Manusia sebagai subyek dan obyek didik memiliki dimensi materi dan ruhani. Sebagai materi, manusia membutuhkan penyelesaian atau jalan-jalan menuju kesuksesan materi. Tetapi sebagai makhluk ruhani, manusia memiliki tugas untuk meraih kebahagiaan.
Kebahagiaan dapat diraih dengan jalan ruhani dengan mengharmonikan potensi manusia yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Goleman pernah mengatakan bahwa dari hasil riset yang dilakukan, kesuksesan seseorang tidak hanya dapat diukur dengan kesuksesan intelektual dan akademis semata. Mengapa?
Menurut Goleman, orang yang berintelektual tinggi rata-rata bekerja pada orang yang memiliki kecerdasan intelektual lebih rendah. Dan, orang yang memiliki intelektual lebih rendah namun memiliki kecerdasan emosional tinggi, lebih sukses dibanding yang intelektualnya lebih tinggi.
Kecerdasan emosional adalah kecerdasan dalam mengendalikan dan mengontrol emosi, seperti mengendalikan keinginan, nafsu, marah, benci, rindu, tergesa-gesa dan lain-lain. Orang yang dapat mengendalikan emosi dengan baik akan dengan mudah menggunakan kecerdasan intelektualnya secara efektif. Orang yang dapat mengendalikan emosinya dengan baik juga mampu menarik simpati orang lain sehingga orang lain mendukungnya.
Ada kisah nyata yang menjadi contoh. Dahulu di kota Bandung ada seorang TNI AD yang bertugas sebagai mantri kesehatan di kesatuannya. Ia pada waktu itu sangat disegani oleh masyarakat. Sikap dan perilaku tentara ini agak berbeda dengan kebanyakan TNI atau ABRI pada masa itu. Ia sangat santun dan sering membantu masyarakat yang membutuhkan dengan memberikan pelayanan kesehatan.
Masyarakat juga sangat menghormati dan menyayangi beliau. Orang yang meminta bantuannya pasti ditolong dengan harga yang sangat murah. Karena kesantunan dan suka menolongnya, masyarakat menjadi simpati sehingga jika ada yang sakit, rakyat sekitar kerap kali meminta bantuan beliau.
Dia di kemudian hari menetap di kampung dengan tujuan terus mengabdikan ilmunya. Ia juga kerap kali membantu kegiatan masjid dan acara di kampung tersebut. Kehidupan tentara tersebut pun cukup makmur dan anak-anaknya sukses berkat ramainya orang yang datang berobat serta dukungan warga.
Pengetahuan spiritual adalah sejenis pengetahuan yang berhubungan dengan Yang Maha Agung. Pengetahuan ini dalam Islam dapat disejajarkan dengan tasawuf yang basisnya adalah ma’rifatullah (pengetahuan tentang Tuhan). Pengetahuan tasawuf (teoritis) juga berkenaan dengan pengetahuan emosi sebab pada praktiknya jalan menuju Tuhan adalah pengendalian diri (tazkiyatun nafs) untuk menuju Tuhan.
Terkai hal itu, dalam tasawuf dikenal istilah Takholaqu bi khuluqillah (berakhlaqlah dengan akhlaq Allah). Inti ajaran Tasawuf adalah membangun cinta atau menuju Allah. Dalam bahasa lain bertasawuf adalah berupaya menghadirikan Allah (sifat-sifat) dalam diri.
Pengetahuan spiritual adalah pengetahuan mengapa (why)? Sementara pengetahuan emosi adalah bagaimana (How)? Pengetahuan spiritual adalah kebutuhan manusia untuk merasa tentram dan bahagia karena merasa memahami hakekat hidup.
Jenis pengetahuan inipun diperlukan sebagai landasan untuk memfungsikan intelektual dan emosional secara efektif. Jadi jika ingin pengetahuan intelektual dan emosional efektif maka kuatkanlah landasan spiritualnya (ma’rifatullah). Kebaikan hati dan ketulusan hati hanya dapat diraih dengan sumber kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Begitu juga dengan pengetahuan melalui rasa, hati atau intuisi.
Hal itu juga karena sesuatu yang kita ketahui tidak melulu hanya didapat melalui akal dan panca indera, tapi ada alat epistemologi yang lain yaitu hati. Untuk mengetahui rasa sedih, gembira, senang, pahit, manis, marah, kecewa dan yang semacamnya tidak dapat dilihat oleh panca indera, bahkan akal juga kadang tidak dapat menjangkaunya. Untuk mengetahui cinta, kasih, pahit, dan manis kita hanya dapat merasakan dan menghadirkannya ke dalam diri kita.
Pengetahuan tentang seni dan rasa adalah jenis pengetahuan yang setiap orang memiilikinya, meski manusia sering lalai atas ini. Pengetahuan hati diperoleh dengan cara pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs). Jenis pengetahuan ini dalam Islam disebut Tasawuf, sedangkan dalam agama lain disebut mistik atau gnostik.
Urgensi Pengetahuan Emosional dan Spiritual dalam Pendidikan
Lembaga pendidikan kadang lalai terhadap jenis pengetahuan emosional dan spiritual. Ada beberapa sekolah yang mempraktikan pengetahuan ini tapi lebih pada penguatan kognisi dan psikomotorik siswa seperti hapalan al Qur’an, ngaji bersama, sholat dhuha bersama dan lain-lain.
Praktik dan amalan tersebut tentu tidak salah dan itu tetap harus berlangsung sembari menguatkan atau mengharmonikan dengan pengetahuan yang berbasis emosional dan spiritual. Di samping itu perlu juga memperhatikan potensi dan bakat siswa sebab tidak semua siswa memiliki kecenderungan daya ingat yang tinggi.
Bisa dibayangkan jika seorang anak tidak pernah mengalami kondisi menderita , sedih, bosan, kecewa, kesulitan ekonomi, haus, lapar dan semacamnya selama hidupnya. Mungkin kelak mereka mengira bahwa hidup ini selalu mudah, tidak ada tantangan, dan mungkin juga dia mengira orang lain hidupnya seperti dirinya atau harus seperti dirinya. Seorang guru kerap kali kehilangan empati siswa dan lalai membelajarkan rasa itu kepadanya.
Orang tua yang terlalu protektif terhadap anaknya juga akan mencelakai anak di masa depan. Anak yang dibesarkan dengan suasana yang serba lengkap dan menyenangkan akan berdampak pada anak di masa depan cepat frustasi, tidak mandiri, tidak kreatif, pesimis, kurang kritis, egois dan selalu menyalahkan orang lain.
Pengetahuan presentif (huduri) adalah jenis pengetahuan yang dekat dengan spiritualitas. Jenis pengetahuan ini dimiliki oleh semua orang. Rasa sedih, senang, cinta, kecewa dapat dipahami dan dimengerti karena kita merasakan dan hadir di dalam diri kita. Pengetahuan ini sulit dijelaskan dengan kata-kata baik lisan maupun tulisan. Satu-satunya cara yaitu menghadirkan rasa itu ke dalam diri kita dan juga memaknainya (meaning).
Pembelajaran pengetahuan presentif dapat dilakukan oleh guru melalui praktik langsung di lapangan. Seperti mengajak siswa untuk ikut memungut sampah, mengajak siswa untuk ikut berjualan dengan orang tuanya, mungkin juga mengajak siswa panas-panasan, antri dan lain-lain. Kemudian guru menjelaskan dan memaknai atas sebuah peristiwa yang terjadi.
Di beberapa sekolah internasional baik yang berbasis kurikulum Camridge maupun Bacalorate praktik dan turun ke lapangan untuk merasakan penderitaan orang lain lazim di praktikan seperti di SMA Islam Lazuardi dengan praktik in field camp di pedalaman atau desa tertinggal. Siswa tinggal di rumah penduduk selama beberapa hari, mereka hidup seperti mereka makan, jualan, ke kebun, mengurus ternak dan lain-lain.
Pembelajaran presentif melalui hadirnya siswa di berbagai kondisi dan situasi dapat mendorong kesadaran siswa. Sekolah bukanlah tempat steril yang menjauhkan siswa dari lingkungan dan realitas kehidupan. Pembelajaran kontekstual dapat membangkitkan empati dan kepedulian kepada sesama dan dapat mendorong agar dirinya tumbuh dan berkembang. Pembelajaran kontekstual yang tepat dapat mendorong siswa untuk cinta ilmu dan cinta sesama. Cinta adalah modal kuat bagi siswa untuk melejitkan potensi dirinya.
Oleh karena itu, pengetahuan emosi dan dan spiritual (tasawuf) menjadi penting bagi peserta didik. Tasawuf teoritik dan praktik sebagai basis keilmuan Islam perlu diterapkan karena jenis pengetahuan ini dapat melejitkan potensi manusia secara alami. Kesuksesan dan kebahagiaan dapat hadir dalam diri manusia melalui cinta dan kesadaran tentang hakikat hidup dan kehidupan.
Sementara itu cinta dan kesadaran dapat diraih melalui hati. Cara untuk menerapkan pendidikan emosi dan spiritual dapat melalui pembelajaran kontekstual atau hadir dan merasakannya siswa dalam berbagai situasi dan kondisi, melalui seni yang dapat menyentuh rasanya, pembelajaran tentang makna hidup dan kehidupan (meaning), pembelajaran tentang Yang Maha Agung, dan lain-lain.
Penulis: Dr. H. Srie Muldrianto, MPd. Beliau adalah Aktivis Pendidikan, Pengurus HIPAKAD (Himpunan Putra Putri Angkatan Darat) Purwakarta dan Ketua MATAN (Mahasiswa Akhli Thariqoh An-Nahdliyah) Purwakarta.