Foto: manaberita
Terma “Kaum Rebahan” muncul di era yang banyak orang menyebutnya dengan post modern. Karakter kaum rebahan yaitu “santuy-santuy”, yang diambil dari istilah “rebahan” . Unik, sekaligus tabu. Game cacing, akhir-akhir ini kiranya cukup sebagai representasi kesantuyan kaum rebahan, dibanding dengan game Mobile Lagend atau PUGB, atau game aksi lainnya yang kurang berperi-kesantuyan.
Sudah menjadi sunnatullah, dalam setiap peradaban pasti ada plus dan minusnya. Bagaikan pinang dibelah dua. Plus-minus adalah dua hal yang datang bergandengan. Mirip pengantin baru, sebagai salah satu permisalannya, sayangnya hanya Plus-nya saja yang enak, tapi minusnya?
Salah satu plusnya hidup di jaman sekarang adalah hidup di era teknologi yang sangat warbiyasa. Nenek saya biasa menyebutnya “4.0 era”.
Tidak perlu dijelaskan apa saja nilai plusnya. Sederhana saja, anda bisa rebahan sepanjang hari tapi dengan wasilah internet . Bisa berkomunikasi dengan orang-orang di seluruh dunia, mulai dari ujung Maroko sampai ujung Merauke. Bisa mendatangkan makanan sesuai selera melalui fitur gadget. Bisa belanja apa saja tanpa harus panas-panasan dan becek-becekan.
Pokoknya, tidak relevan lagi nyanyi lagu Cinta Laura yang berjudul “Sudah Becek Ngak Ada Ojek.” Tapi, Bung, kita juga punya masalah serius yang sudah menjadi realita pahit dunia persilatan. Eh, dunia milenial maksudnya. Di balik kecanggihan dengan segala abra-kadabranya, ada celah minus yang tidak kalah hebohnya. Salah satu di antaranya adalah berkurangya keotentikan keilmuan Islam.
Bagaimana tidak, banyak orang belajar agama lebih memilih pesantren di google dan mengkiaikan youtube. Buset, mesin kok dijadikan kiai? Ambyar tenan. Kebisaan rebahan era post modern membuat diri enggan menghadiri pengajian. Berguru langsung pada kiai di majelis-majelis. Syukur-syukur bisa pesantren dalam waktu yang cukup lama dan belajar agama dari kiai-kiai yang jelas keilmuannya.
Bung, dalam keilmuan itu ada yang namanya sanad. Dari sanad itu kita bisa mengertahui kalau ilmu yang kita dapat itu benar adanya. Tahukan kalau ilmu itu dari sumbernya sumber, dari ahlinya ahli, core fo the core. Contoh saja kita belajar ilmu A dari satu guru. Guru itu dapat dari gurunya. Lalu gurunya guru itu juga dapat dari gurunya. Dan seterusnya sampai kepada Rasulullah Saw.
Lah, kalau google, gurunya siapa? Sanad adalah salah satu keistimewaan umat Islam. Tidak dimiliki oleh umat lainnya. Dari sanad itu, kemurnian ajaran Islam tetap terjaga secara historis maupun periwayatan. Dalam periwayatan hadis sendiri, sanad merupakan hal yang tidak lepas dari perhatian para ulama. Dengan adanya sanad bisa diketahui status sebuah hadis tersebut sahih, dzoif dan lain sebagainya.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:
الإسناد : حكاية طريق المتن
Isnad (sanad) adalah periwayatan jalan sebuah matan
Maksud jalan (thariq) di sini adalah mata rantai para rawi suatu hadis. Mulai dari Nabi Muhammad Saw (sumbernya), sahabat Nabi dan para tabi’innya. Al-Qadhi Abu Bakar Al-Arabi berkata:
والله أكرم هذه الأمة بالإسناد، لم يعطه أحد غيرها، فاحذروا أن تسلكوا مسلك اليهود والنصارى فتحدثوا بغير إسناد فتكونوا سالبين نعمة الله عن أنفسكم، مطرقين للتهمة إليكم، وخافضين المنزلتكم، ومشتركين مع قوم لعنهم الله وغضب عليهم، وراكبين لسنتهم.
Allah memuliakan umat ini dengan isnad (sanad) yang tidak diberikan pada selain umat ini. Maka berhati-hatilah kalian dari mengikuti jalan Yahudi dan Nasrani sehingga kalian berbicara (tentang ilmu) tanpa sanad maka kalian menjadi orang yang mencabut nikmat Allah dari diri kalian, menyodorkan kecurigaan, merendahkan kedudukan dan bersekutu pada kaum yang Allah laknat dan murkai.”
Abdullah bin Mubarak, salah satu murid Imam Malik mengatakan:
الاسناد من الدين ولولا الاسناد لقال من شاء ماشاء
Isnad (sanad) merupakan bagian dari agama. Apabila tidak ada sanad maka orang akan seenaknya mengatakan apa yang ia mau.
Sufyan Ats-Tsauri juga berkata:
الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه سلاح فبأي سلاح يقاتل
Sanad adalah senjata orang mukmin, jika dia tidak memiliki senjata maka dengan apa dia berperang?
Dalam keilmuan, sanad bagaikan pondasi. Tidak mungkin ada bangunan tanpa ditopang pondasi, sehingga Imam Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dari Imam al-Auza’i, mengatakan:
ما ذهاب العلم إلا ذهاب الإسناد
Ilmu tidak akan hilang selama masih ada sanad.
Itulah kiranya plus-minus kaum rebahan. Tinggal kita yang menentukan. Menentukan menjadikan nilai plusnya itu sebagai peluang, dan minusnya sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan segenap kemampuan. Kurangi rebahan. hindari ambyar berlebihan. Bestari berkata: “Rebahan secukupya, berjuang sekuatnya”.
Sumber:
Kitab Siraj al-Muridin
Kitab Qawaid Ushul al-hadis
Kitab al-Jarh wa at-Ta’dil baina al-Mutasyaddidin wa al-Mutasahilin
Kitab Syarah ‘Ilal at-Timrmidzi.
Penulis: Muhamad Abror (Mahasantri Ma’had Ali Sa’iidushiddiqiyah, Jakarta).