foto: nuonline
Sebagai umat beragama kita dituntut untuk taat kepada Allah Swt sebagai Dzat yang harus ditaati. Melalui konsep takwa Islam juga mengharuskan umatnya menjalankan segala apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya. Taat kepada Allah merupakan konsekuensi seseorang memilih menjadi seorang Muslim. Hal itu juga sebab Allah menciptakan manusia (dan jin) tidak lain kecuali hanya untuk beribadah. Allah Swt berfirman dalam ayat QS. Al-Dzariyat [51]: 56;
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
Tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah.
Para ulama tafsir memaknai kata ‘ya’buduna’ dalam ayat tersebut di atas ialah tunduk dan taat atas segala apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang Ia larang. Akan tetapi, bagaimana dengan ketaatan yang dilakukan oleh manusia kepada pemerintah sebagai suatu masyarakat yang dipimpin oleh pemerintahan? Apakah taat kepada pemerintah, utamanya yang tidak menggunakan sistem Islam, merupakan sebuah kekafiran? Apakah taat kepada pemerintah tidak boleh melebihi ketaatan kita kepada Allah Swt sebagai Dzat yang wajib disembah?
Soal taat kepada pemerintah sudah jauh-jauh ditetapkan oleh Allah melalui Al-Qur’an-Nya;
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَطِیعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِیعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِی شَیۡءࣲ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۚ ذَ ٰلِكَ خَیۡرࣱ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِیلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa’ [4]: 59).
Imam Al-Mawardi dalam Tafsir Al-Mâwardi menyebutkan bahwa makna kata “ulil amri” satu sama lain antar ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan ahli fiqh, ahli ilmu, dan lain sebagainya. Namun setidaknya dari salah satunya adalah bermakna ‘umarâ’, yaitu para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah kehidupan dunia. Dalam konteks ini maka, presiden adalah tergolong sebagai umarâ, karena merupakan pemimpin yang mengurusi persoalan dunia umat manusia.
Secara zahir ayat tersebut di atas menunjukkan kewajiban perintah kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri (pemimpin). Penggunaan fi’il ‘amr (kalimat perintah) dalam ayat tersebut menunjukkan suatu perintah kewajiban. Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan “Amar (perintah) pada dasarnya menunjukkan makna wajib, kecuali adanya qarnah (yang menjadikannya tidak bermakna wajib)”.
At-Thabari di dalam tafsir Jami Al-Bayan menegaskan bahwa taat kepada seorang pemimpin selama dapat memberikan kemaslahatan bagi yang dipimpinnya adalah kewajiban. Ia juga menegaskan bahwa seorang Muslim harus selalu taat kepada pemimpinnya dalam suatu negara selama apa yang diperintahkan itu bukan suatu kemaksiatan atau bertentangan dengan syariat Islam. Apa yang disampaikan Imam At-Thabari ini secara esensial telah menghilangkan batas-batas kepentingan politik, kelompok dan ego individu. Ketaatan kepada pemimpin tidak boleh atas dasar kedekatan atau latar belakang politik tertentu. Selama ia tidak menyuruh kemaksiatan maka wajib hukumnya umat taat.
Dalam kesempatan lain Syaikh Al-Akbar Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa taat kepada pemerintah merupakan suatu kewajiban meskipun pemimpin dalam pemerintah itu seorang budak yang hitam. Pernyataan Al-Ghazali memeberikan isyarat yang cukup kuat bahwa taat kepada pemerintah harus melepaskan kepentingan ras, golongan, suku dan kepentingan lainnya. Taat kepada pemerintah merupakan suatu kewajiban yang murni bertujuan untuk melahirkan kemaslahatan dan perbaikan kepada umat.
Sementara itu mengomentari makna ayat di atas, Assa’di juga menyatakan bahwa taat kepada pemerintah merupakan suatu keharusan yang meski dijalankan setiap orang, apapun bentuk nama pemimpin itu, baik mufti, presiden, raja ataupun khalifah. Selama ia memimpin untuk memberikan kemaslahatan kepada umat maka ia wajib ditaati perintahnya dan dijauhi larangannya.
Meskipun demikian, menurutnya, ketaatan kepada pemerintah wajib dilakukan manakala pemerintah tidak melanggar syariat yang telah Allah tentukan. Konteks ayat yang menyebutkan kalimat ‘atiullah wa atiurrasul; taatlah pada Allah dan Rasul’, yang terletak sebelum ‘wa ulil amri minkum; dan ulil amri kalian’, memberi sinyal bahwa taat pada pemerintah dilakukan oleh umat manakala pemerintah sudah menaati Allah dan Rasul-Nya.
Ketaatan kepada pemerintah selama pemerintah tidak bermaksiat kepada Allah sejalan dengan adagium ungkapan orang bijak, “la ta’at fi makhlukin fi ma’shiyat lil khalik; tidak dibenarkan taat kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta”. Ini yang menurut Quraish Shihab bahwa taat kepada pemerintah harus didasari nilai-nilai agama, baik pemimpin atau yang dipimpinnya. Selagi nilai-nilai agama bermuara dalam kepemerintahan maka umat wajib mengikutinya.
Jika kita telaah lebih jauh apa yang dinyatakan oleh Shihab, maka ketaatan kepada pemerintah yang dilakukan umat harus memperhatikan agama. Beliau tidak menyebutkan agama Islam. Itu artinya nilai agama apapun sejatinya dapat menjadi nilai-nilai dalam ketaatan kepada pemerintah. Yang terpenting di dalamnya ada nilai-nilai agama, nilai religius, sehingga kepemimpinan memiliki ruh ilahi. Selain itu, umat beragama apapun dapat bersinergi dalam pemerintahan, berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mencapai suatu kemaslahatan bagi umat.
Akhirnya, Islam memandang taat kepada pemerintah adalah suatu kewajiban, selama pemerintah tidak melanggar syariat Allah. Ketaatan kepada pemerintah menurut Islam tidak boleh didasari latarbelakang agama tertentu, ras, suku, warna kulit, dan kepentingan politik segelintir orang. Ketaatan kepada pemerintah wajib dimiliki oleh setiap orang apapun bentuk kepemimpinannya, selagi muara kepemimpinannya adalah untuk memberikan kemaslahatan.
Artikel asli dimuat di sangkhakifah.co
Penulis: Lufaefi.