Hari ini umat Islam sedang berpuasa di bulan mulia Ramadan. Bulan yang mengharuskan umat Nabi Muhammad bersikap damai dan mendamaikan. Secara bahasa, puasa didefinisikan oleh ulama ahli fiqih dengan arti menahan, yaitu menahan diri dari segala hal yang bisa membatalkan puasa seperti makan dan minim. Kiai Sahal Mahfudz mendefinisikan puasa lebih luas, yaitu bukan hanya menahan untuk tidak makan atau minum, tetapi juga menjaga diri dari akhlak-akhlak yang tercela, seperti iri, dengki, riya’, sombong dan ujub. Seyogyanya orang yang berpuasa tidak boleh sombong, seperti merasa keyakinan keagamannya paling benar sendiri. Seharusnya juga tidak dengki, dengan perbedaan yang ada di sekitarnya.
Puasa adalah bulan toleransi. Secara historis, Ibn Khaldun menyebut bahwa umat Islam dahulu saat datang bulan Ramadhan maka berhenti untuk melakukan peperangan untuk tegaknya Islam. Mereka berhenti dan mengasah pedang mereka untuk digunakan di tahun berikutnya. Demikian dalam konteks masa kini, orang yang berpuasa hendaknya berhenti melakukan kekerasan, baik kekerasan verbal maupun kekerasan tindakan. Orang Islam harus mengistirahatkan diri dari melakukan hal-hal yang merugikan. Istilah “Ramadhan Karim” atau bulan yang mulia, menurut Imam Al-Maraghi, juga bermakna orang yang berpuasa harus bisa memuliakan satu sama lain. Tidak boleh ada pertumpahan darah. Apalagi hanya karena perbedaan pandangan.
Sejarah juga membuktikan bahwa ibadah puasa bukan hanya dilakukan oleh umat Islam, umat Nabi Muhammad, tetapi juga dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Nabi Nuh misalnya, dengan umatnya melakukan puasa selama satu tahun penuh, kecuali di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Nabi Ibrahim, juga melakukan ibadah puasa, yaitu ketika akan turun wahyu kepada dirinya. Sedangkan Nabi Ishaq, melakukan puasa untuk keselamatan putra-putranya. Sedangkan umat Nabi Muhammad berpuasa agar menjadi diri yang bertakwa (QS. Al-Baqarah: 183). Tak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga umat-umat terdahulu. Sehingga seyogyanya orang yang berpuasa bisa memiliki sikap toleransi yang tinggi.
Dalam salah satu hadisnya Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa orang yang berpuasa tidak boleh disakiti, apalagi dicaci, dihina, dan diperangi. Ketika ada orang yang akan berbuat jahat, hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengharuskan kita untuk mengatakan “Ana Sho’im”, yang artinya: saya sedang berpuasa ketika ada orang yang jail atau menganggu. Menurut Imam An-Nawawi di dalam kitab Nasaih Al-Ibad, maksudnya agar di dalam waktu melakukan puasa umat Islam agar lebih memuliakan semua orang, tidak boleh menyakiti satu dengan yang lainnya. Umat Islam diharuskan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Begitu juga dengan umat agama lain, hendaknya saling menghargai satu sama lain.
Lalu bagaimana merefleksikan toleransi dalam konteks Ramadhan di negara kita yang merupakan negara multikultural? Kita misalnya, harus bisa menghargai perbedaan tentang awal kapan puasa dimulai. Sebagaimana ada beberapa organisasi masyarakat Islam yang berbeda salam menentukan awal Ramadhan, ada yang menggunakan ru’yah al-hilal (melihat bulan) dan ada yang menggunakan hisab (perhitungan hari). Begitu juga dalam perbedaan jumlah rakaat salat Tarawih. Sebagaimana sebagian kelompok meyakini 23 rakaat dan sebagian yang lain meyakini hanya 11 rakaat. Pada konteks ini maka nilai-nilai toleransi harus diejewantahkan oleh orang yang berpuasa. Satu sama lain antar kelompok tersebut perlu melihat perbedaan itu sebagai rahmat Allah.
Tidak hanya dengan sesama Muslim, toleransi dalam bulan puasa Ramadhan juga harus diaplikasikan dengan non Muslim. Misalnya dalam bulan puasa ditemukan adanya warung makan yang buka di siang hari, maka hendaknya nilai toleransi perlu dikedepankan. Perlu melihat secara jernih bahwa adanya warung yang buka di siang hari, bisa jadi karena di sekitar warung itu ada non Muslim yang memang tidak diwajibkan berpuasa. Atau mungkin ada perempuan yang sedang haid, orang sakit, atau anak kecil yang belum wajib melakukan puasa dan perlu makan. Dengan mengedepankan sikap toleransi, maka umat Islam akan bersikap toleran dengan adanya tempat-tempat makan yang buka di siang hari bulan puasa. Tidak bersikap intoleran dengan sweeping atau menutup paksa warung-warung tersebut.
Pada hakikatnya, Ramadhan bukan hanya ibadah yang mengandung banyak pahala dan rahmat Allah bagi setiap Muslim yang menjalankannya, Ramadhan juga menuntut umat Islam mengedepankan sikap toleransi, toleransi baik dengan Muslim maupun dengan non Muslim. Ramadhan sebagai upaya untuk menempa umat Islam untuk menjauhi sikap intoleransi, ekstrimisme dan radikalisme. Dalam arti lain, siapapun yang di bulan ink melakukan tindakan intoleran, radikal ataupun ekstimis sejatinya belum melakukan ibadah dengan sebenar-benarnya. Ketakwaan yang merupakan tujuan dari berpuasa salah satunya adalah membuat manusia teguh dalam sikap toleran dan kasih sayang antar sesama.[]