Oman Farhurrahman. Salah satu Guru Besar di bidang kajian Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Oman kecil lahir dari keluarga yang kurang beruntung, jauh dari istilah kaya akan harta. Suatu masih di MA, ia diberi nasehat oleh Ayahnya bahwa ia hanya bisa membiayai Oman sampai SMA sambil mesantren saja, dan jika mau kuliah, ia diminta agar cari biaya sendiri.
Oman yang terlahir dari 11 bersaudara itu memiliki tekad yang kuat untuk terus belajar. Tiga tahun selepas mesantren di Kuningan, Jawa Barat, tempat kelahirannya, Oman mencoba untuk kuliah di UIN Jakarta, di FAH. Selama waktu kuliah, Oman berbeda dengan anak-anak kuliah lain yang banyak waktu untuk bisa bermain di masa mudanya selama menjadi Mahasiswa.
Oman, di luar waktu kuliah, menghabiskan waktunya untuk berjualan rokok dan tisu, dijajakkan ke pasar-pasar seperti Tanah Abang untuk membiayai kuliahnya. Dari Ciputat tempat kuliahnya, selama 4 tahun ia bergelut dengan dagangan kecilnya itu di jalan-jalan. Demi apa, tidak lain agar ia tetap bisa makan dan kuliah sampai selesai S1.
Selama masa kuliah sambil berjualana itu, Oman seringkali mau putus asa dengan nasib yang dialaminya. Ia tidak jarang meneteskan air mata di setiap dagangannya jarang laku atau tidak ada yang membeli. Lebih-lebih ketika kehujanan. Kepanasan, kedinginan, sudah menjadi kesehariannya. Sesekali ia merasa seakan ilmu yang ia dapat di pesantren tak ada gunanya. Ia yang selama di pondok menghafal Jurmiyah, Imrithi, Alfiyah, namun merantau di Jakarta hanya jualan tisu dan rokok di jalan-jalan yang tak jarang tidak ada yang membelinya.
Tekdanya yang kuat tidak melunturkannya untuk terus berjualan. Ia yakin bahwa usahanya akan bisa membuatnya bertahan kuliah di Ibukota. Meskipun sekali dua kali hampir mau putus asa, namun ia berhasil hingga ia menyelesaikan S1-nya di bidang bahasa Arab. Ia merasa bahwa lulus S1 adalah sebuah kebanggaan bagi dirinya, karena itu cita-citanya sebagai rasa terimakasih untuk orang tua yang sudah membiayainya sekolah dan mesantren bertahun-tahun.
Suatu hari ketika akan menggarap Skripsi, Oman diminta Dosen Pembimbingnya, Ibu Nabila, untuk mengkaji kajian filologi, karena dirasa ia mampu berbahasa Arab, Melayu, Sunda, dan Jawa. Namun Oman yang lulusan pesantren itu tidak meminati kajian tersebut, dan ia pun menolaknya. Skripsinya berganti dengan kajian shorof yang sudah tak asing menjadi salah satu kajiannya selama di pesantren di Kuningan.
Selesai dari S1, Oman masih belum memiliki pekerjaan. Tidak ada pilihan kecuali ia harus lanjut berjualan rokok dan tisu di jalanan. Ia menghabiskan waktunya selama berbulan-bulan pasca lulus sarjana untuk tetap menjadi anak jalanan berjualan di jalan-jalan. Boro-boro mau lanjut S2, hidup di Jakarta saja masih belum terpenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Suatu hari, ia diminta oleh Dosen pembimbingnya itu untuk mengedit Tesisnya yang di dalamnya didapati aksara Jawa Pegon yang hendak diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Prancis. Oman yang berasal dari pesantren salaf itu sempat menolak atas tawaran itu, sebab ia kurang meminati Filologi. Setelah Dosen itu menawarkan adanya honor atas terjemahan itu ia pun dengan sigap mengiyakan. Ia senang karena bakal ada uang tambahan untuk kebutuhannya hidup di Ibukota.
Hasil editan Oman yang berjumlah ratusan halaman itu dinilai oleh Profesor asal Prancis, Prof Henri, dengan nilai yang sangat menakjubkan. Hasil terjemahannya memberikannya keyakinan bahwa pengeditnya jago dalam bahasa Arab, Melayu, Sunda dan Jawa. Akhirnya karena saking takjubnya, Guru Besar Prancis itu membiayai Oman untuk kuliah S2, tapi dengan syarat mengambil jurusan Filologi, agar ia fokus dalam kajian itu. Meski awalnya ragu, setelah akan dijanjikan beasiswa 11 juta di awal masuk S2 Oman akhirnya mengiyakan permintaannya itu.
Selama dua tahun Oman muda menyelesaikan Tesisnya di bidang Filologi, dalam kajian Tasawuf Satariyah Sinkel Aceh. Hasil Tesisnya itu dinilai memuaskan oleh para pembimbingnya hingga hasil karyanya itu dibukukan atas permintaan dosennya, dan diterbitkan oleh Prof Henri yang mengenal Oman sebagai orang yang akan jadi Filolog terkenal. Dari situ Oman semakin yakin bahwa dulu apa yang pernah Ayahnya bilang, bahwa anak pesantren tidak akan pernah kelaparan, semakin percaya. Ia semakin percaya akan keberkahan guru dan orang tuanya.
Selesai S2, ia juga diberikan beasiswa berkat Tesisnya itu. Ia diberi beasiswa kembali oleh Prof Henri asal Prancis itu. Ia tidak menduga jika akan sampai pada titik menjadi seorang Doktor. Tidak berhenti di situ, berkah kepiawaian di bidang bahasa Arab dan pegonnya itu ia diminta untuk kuliah Post Doktoral di Jerman. Prof Henri memintanya kembali karena Oman dirasa mampu dalam menggeluti manuskrip secara serius dengan harapan ia menjadi orang yang menggeluti manuskrip, khususnya manuskrip Nusantara.
Setelah dua tahun di Jerman, Dr. Oman pulang ke Indonesia. Ia berencana akan lanjut meniti karir. Namun tidak lama kemudian, ia mendapatkan informasi dari Filolog lain asal Oxford agar dirinya bersedia ke universitas tersebut untuk membaca manuskrip-manuskrip nusantara Melayu, sebab tidak ada orang lagi yang dirasa mampu kecuali ditemukan hanya namanya. Dr. Oman tidak sama sekali melamar kesempatan emas itu, ia hanya diminta untuk berangkat ke Oxford dan semua ditanggung oleh pihak Oxford.
Selama waktu itu ia membaca ribuan manuskrip, banyak, tentang apa saja. Ia habiskan waktu dua tahun hanya untuk membaca manuskrip. Karena kegigihannya itu, pihak Oxford takjub, dan akhirnya meminta agar dia bersedia menambah 1 tahun lagi untuk membaca manuskrip-manuskrip di kampus nomor 1 di dunia itu, guna kebutuhan yang ada di kampus tersebut.
Dari situ Dr. Oman kemudian meniti karir pulang ke Indonesia. Dr. Oman banyak belajar dari banyak manuskrip tentang segala hal, dari mulai persoalan bencana, sistem negara, hingga persoalan obat-obatan. Dan akhirnya, ia digelari Guru Besar di Bidang Filologi. Bahkan hingga detik ini, hanya ia satu-satunya guru besar bidang Filologi di kampus Islam di Indonesia. Ia tidak menyangka bahwa semuanya akan seperti demikian. Gelar Profesor itu serasa mustahil disandangnya, karena dulu kuliah S1 saja sulit untuk mencari uang.
Kisah ini disadur dari Pembicaraan langsung Prof. Oman Fathurrahman. Dari sekelumit saduran ini, kita semakin yakin bahwa tidak ada orang besar yang dilahirkan dalam proses yang biasa-biasa saja. Orang-orang besar selalu terlahir dari perihnya kehidupan yang berhasil dilaluinya secara gigih dan tak pernah takut mati.
Penulis: Lufaefi.