitu, jihad akan kembali kepada makna hakiki ya, yaitu untuk tujuan kehidupan masa depan, bukan mematikan.[]

Penulis: Lufaefi.

Artikel dimuat di Sangkhalifah.co

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles