Salah satu gaya kepemimpinan Pak Jokowi yang nyeleneh bin ambyar adalah praktik blusukan ke pelosok-pelosok desa. Dengan kemeja putih dan lengan baju dilipat setengah menjadi style khasnya, membuat pak presiden kita ini unik. “Kerja kerja kerja,” intonasi Solo mengkampanyekan slogannya.
Tapi ya dasar nasib orang besar. Kritik dan hujat sudah menjadi cemilan harian. Sehari tanpa hujatan, bak masakan padang tanpa krupuk lima ratusan. Label pencitraanpun menyambut dengan narasi penuh kebucinan, eh, kebencian.
Aduh, kok jadi bahas-bahas politik ya. Sudah-sudah, penulis tidak mau membawa imajinasi anda-anda ke romantisme pesta demokrasi yang terlalu dramatis untuk didrama-kolosalkan. Cebong kampret telah berlalu.
Tidak penting Anda di kubu pro atau kontra. Ini intermezo belaka. Jangan baper jangan berburuk sangka, oke.
Blusukannya Sahabat Umar
Ternyata praktik blusukan bukan baru-baru ini loh. Jauh pada era sahabat nabipun praktik ini sudah ada. Semua itu sebagai wujud tanggung jawab seorang pemimpin negara. Untuk memastikan keadilan benar-benar terwujud dan merata. Tidak seperti pemimpin hari ini. Pandai mengumbar janji-janji manis, namun pada akhirnya terasa pahit menyayat luka. Seperti ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.
Adalah Sahabat Umar Ra. Khalifah kedua yang berkuasa pada tahun 634 sampai 644. Beliau adalah salah satu pemimpin yang hobi blusukan. Baginya, kesejahteraan adalah hak segala bangsa. Jangan sampai ada satu rakyatpun yang kelaparan, sementara sang khalifah kenyang duluan.
Prinsip beliau dalam menyikapi rakyatnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Umar bin al-Khattab pernah mengatakan :
بِئْسَ الْوَالِي أَنَا إِنْ شَبِعْتُ وَالنَّاسُ جِيَاعٌ
“Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/135)
Beliau mengatakan ini pada masa paceklik, saat itu beliau hanya makan roti dan minyak sehingga kulitnya hitam.
Pada satu malam beliau blusukan untuk memastikan kesejatheraan rakyatnya. Tiba-tiba terdengar suara berisik di salah satu rumah sahabat Anshar. Terdengar seperti suara gelas saling beradu, mirip di pesta malam anak-anak gang pojok kota sebelah.
Sang khalifahpun penasaran, ingin melihat langsung apa gerangan yang sedang terjadi. Namun pintu rumah terkunci. Tidak kehabisan ide, beliau berputar dan masuk lewat dari arah belakang rumah. Sungguh terkejut ketika yang beiau lihat adalah sekelompok rakyatnya sedang pesta miras. Alamak.
Tanpa babibu, beliau langsung mengangkat tongkatnya, diarahkan ke arah para pemabuk. Namum salah seorang pemabuk terlebih dahulu protes sebelum tongkat itu benar-benar menyentuh mereka.
“Wahai Amirul Mu’minin, apa yang handak kau lakukan pada kami?,” protes salah satu dari mereka.
“Saya ingin menghukum (menta’zir) kalian!” tegas sang khalifah.
“Jika engkau ingin menghukum kami karena hanya karena satu kesalahan. Lantas, bagaimana dengan engkau yang melakukan tiga kesalahan?” Lanjut si pemabuk.
Sahabat Umar bigung. Apa sebenarnya maksud perkataan si pemabuk tadi?
“Kesalahan pertama, padahal Allah berfiran,
وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
‘’Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.’ Tapi engkau lewat dari belakang rumah,” tegas pemabuk.
“Kesalahan kedua, Allah padahal berfirman,
وَلَا تَجَسَّسُوا
‘’Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain! Engkau malah mencari-cari kesalahan, padahal kami sudah bersembunyi agar tidak diketahui orang“, lanjutnya
“Dan kesalahan ketiga, padahal Allah pun berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
‘‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.’’ Tapi engkau masuk tanpa izin pemilik rumah.” Pungkas pemabuk.
“Demi Allah, engkau benar,” pendek sang khalifah. Beliaupun pulang tanpa berkata apapun. Meski pada akhirnya para pemabuk bertaubat.
Bayangkan, Sahabat Umar adalah seorang pemimpin yang kredibel secara moral dan intelektual. Bisa saja dengan keluasan ilmu dan otoritas yang dimilikinya beliau menyangga balik hingga lawannya tak berkutip.
Tapi, itulah sang khalifah. Otoritas dan kelimuan beliau kalah dengan kerendahan hati dan kehati-hatian beliau dalam memimpin. Begitulah seharusnya karakter seorang pemimpin. Moral dan tanggung jawab adalah segalanya.
Tidak seperti kebanyakan pemimpin hari ini. Boro-boro matang secara intelaktual, apalagi moral. Janji-janji palsu diserukan bak penjajah barang obralan.
Oleh: Muhamad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta).