Foto/Kompas
Matinya Zakiah Aini, terduga teroris yang menyerang Mabes Polri, tak bisa menghilangkan asumsi sementara orang bahwa agama dan terorisme bisa sangat mungkin berkelindan pada diri seseorang. Cita-cita mati syahid, berjihad, memberi syafaat, ditambah dengan tampilannya yang “islami”, cukup jelas arah asumsi itu ke agama apa.
Agama apapaun diyakini mengajarkan kedamaian. Kesalahannya pada lingkungan yang membuatnya sampai pada pemahaman agama yang ekstrim yang bahkan membuatnya siap dan berani untuk mati, demi mengejar “surga”. Tidak hanya tanggung jawab pemuka agama, surat wasiat yang beredar yang diduga ditulis Zakiah mengarahkan siapa saja yang harus bertanggung jawab.
Orang-orang yang selama ini membuat framming kebencian kepada non muslim (Ahok) adalah salah satunya. Dalam surat wasiatnya ia meminta orang tuanya untuk tidak membanggakan Ahok. Kebencian ini secara tidak langsung menjadi salah satu pemicu ia menjadi ekstrim, dan berani mati melakukan penyerangan atas nama jihad.
Yang juga memiliki tanggung jawab dan ini cukup penting adalah pemuka agama dan orang tua. Apa yang ditulis Zakiah soal pemerintah adalah taghut, demokrasi, UUD, Pancasila, dan Pemilu semuanya merupakan hukum kafir, adalah isu klasik yang dikampanyekan penyeru negara Islam dengan close minded. Tanggung jawabnya mengarahkan dan membimbing kepada tempat-tempat pembelajaran agama yang inklusif moderat.
Yang juga harus bertanggung jawab adalah mereka yang memiliki ideologi dan pemahaman takfiri atas atribut negara bangsa Indonesia. Eks HTI, simpatisan ISIS, kelompok JAD dan JIT, adalah sederet kelompok-kelompok takfiri yang dimaksud. Meski sebagian sudah dibubarkan dan yang lain tidak terlihat, tetapi ideologi gerakan ini masih ada di masyarakat dan cepat diyakini oleh anak-anak yang masih awam dalam agama, tidak mengenal dunia keagamaan secara lebih luas.
Terakhir, dan ini penting, adalah peran negara. Selama ini penanganan terorisme yang diketahui publik hanya ketika sudah ditangkap, bukan sebelum beraksi. Meski ada penangkapan terduga teroris tetapi tidak bisa menghilangkan jaringannya. Buktinya terorisme tetap saja ada. Masyarakat tidak tahu apakah bahkan lebih banyak atau tidak. Intelejen negara yang memiliki peran men-tracking jejaring teroris perlu maksimal lagi dalam memburu gerakan-gerakan yang mungkin saat ini sedang pada bangun, sedang membuat strategi menyerang atau mengebom lagi.[]
Penulis: Tim Redaksi Nuansanet.id