spot_img

Kesadaran Berindonesia

foto: nuonline

Sebagai sebuah negara-bangsa, Indonesia bukanlah sebuah negara yang hanya dihuni oleh satu suku, agama, keyakinan, dan kebudayaan saja. Disebut sebagai negara-bangsa, karena di dalamnya hidup bermacam entitas kebudayaan, keagamaan, keyakinan, dan kesukuan yang beragam. Karena itulah, tidak ada satu orang pun, di republik ini, yang paling berhak dan merasa paling mewarisi atas negara bernama Indonesia.

Sebab, siapa pun dia, apa pun latar belakangnya, mau pribumi bukan pribumi, selama ia ber-NIK Indonesia, ia adalah pemilik sah republik ini. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia secara sah dan pasti memiliki kedudukan yang sama, hak yang sama, dan kewajiban yang sama dengan yang lain di atas konstitusi Indonesia. Kesadaran ini, pertama-tama harus diterima dan dipahami oleh seluruh warga negara Indonesia. Sehingga, untuk berindonesia, kita tidak lagi mengalami kesulitan dalam memahami diri kita sebagai warga negara-bangsa Indonesia.

Berindonesia berarti, terlahir dari suku A, tapi pada saat yang sama kita merasa bagian dari sebuah negara-bangsa bernama Indonesia. Dengan demikian, kesadaran bahwa kita adalah suku A mengharuskan kita juga mengakui dan menaruh hati pada suku B, C, D, dst., yang juga eksis di Indonesia.

Konsekuensinya adalah, kita tidak lagi memandang bahwa saya adalah warga kelas 1 dan yang lainnya adalah warga kelas 2, 3, dst. Sepanjang ia adalah warga negara, hidup dan eksis di Indonesia, memiliki kesetiaan hidup bernegara secara bersama-sama, dari Sabang sampai Merauke, maka semua adalah anak bangsa, yang patut dihargai, dihormati, dan diberikan haknya sebagai warga negara.

Kesadaran Eksistensial Berbangsa

Pertama-tama, yang mesti dipahami bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang ditinggali oleh penduduk yang tidak tunggal. Kemerdekaan yang direbut meniscayakan bahwa kita memiliki luas wilayah yang tidak kecil. Semua orang, dari berbagai latar belakang, mayoritas minoritas, besar kecil, tercatat atau tidak dalam buku sejarah bangsa, ikut berkontribusi dalam terciptanya kemerdekaan sebuah negara, Indonesia. Sejak awal, para pendiri bangsa sudah memiliki kekhawatiran untuk mendirikan negara sebesar Indonesia ini, kekhawatiran itu adalah timbulnya kegagalan berupa perpecahan, di mana sumber utamanya adalah kegagalan mengelola keragaman.

Indonesia bukanlah sebuah bangsa dari entitas suku tertentu. Ia juga tidak didirikan dari keyakinan agama tertentu, pun demikian ia juga tidak hanya ditopang oleh akar kebudayaan yang sama. Tapi, ia didasarkan pada campuran berbagai elemen keragaman, dari warga negara berkulit kuning langsat, sawo matang, hingga gelap hitam. Agamanya pun beragam, ada yang monoteis, politeis, hingga yang percaya pada ruh leluhur. Kebudayaannya pun tak sama, setiap daerah hampir memiliki ciri khas kehidupan sosial yang unik dan ditopang oleh bahasa lokal yang identik.

Luas wilayah yang luas, terdiri dari pecahan-pecahan daratan yang membentuk gugusan-gugusan pulau, baik kecil dan besar, dan dijembatani lautan, membuat negara ini tidak seragam. Meski tidak seragam, ia satu. Satu dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan.

Keragaman itu tampak dari kekayaan identitas sosial, budaya, agama, dan ras yang meliputinya, sementara kesatuan itu tampak pada komitmen politik untuk hidup bersama-sama dalam naungan sebuah komunitas besar bernama Indonesia. Komitmen besar itu ditujukan untuk mencapai tujuan bersama yakni suatu komunitas bangsa yang adil dan beradab. Bukan komunitas golongan yang mendominasi dan merasa paling beradab.

Keakraban Berwarga Negara

Setelah kita memahami bahwa Indonesia bukanlah sebuah bangsa dengan identitas tunggal, maka kita harus insyaf bahwa berindonesia adalah kesediaan untuk menerima semua orang yang berbeda, beragam, dan tak sama untuk hidup sama-sama dalam pelataran negara yang kita sebut Indonesia. Sejauh bahwa orang itu komitmen untuk berbangsa dan bernegara, maka sejauh itu kita mesti memberikan penghargaan penuh pada setiap orang. Namun, sejauh hanya berbeda cara menafsirkan dan memahami bangsa, maka seseorang tidak boleh diintimidasi, dikucilkan, apalagi dinarasikan anti Indonesia hanya karena berbeda cara memandang Indonesia dan hanya karena yang satu merasa mayoritas dan yang lain kecil bahkan minoritas lemah.

Dalam sebuah negara-bangsa, keakraban itu harus tumbuh dalam suasana dialog bukan intimidasi. Ia harus tumbuh dalam suasana saling memberikan koreksi pandangan satu sama lain tanpa perlu intimidasi.

Konsekuensi dari sebuah negara bangsa-bangsa adalah keharusan  untuk menghilangkan logika mayoritas minoritas, dan kemauan untuk dikoreksi dan mengoreksi. Tidak ada lagi penglihatan keistimewaan warga negara berdasarkan kelas, ras, kebudayaan, kelompok dan keyakinan. Semua kelas, ras, kebudayaan, dan keyakinan dipandang setara sejauh orang yang memiliki identitas tersebut memiliki keistimewaan yang patut diistimewakan, misalnya kecerdasannya, dsb.

Semua identitas bawaan adalah pemberian yang tidak bisa dielak dan tak patut diagungkan secara berlebihan sembari mengintimidasi dan merendahkan identitas entitas yang lain. Orang diukur berdasarkan pada apa yang dicapainya, bukan atas apa yang hadir dari takdir bawaannya.

Merasa besar hanya (bisa) tumbuh dari sikap yang kurang percaya diri dan merasa memiliki sendiri. Kebesaran hadir dalam jiwa yang mengayomi dan melihat semua orang setara dan memiliki potensinya masing-masing. Kecintaan pada Indonesia adalah kecintaan pada semua keragaman yang ada di dalamnya, pengecualian sebagiannya hanyalah kecintaan semu yang didasarkan kecintaan golongan berbalut nasionalisme Indonesia. Dalam negara-bangsa, tidak ada pewaris tunggal atas Republik Indonesia. Tidak aku, tidak kau, tidak juga kelompokmu. Indonesia adalah milik bangsa Indonesia.

Penulis: Deni Gunawan (Magister Filsafat Islam ICAS Jakarta dan aktivis PMII DKI Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles