spot_img

Belajar Kaligrafi Lewat Kisah

 

Siapa bilang jika belajar kaligrafi harus bertemu dengan teori-teori penulisan khat yang begitu rumit. Ternyata, bisa loh belajar kaligrafi melalui cerita-cerita bertema keligrafi.

Adalah Didin Sirojuddin AR, seorang pakar kaligrafi yang membagikan kisah-kisah hidupnya yang berkaitan dengan kaligrafi dalam sebuah buku yang berjudul Kisah-Kisah Kaligrafi: Ajang Menulis dan Melukis untuk Membangun Kreativitas. Buku ini merupakan catatan yang ditulis selama tiga tahun.

Tampaknya, menulis catatannya itu sudah Didin lakoni sebagai bagian dari hidupnya. Pasalnya, ia menuliskannya tidak mengenal waktu. Kadang pagi, siang, sore, ataupun malam. Tidak dipatok jam berapanya. Ia juga menuliskannya di beberapa tempat yang berbeda yang pernah ia kunjungi, seperti Jakarta, Sukabumi, Kuningan, Semarang, Yogyakarta, Padang, Jambi, Palembang, Pekanbaru, Medan, dan lain-lain.

Meski, perlu dicatat, tidak semua kisah yang tertuang dalam catatan merupakan cerita pengalaman pribadi. Ada beberapa kisah di luar pengalamannya, tapi masih memiliki hubungan dengan kaligrafi.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, mengalir, dan penuh guyon. Jadi, pas sekali untuk bacaan santai.

Buku ini terbagi ke dalam lima judul besar. Yaitu Kisah Unik Anak-Anik Huruf, Karya-Karya Punya Cerita, Kisah Berburu Gagasan, Kisah Kaligrafer Sukses, dan Mutiara Kaligrafi.

Di antara kisahnya adalah tentang Abu Nawas, tokoh legendaris pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid yang dijuluki sebagai Sya’ir al-Bilath (penyair kerajaan). Abu Nawas ini terkenal dengan kisah-kisah anekdotisnya.

Dikisahkan, suatu hari Negeri Bagdad sedang dilanda kenaikan harga sembako. Abu Nawas yang sedang tidak memiliki uang akhirnya tidak kehabisan ide. Ia menulis kaligrafi besar yang ditulis di atas menara berupa الملك الرجيم (raja yang terkutuk). Melihat penampakkan ini, sang raja murka dan mengutus orang untuk mengintrogasi Abu Nawas, bila perlu langsung diekseskusi saja.

Saat utusan sang baginda raja menyelidiki tulisan di atas menara itu, ternyata yang tertulis adalah الملك الرحيم (raja yang pemurah). Ternyata Abu Nawas sudah menghapus titik yang terdapat pada huruf jim (ج) sehingga menjadi huruf ḫa (ح). Melihat itu, utusan melaporkan tulisan yang sebanarnya pada sang raja. Tampaknya, sang raja tidak lagi marah. Justru sangat senang dan bangga terhadap Abu Nawas.

“Keluarkan satu karung gandum untuk Abu Nawas! Wallahi Si Abu ini orangnya baik dan pintar kok,” seru sang raja. Bukan malah dihukum, malah dikasih rejeki nomplok.

Gara-gara ‘sebuah titik’, Abu Nawas mampu merubah nasib hidupnya.

Masih terkait titik. Dalam kisah lain diceritakan tentang sosok yang bernama Imaduddin al-Hasani, seorang kaligrafer terbesar Persia kesayangan Shah Abbas Agung (1588-1629). Berbeda dengan Abu Nawas yang menjadikan ‘titik’ sebagai jalan rizki. Kali ini justru sebaliknya, Imaduddin malah meregang nyawa gara-gara titik.

Dikisahkan, pada suatu ketika Imaduddin dipinta oleh Shah untuk menyalin epik (syair pahlawan) Persia Shahnamah al-Firdausi. Kepadanya telah diberikan persekot fulus pada tahun 1615 dan Shah memintanya agar buku itu tuntas paling lama setahun.

Pada waktunya, Imaduddin menyerahkan buku pesanan, tapi Cuma berisi beberapa titik di halaman pertamanya. Tentu saja Shah kaget dan bertanya-tanya , “Imad, mana tulisan ceritanya?” Spontan dijawab oleh Imaduddin:

يا مولاي فلوسك لا يكفي إلا لشراء ثلاث نقط

Artinya: “Baginda, fulus baginda hanya cukup untuk membeli tiga buah titik.”

Rupanya, Imaduddin bukan kaligrafer murahan. Kaligrafinya dihargai dengan harga yang sangat tinggi.

Penguasa Persia itu kaget dan murka pada Imaduddin. Tidak lama kemudian mengeksekusi keligrafer besar persia itu. Meski kebanaran kisah ini masih diragukan. Karena kematian Imaduddin yang sebenarnya adalah disebabkan faktor politis.

Namun, terlepas dari kebenaran kisah penyebab kematian Imaduddin di atas, dua kisah Abu Naawas dan Imaduddin memberikan kita pelajaran bahwa dalam persoalan kaligrafi Arab, titik memiliki pengaruh yang sangat besar. Bisa mendatangkan rejeki, atau sebaliknya mengundang petaka.

Dua kisah di atas termasuk kisah yang bukan dari pengalaman penulis buku. Untuk kisah pengalaman pribadi juga tidak kalah banyak. Seperti kisah saat menghadiri lomba kalligrafi di Provinsi Kalbar pada 1-6 Juli 2018, tepatnya di Kabupaten Mempawah.

Dalam lomba itu, penulis buku mengisahkan dirinya yang melihat aneka ‘mazhab’ penulisan kaligrafi. Ada yang mengolah Naskhi ala Hasyim Muhammad al-baghdadi, Mehmed Shawqi Eendi, Hamid al-Hamidi, Sami Efendi, hingga yang lebih mementingkan performance Sayid Ahmad al-Rifa’i. Ada pula yang mengkombinasikan, alias model gado-gado.

Dari kisah pengalaman ini, penulis seolah ingin menyampaikan tentang mazhab-mazhab atau aliran kaligrafi yang ada.

Masih ada banyak lagi kisah-kisah dalam buku ini, baik pengalaman pribadi ataupun kisah di luar pengalaman yang pasti inspiratif dan memiliki nilai pelajaran. Rasanya, tulisan yang singkat ini tidak mungkin menuliskan semuanya.

Pada akhirnya, buku ini sangat cocok untuk para pecinta kaligrafi. Dengan membaca kisah-kisah di dalamnya, kita akan menemukan pengalaman-pengalaman seputar kaligrafi yang tentunya inspiratif dan kaya motivasi.

Identitas buku:

Judul: Kisah-Kisah Kaligrafi

Penulis: Didin Sirojuddin AR

Penerbit: PT Qaf Media Kreativa

Cetakan: I, Maret 2020

Tebal: 384 halaman

ISBN: 978-602-5547-77-5

 

Peresensi adalah Muhamad Abror. Pengasuh Madrasah Baca Kitab, Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiidiqiyah Jakarta.

 

 

Muhamad Abror
Jurnalis, Esais, Pegiat Kajian Keislaman (wabilkhusus sejarah), Alumni Ponpes KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Mahad Aly Sa'iidusshiddiqiiyah Jakarta

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles