Virus baru dengan sebutan Corona Virus Disase 19 atau lebih dikenal dengan Covid-19, telah menjadi bencana non-alam global. Proses penyebarannya yang cepat membuat World Health Organization (Organosasi Kesehatan Dunia) atau WHO, secara resmi mengumumkan bahwa kasus ini sebagai pandemi.
Berbagai langkah dan tindakan dilakukan oleh otoritas medis untuk mencegah penularan virus ini lebih luas. Dari mulai sosialiasi tindak pencegahan sampai himbauan isolasi secara mandiri di rumah. Masyarakat diminta agar sebisa mungkin menjauhi kerumunan masa yang memiliki kemungkinan besar penularan (social distance) Covid-19, termasuk dalam shalat jama’ah dan Jum’at.
Namun, di tengah-tengah itu muncul ajakan “gagal paham” yang diframing secara agamis. Ajakan untuk hanya takut kepada Allah, bukan takut kepada Corona. Ada lagi misalnya ungkapan yang bisa saja menipu banyak orang dengan bungkus agama, “Jangan tutup tempat-tempat ibadah! Mau tetap di rumah atau di mana saja, kalau Allah sudah berkehendak kena Corona, pasti Corona bakal menjangkit tubuh kalian!”, dan ucapan-ucapan sejenisnya.
Dengan dalil tawakal (pasrah pada Allah), usaha manusia diabaikan. Dengan klaim kebenaran tawakal pada Allah atas wabah Corona, aturan pemerintah dianggap sampah. Begitulah, kadang, semangat agama yang sungguh melangit, namun keilmuan soal agama perlu dipertanyakan lagi. Semoga Allah menyadarkan kita semua.
Bukan hal yang salah bahwa dalam konsep tawakal, seorang hamba dituntut untuk “hanya” bergantung kepada Allah Swt, bukan pada makhluk apapun selain-Nya. Termasuk makhluk sekelas otoritas kesehatan yang meghimbau untuk mengisolasi diri secara mandiri di rumah dan tindakkan preventif (pencegahan) lainnya.
Dalam kajian Tasawuf, Syekh Muhammad al-Amir al-Misliki dalam bukunya, Hasyiyah Ibnu al-Amir, yang merupakan sebuah buku hasil komentar atas buku Ittihaf al-Murid, syarah dari Jauhar at-Tauhid, ia menjelaskan bahwa dalam konsep tawakal itu ada dua kondisi. Berikut penjelasannya:
Pertama, bagi orang yang sudah mencapai level tasawuf expert, di mana secara totalitas dia hanya bergantung kepada Allah, dalam urusan apapun. Ia sudah tidak lagi membutuhkan lingkungan sosial. Hatinya hanya terkoneksi kepada Allah. Kasarannya meskipun dia tidak punya uang seperpun tidak akan minta pada makhluk manapun. Meskipun tidak punya kuota, ia tidak akan mondar-mandir di warung kopi hanya untuk cari wifi gratisan.
Kedua, bagi orang yang masih membutuhkan lingkungan sosial. Ia masih butuh uang untuk membeli kebutuhan. Masih butuh warung untuk membeli rokok. Ia belum bisa totalitas bergantung kepada Allah semata. Meskipun ia bisa menjaga jangan sampai terlena dengan dunia sekitarnya. Dan ini, sama sekali tidak menyalahi konsep tawakal bagi hamba yang masih “amatiran” sekelas kita-kita.
Kalau kita kembali pada dua konsep di atas, di mana posisi kita? Apakah kita masuk pada kategori tawakal pertama ataukah kedua? Dengan akal sehat, kita bisa menempatkan ada di mana diri kita atas dua bentuk tawakal itu. Kalau kita masih mau sadar diri, sehari saja tidak ada kuota internet, atau agen kuota tutup semua, tidak ada teman yang bermurah hati sedekah tetring dan lain sebagainya, pastilah kita akan kelabakan tujuh belas setan. Cukup jelas bahwa kita masih berada pada level tawakal kedua.
Atau jika kita gunakan logika sederhana dalam persoalan virus Corona ini, jika kita belum bisa totalitas bergantung kepada Allah Swt, andaikata ada seseorang -naudzubillah- divonis suspek Corona, apa kita akan tetap bilang, “Tenang saja. Nanti juga sembuh sendiri. Allah yang menciptakan, juga Allah yang menyembuhkan. Tidak sudah diobati. Cukup berdoa saja agar ia sembuh.”, begitu, kah?
Rasanya pernyataan di atas tidak pernah mewujud dalam faktanya. Toh, baru diumumkan ada dua WNI suspek Corona saja semua panik, borong masker, hand sanitizer, obat-obatan dan lain-lain. Lebih dari itu, bahkan (ada) sebagian yang malah mengolok-olok pasien atau bahkan mengolok-olok pemerintah. Di mana letak tawakalnya?
Seorang pakar hadis dari madhab Syafi’i yang amat terkemuka, yang lahir pada tahun 1372 M, yaitu Imam Ibn Hajar Al-‘ Asqalani, dalam bukunya yang berjudul Fath al-Bari, syarah dari Sahub Bukhari, beliau menjelaskan bahwa dalam bertawakal seorang hamba tetap harus mempercayai adanya sebab akibat dan sikap membutuhkan pada mahluk Allah Swt.
Masih menurutnya, suatu saat Imam Ahmad ditanya tentang seorang laki-laki yang bermalas-malasan di rumahnya. Laki-laki itu bergurman dengan sombongnya, “Saya tidak akan melakukan apapun, urusan rizki kan sudah ada yang ngatur.” Iman Ahmad menjawab, “Ini adalah laki-laki bodoh.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
Jika kalian bertawakal dengan sungguh-sungguh kepada Allah, maka Allah akan memberi kalian rizki sebagaimana Allah memberi rizki seekor burung yang (terbang) pagai hari dalam keadaan perut kosong, lalu (pulang) sore hari dalam keadaan perut kenyang.
Jika kita amati hadis di atas, Nabi Muhammad Saw. menganalogikan orang yang bertawakal dengan sungguh-sungguh laksana seekor burung yang terbang di pagi hari dalam keadaan perut korong lalu pulang sore hari dalam keadaan perut sudah kenyang. Tentunya terbangnya burung itu dari pagi sampai sore untuk berusaha mencari makan, bukan “hanya” untuk berdoa diberi makanan tanpa usaha dzohir sama sekali.
Kembali dalam konteks wabah Covid-19 yang hingga hari ini masih menjadi masalah bagi bangsa dan agama. Sebagai tindakan perventif, kita harus bertindak masuk akal dan tetap mematuhi standar medis yang ada. Ini masalah serius menyangkut nyawa banyak orang. Jangan sampai alih-alih merasa paling tawakal, tapi justru mencelakakan banyak orang, bahkan tak sadar menyebarkan virus mematikan itu. Nauzubillah.
Tawakal bagi seorang muslim yang masih membutuhkan uluran orang lain, dalam menghadapi virus Corona, berarti berusaha mematuhi himbauan pemerintah, pusat maupun daerah, tidak keluar rumah, tidak berkerumun dalam masa yang banyak, tetap kerja dan ibadah di rumah.
Selain itu, perlu mempertimbangkan sebab akibat setiap tindakan dan perilaku di masa-masa genting karena wabah Corona ini. Jangan sampai karena gagal paham konsep tawakal yang kita yakini, menjadi sebab terus membesarnya wabah penyakit menular Corona. Jangan sampai karena salah memahami maksud tawakal, (tanpa sadar) kita sendirilah yang menjadi sebab awal kematian orang-orang yang terimbas wabah Covid-19 di negeri ini. Nauzubillah.
Sumber:
1. Hasyiyah Ibnu al-Amir ‘ala Itihaf al-Murid Syarh Jauharah at-Tauhid
2. Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari
3. Mawarid adz-Dzoman ila Zawaid Ibn Hibban
Penulis: Muhamad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta).