Foto: sumsel.com
Nabi Muhammad Saw merupakan sosok Nasionalis. Pribadinya merupakan tokoh yang sangat mencintai negeri dimana beliau dilahirkan, yaitu negeri Makkah. Bagi Nabi Muhammad, mencintai negeri Makkah adalah keniscayaan.
Tanda sikap Nasionalis Nabi Muhammad Saw diabadikan dalam ayat-ayat Al-Quran, yang tentu saja semestinya menjadi panduan dan panutan seluruh umat Islam. Salah satu ayat Al-Quran tersebut ialah Qs. Al-Qashas: 85:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ
“Sungguh, Dzat yang telah menurunkan al-Quran untukmu akan mengembalikanmu ke tempat kembali (Makkah)“.
Terkait ayat ini, Ismail Haqqi al-Buruswi menyatakan bahwa firman Allah ini turun ketika Nabi Muhammad bersama sahabat Abu Bakar keluar dari Goa Hira dimana beliau hendak hijrah ke Madinah karena disakiti oleh orang-orang Kafir Makkah.
Ketika sampai di Kota Ju’fah, beliau Saw menoleh ke arah Makkah dengan sangat bersedih. Nabi Saw belum siap meninggalkan negeri Makkah. Bahkan Nabi bersumpah bahwa seandainya ia tidak diusir oleh kafir Makkah, ia tak akan meninggalkan negeri tercinta itu, Makkah. Ia menangis sambil melangkah meninggalkan negeri Makkah.
Saat itu pula Abu Bakar kemudian menghiburnya, sambil berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, kelak engkau akan kembali ke negeri kelahiran, yaitu saat Islam telah menyebar di seluruh pelosok negeri Makkah”.
Masih menurutnya, ayat ini menunjukan akan sikap cinta Nabi kepada tanah air Makkah. Hatinya selalu terpaut untuk merindukan dan mencurahkan hal-hal kebaikan untuk negeri Makkah. Jiwa nasionalisme Muhammad begitu tertanam dalam ayat ini dengan jiwanya yang begitu berat meninggalkan negeri kelahiran.
Dalam ayat lain, QS. An-Naml: 91, Allah swt berfirman :
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَٰذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ ۖ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) Yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri“.
Menururt ar-Razi, posisi negeri Makkah (baldah) dalam ayat tersebut disandingkan dengan kata ‘Rabb: Tuhan’, sebab negeri Makkah merupakan negeri yang sangat dicintai Rasulullah Saw. Selain karena tempat kelahirannya, negeri Makkah juga merupakan negeri dimana umat manusia tidak boleh menumpahkan darah, membunuh binatang dan diharuskannya seseorang memaksimalkan penghambaan kepada Allah SWT ketika berada di tanah suci itu.
Ayat ini memberi isyarat akan sikap nasionalisnya Nabi Muhammad Saw yang sangat mencintai negeri Makkah. Tidak tanggung-tanggung, karena nasionalisnya Nabi kepada Makkah, Al-Quran menyandingkan negeri/baldah pada ayat tersebut dengan kata “Rabb”.
Dari penjelasan dua ayat di atas dipahami bahwa nasionalisme bukanlah faham yang tidak dibenarkan dalam Islam. Islam telah mengajarkan sikap nasionalisme sejak lama. Nabi Muhammad Saw sejak 14 abad yang lalu telah mempraktikan sikap nasionalisme, bahkan di waktu sulitnya berdakwah.
Al-Quran merekam dengan apik sikap nasionalis Nabi Muhammad. Hal itu karena nasionalisme adalah sikap yang seharusnya dimiliki orang Islam. Karena dengan nasionalisme dan mencintai negerinya pula, Nabi dapat leluasa beribadah, menghamba di tanah kelahiran dan berdakwah tanpa lelah.
Sebaliknya, tanpa nasionalisme, akan sulit menjalankan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah. Kenapa? Karena tegaknya syariat dilatarbelakangi tegaknya negeri. Seseorang yang tidak memiliki negeri akan sulit menjalankan ibadah. Syariat hanya akan tegak manakala sebuah negeri tegak, aman, tentram dan damai untuk penduduknya, dan semua itu bisa terwujud dengan kecintaan setiap individu masyarakat kepada negerinya.
Oleh karena itu menurut al-Buruswi dalam tafsir Ruh al-Bayan, ketika menafsirkan Qs. Al-Qashas: 85 di atas, ia menyatakan, “wa fi hadzihil ayat isyaratun anna hubbal wathan minal iman: dalam ayat ini memberi isyarat bahwa nasionalisme ialah sebagian dari iman”.
Penulis: Lufaefi (Mahasiswa PTIQ Jakarta).