Tulisan ini bermula dari analisa hasil riset saya di Bandung dua tahun yang lalu. Kala itu, saya bertemu informan pemuda eks simpatisan ISIS. Anak muda yang tidak mau disebut namanya itu mengaku pernah akan dikirim senjata oleh mujahid-mujahid Afghanistan, menjadi senjata jihad di Indonesia.
Sebelumnya dia bercerita kenapa bisa sampai terjebak kepada kelompok teroris ekstrim tsb. Selepas lulus SMA, kegiatannya banyak dihabiskan dengan membaca buku-buku keislaman. Jarang dikonfirmasikan dengan guru agama. Sayangnya, buku-buku itu ia dapatkan juga dari Internet dalam bentuk PDF. Dan lagi-lagi, karena tidak memiliki guru agama yang baik, ia tak mengkonfirmasi isinya.
Dalam buku-buku yang dibacanya, bahasan yang selalu ditonjolkan adalah persoalan jihad, perang, membasmi orang kafir, mendirikan negara Islam, memerangi taghut, dan baiat terhadap Khalifah. Dalam ceritanya, ia juga belajar Islam melalui sosial media. Nahasnya, dia terkesima dengan perjuangan ‘mujahid’ di Suriah dan Thailand, yang dianggapnya tegas dalam membela Islam. Menurut dia saat itu, orang Islam di Indonesia lemah-lemah, tidak ada yang mau berjuang yang sebenarnya demi Islam.
Gejolak dan semangat beragama yang dimilikinya terus mengalami pertumbuhan, meskipun tersesat ke jalan yang tidak benar. Ia juga hendak mengajak adik-adik kelasnya di SMA untuk ikut bergabung belajar bersama para mujahid Afghanistan, belajar perang, jika mau membela Islam yang sebenar-benarnya.
Tidak hanya itu, dalam kisahnya yang disampaikan secara tertutup dalam sebuah ruangan khusus itu, dia sering berdebat dengan orang tuanya terkait dengan keyakinan ekstrim yang dipelajarinya melalui sosial media. Bahkan, sesekali orang tuanya pun diajak untuk berjihad, membela Islam bersama para mujahid di Suriah dan Afghanistan.
__________
Cerita kisah nyata yang disampaikan oleh informan saya itu memberikan hikmah bahwa pentingnya belajar agama di pesantren, atau melalui guru-guru yang jelas keilmuannya. Belajar di pesantren kurikulumnya jelas, dari awal, tidak loncat, tidak tiba-tiba mendalami persoalan jihad, perang, memerangi non muslim.
Di pesantren, kita juga diajari soal semua itu. Tetapi paling penting ialah dikuasai dahulu dasar-dasarnya, seperti tauhid, akhlak, ibadah, aqidah, tajwid, dan sebagainya. Pemahaman yang dimulai dari dasar menjadi pondasi ketika mempelajari tema-tema yang lebih serius seperti soal jihad dan berinteraksi dengan non muslim. Sehingga konsep dasar yang terbangun tentang hal-hal tersebut tidak berat sebelah.
Pesantren mempelajari bagaimana bertabayun karena memiliki guru dan kyai yang mumpuni dalam soal keagamaan. Kesempatan ini membuat para santri tidak seenaknya sendiri merespon suatu hal tanpa persetujuan kyai atau ustadznya. Walaupun ia misalnya telah tamat belajar dari dasar sampai tingkatan kelas atas. Kondisi ini berbeda dengan hanya belajar agama melalui sosial media, apalagi jika tak memiliki guru, akan kemana mengkonfirmasi pemahaman, kalau tidak ditelan mentah-mentah.
Hal penting di pesantren yang diajarkan di dunia luar adalah esensi dalam beragama, yaitu tidak boleh menilai orang lain dari sisi tampilannya saja. Betapa banyak hadits-hadits yang diajarkan di pesantren tentang seorang laki-laki yang masuk surga karena menolong binatang Anjing yang kehausan; Nabi Muhammad yang setia memberi makan kepada pengemis buta yang kafir; dan interaksi Nabi dengan Yahudi, Nasrani, bahkan kaum Pagan. Sekira, meski tidak intens, materi-materi soal perbedaan di luar Islam menjadi dasar mereka saat pulang ke kampung menghadapi perbedaan di tengah masyarakat.
Sudah bukan waktunya memesantrenkan anak hanya dengan tujuan agar tidak bergaul dengan pergaulan yang tidak baik di rumah. Apalagi alasan memondokkan anak karena tidak lulus di sekolah pavorit di daerahnya. Pemahaman agama yang diperoleh dari dasar dan dengan bimbingan guru agama yang intensif-lah yang sehendaknya menjadi salah satu alasan penting orang tua. Bukan alasan-alasan yang terkesan hendak ‘membuang’ anak dan mencari aman.[]