spot_img

Sebuah Renungan: Manusia dan Virus Corona

Virus Corona. Mulanya, ia berada di negeri nun jauh di sana. Ia telah membuat penduduk di sana ketakutan, bahkan puluhan ribu orang terbaring di rumah sakit, dan lebih dari seribu nyawa menghilang dibuatnya. Lalu, secara perlahan, ia mengepakkan sayapnya, ia terbang ke berbagai negeri, dan kembali melancarkan aksinya, menyebarkan virus mematikan itu. Bukan hanya nyawa yang jadi buruannya, bahkan aktivitas manusia dunia jadi lumpuh dibuatnya. 
Dan kini, ia sampai di negeri ini, negeri yang selalu menjadi kebanggaan kita semua. Iya, pandemi Corona sudah mewabah di Indonesia sejak dua minggu lalu. Sejauh ini, tujuh ratus sembilan puluh  orang posistif virus corona. Lima puluh delapan nyawa menghilang. Menghilang tanpa pernah kembali. Tentu, tak kita mungkiri, sewaktu-waktu kasus itu akan bertambah lagi dan lagi. Besar harapan, semoga virus itu segera pergi dan semua kembali pulih.
Banyaknya angka kematian manusia akibat virus tersebut, tentu bukan peristiwa yang sepele. Bahkan, kita tengah di hadapankan sebuah kejadian yang luar biasa besar, yang mengharuskan kita tetap sabar dan tabah, juga waspada. Puncaknya—kita tak berhenti di situ—tapi ada pelajaran besar yang mesti kita ambil dari kejadian itu. Di tengah badai wabah yang tengah menghantam negeri ini, itu merupakan sebuah ujian bagi kemanusiaan kita.
Bukan bermaksud meremehkan, tetapi pernahkah terlintas di dalam benak kita, betapa akhir-akhir ini seolah manusia selalu fokus pada virus itu, meski sejatinya waspada adalah hal yang paling utama demi mencegah virus. Namun, poinnya adalah, pernahkan kita berpikir, bahwa sejatinya di kedalaman diri kita, ada hal-hal yang lebih musykil dari Corona? Adalah keserakahan dan ketidakpedulian kita terhadap sesama, misalnya, seperti kasus tempo hari  soal masker yang ditimbun, lalu dijual dengan harga melangit.
 
Sadar atau tidak, begitu kita mendengar corona makin meluas, dan para ahli menganjurkan kita untuk tetap di rumah saja, fokus kita langsung ke supermarket. Sisi nafsu kita memberontak dan berteriak agar kita memborong semua kebutuhan harian itu sebanyak mungkin, supaya di masa-masa social distancing di dalam rumah, pasokan kebutuhan harian masih bisa terpenuhi. Tapi, bagaimana dengan mereka, yang begitu sampai di supermarket, tak mereka dapati kecuali rak-rak yang kosong dari kebutuhan harian?
Di atas hanya sebuah misal, betapa kadang kita, manusia masih sering egois, tidak mau mengalah, dan hanya memikirkan diri sendiri. Sebagai makhluk sosial, mestinya kita selalu melakukan perihal ini. Tapi, yang namanya manusia, kita kadang kalah dengan nafsu, bahkan kadang kita lalai kalau kita sedang menjadi manusia, sehingga acap kali, sikap kita lebih, maaf, seperti binatang. Bahkan, di saat mengantre sekalipun, kadang kita sering neyerobot.
Betapa kita kadang sering pongah di hadapan manusia, bahkan Tuhan sekalipun. Tanpa kita sadari, sejatinya kita tak pantas berlagak pongah. Sebab kita hanya hamba yang kecil, yang selalu butuh pada-Nya, seperti yang termaktub di surah Fatir ayat 15. Dan sungguh, Allah Mahakaya. Suatu hal yang mudah bagi-Nya, kapan pun Ia mau,  Ia memanggil kita. Virus Corona membuat kita harus waspada dan berhati-hati. Kita tak boleh menyepelekannya. Imbauan-imbauan para ahli harus kita patuhi dan laksanakan.

Namun, di sisi lain, di tengah bencana wabah ini, di tengah kesendirian, menyepi di dalam rumah, ada hal-hal yang mesti kita renungkan, tentang masalah kita, masalah di dalam diri manusia, agar kita tak saja selamat secara ragawi dari virus corona, namun kita juga harus selamat dari sisi batiniyah, dengan menghapus segala penyakit hati yang tertancap di kedalaman diri kita, agar—puncaknya—kita bisa menjadi rahmat bagi sesama, sebagaimana junjungan Nabi besar kita, Muhammad Saw.

Penulis: Ali Ridho (Penulis Buku: ‘Membuka Pintu Kebahagian’ dan ‘Hidup Itu Cuma Mampir’).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles