istimewa
Masalah moralitas bukan hanya terjadi pada orang tak paham agama. Bahkan sangat miris sekali, tindakan-tindakan amoral malah banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku paham agama, oleh orang-orang yang disepakati memiliki sertifikasi berbicara dan menafsirkan agama.
Hal paling sederhana adalah bagaimana ujaran kebencian keluar dari mulut orang-orang yang selalu membacakan ayat-ayat suci, pengkafiran, pembid’ahan, pemusyrikan dan penyesatan sangat mudah dilontarkan di mimbar-mimbar kegamaan. Mimbar yang seharusnya mengkampanyekan agar orang berbuat kebaikan, penghargaan, persaudaraan, perdamaian dan kemanusiaan, malah dijadikan sumber keburukan.
Agama yang dimaksud adalah seperangkat nilai dan aturan yang bersumber dari yang transenden untuk mengatur interaksi manusia baik terhadap dirinya secara personal maupun komunal baik interaksi dengan yang transenden maupun yang lainnya. Jika kita lihat bagaimana agama lahir dan berkembang, ternyata dia lahir untuk mengendalikan kecenderungan-kecenderungan primitif dalam diri manusia. Kecenderungan ini yang akan merusak tatanan hidup sosial manusia sehingga harus diutus seorang pembawa kabar dari Tuhan untuk memberikan rumusan agar hidup tidak kacau.
Diakui atau tidak, secara kromosom manusia mirip dengan primata. Sehingga sifat-sifat primata sedikit banyak mengalir dalam diri manusia. Sebagaimana primata, manusia memiliki sifat selfish, yaitu sifat mementingkan diri sendiri, jika pun mementingkan orang lain, pasti mementingkan orang yang serupa, sekelompok, sesuku bahkan seagama. Jika kita lihat primata, mereka tidak mau berhubungan dengan selain kelompok dan yang berbeda dengan dia. Sifat lain dari primata adalah dominasi, yaitu sifat ingin menguasai yang lain. Para primata selalu ingin menguasai selain dirinya, selalu ingin menjadi pemimpin dan yang lain harus menjadi pelayan baginya.
Kedua sifat di atas pula yang selalu nampak dalam keagamaan kita. Kita selalu ingin mementingkan diri sendiri sehingga yang lain harus dibenci dan dikafirkan karena surga haruslah milik kelompok kita. Kita selau ingin mendominasi kelompok lain, sehingga selain kita dicap salah dan sesat. Kita selalu ingin memiliki pengaruh termasuk dalam hal keagamaan. Maka tidak berlebihan jika kita sebutkan cara keagamaan seperti ini adalah cara keagamaan yang primitif untuk menghindari kata primata.
Hal yang jarang disadari adalah manusia memiliki garis demarkasi dengan primata. Dia dikarunia akal budi sehingga mampu mengembangkan belief (keyakinan) dan value (nilai). Karena akal budi inilah manusia dikaruniai agama sebagai kontrol dari sifat-sifat primata yang ada dalam dirinya. Inilah kenapa agama tidak diturunkan untuk primata yang tidak berakal. Dan agama pun memiliki keserasian dengan value yang diinternalisasi dalam diri manusia sehingga keduanya memiliki sinkronisasi.
Teks agama pun banyak menyiratkan bahwa inti ajakan agama adalah moralitas. Hadis yang terkenal dari tujuan kenabian “Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak.” Bahkan Nabi pun sangat pantas dijuluki dengan rujukan moralitas dunia. Bagaimana tidak, ia dijuluki al-Qur’an sebagai suri tauladan, pemilik akhlak yang agung, bahkan dia begitu sangat mementingkan umatnya walaupun mereka selalu menyatikitinya. Gambaran indah al-Qur’an tentang Nabi:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lan kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka…” (QS. Ali Imran: 159). Ini menambah kuat bahwa inti dari agama adalah moralitas.
Maka dari itu, siapa pun baik itu memeluk agama biasa, penyeru agama bahkan yang dianggap paling beragama jika masih keluar darinya sikap, perilaku dan ucapan yang amoral, maka bisa dipastikan dia tidak beragama. Dia masih tidak bisa mengendalikan sifat primitif yang ada dalam dirinya. Mirisnya lagi, orang seperti ini menganggap dirinya paling beragama dan diamini oleh banyak orang. Semoga kita semakin waras dalam beragama.[]
Penulis: Beta Firmansyah (Sarjana Ilmu Al-Qur’an)