spot_img

Salam Pancasila, Begini Nalar Islaminya

Foto: Akuratnews.com
Akhir-akhir ini jagat media sosial dihebohkan oleh statemen Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Yudian Wahyudi tentang Salam Pancasila. Pasalnya beberapa media menggunakan kata kunci yang cukup menarik perhatian, yaitu: Ketua BPIP usulkan Assalamualaikum diganti dengan Salam Pancasila, kemudian diperkuat  oleh share-share berita yang belum valid kebenarannya, yang dilakukan oleh netizen maha benar–yang tanpa melakukan analisis berdasarkan sumber aslinya–menjadikan isu ini semakin trending.
Faktanya, pandangan tersebut baru sekadar wacana dan berlaku di ruang publik–dimana semua agama dan keyakinan ada–bukan di ruang yang khusus bagi umat Islam. Juga, Kepala BPIP sudah mengeluarkan pernyataan untuk mengklarifikasi tentang isu yang beredar tersebut.
Sebagai seorang muslim, memang sudah sepantasnya tersinggung dan marah bila salam (Assalamualaikum)ingin diubah redaksinya menjadi “Salam Pancasila”. Namun juga perlu bijak, bahwa assalamu alaikum berlaku untuk orang Islam saja. Adapun pertimbangan BPIP, adalah karena agama lain memiliki redaksi salam yang berbeda-beda, seperti redaksi Om Swastiyastu untuk Hindu, Namo Buddhaya untuk Budha, Shalom untuk Kristen (Katolik-Protestan), Wei De Dong Tian untuk Kong Hu Cu, dan lain-lain.
Secara sederhana, bertutursapa dengan orang lain tentunya dengan bahasa yang mereka pahami. Begitu juga dengan sekadar menyapa, seyogyaknya digunakan sapaan yang dapat dimengerti oleh orang lain. Dalam konteks Indonesia, ada banyak redaksi alternatif yang dapat digunakan, antara lain: halo, hai, apa kabar. Jika ingin lebih panjang bisa menggunkan: Halo! Apa kabar? Semoga hari ini semuanya dalam keadaan sehat. 
Dalam Majalah Manah Tahun 1987, Abdul Rahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur, Presiden RI yang keempat, pernah menyatakan bahwa dalam konteks mempribumikan Islam, kata Assalamualaikum dapat diganti dengan selama pagi, selamat sore dan selamat malam. Sampai di sini, perlu digarisbawahi, pandangan tersebut tidak dalam konteks menghapuskan Assalamualaikum yang sudah diamalkan oleh umat Islam saat berjumpa dengan orang lain.
Bahkan, di dalam sebuah hadis kita dianjurkan untuk mengucapkan salam ketika bertemu dengan saudara seagama kita.

“Hak seorang muslim dengan muslim lainnya ada enam. Beliau pun ditanya, “Apakah itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia. Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam Islam juga diatur etika mengucapkan salam, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
“Hendaklah yang kecil memberi salam pada yang lebih tua, hendaklah yang berjalan memberi salam pada yang sedang duduk, hendaklah yang sedikit memberi salam pada yang banyak.” (Muttafaqun ‘alaih).
Dua hadis di atas cukup menguatkan bahwa mengucap salam itu sunah, artinya bila tidak mengucapkan salam di depan orang lain tidak menjadikan seorang muslim dosa, apalagi sampai menggugurkan keimanan kepada Allah. Begitu juga, dengan ucapan Salam Pancasila di ruang publik tidak mendatang dosa. Bahkan mendapat pahala, bila diniatkan agar nilai-nilai Pancasila itu tertanam pada diri seseorang dan berbuah amal dalam kehidupannya. Dengan niat demikian, mengucapkan salam Pancasila – tidak dalam rangka menghapus Assalamualaikum – merupakan ungkapan yang berpahala bagi yang mengucapkanya.

Penulis: Harkaman (Kepala Sekolah SMP TIK Mizan, Kota Depok).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles