foto: dokumen
Baru-baru ini warga Nahdliyyin dikagetkan dengan hasil riset yang menyimpulkan bahwa pluralisme di tubuh NU hanyalah mitos. Tulisan kolaboratif Marcus Mietzner akademisi Universitas Nasional Australian dan Burhanuddin Muhtadi akademisi UIN Jakarta di jurnal Contemporary Southeast Asia vol 1 tahun 2020 itu bahkan menyatakan NU (sebagian grass rootnya) rata-rata tidak toleran. Tidak ada yang salah dari sebuah riset ilmiah. Apalagi soal kesimpulannya, bukan suatu yang paten, dan tentu bersifat subjektif tergantung data dan metodologi yang digunakan.Memang begitulah khas riset akademik. Maka tak selayaknya ada yang mengecam, apalagi nyinyir hasil riset itu, lebih-lebih nyinyir penulisnya. Tidak nyambung. Tidak etis. Malah kita seharusnya mengapresiasinya.
Tokoh NU Kyai Moqsith Ghazali mengomentari bahwa NU tidak menganut pluralisme, akan tetapi moderatisme. Meski saya agak bingung padahal salah satu tokoh PBNU ini sudah jauh-jauh hari mengkampanyekan argumen pluralisme dalam Al-Qur’an melalui disertasinya. Berbeda dengan Kyai Moqsith adalah Amin Mudzakir, anak muda NU yang juga peneliti LIPI, dalam tulisannya yang dimuat di Alif.id menolak kesimpulan Mietzen dan Burhanuddin, dengan menyimpulkan tulisan melalui pertanyaan, kalau bukan NU siapa lagi yang pluralis? Hemat saya, tulisan Amin di Alif terkesan sinis, apalagi tidak melandasi dengan metodologi yang rapih sebagaimana jurnal yang dikritiknya. Ia hanya membenturkan pemahamannya atas satu historis dengan fakta historis lain yang diangkat dalam artikel jurnal Mietzner dan Burhan.
Dalam artikel jurnal yang berbahasa Inggris itu, (hemat saya) Mietzner dan Burhanuddin belum jelas mendefinisikan pluralisme, pluralis, dan toleran. Apalagi ketika dipredikasikan pada satu kelompok. Ketiga terma itu seperti dianggap satu makna. Saya memahami, pluralisme hanya identik dengan menyamakan kebenaran semua agama. Pluralis lebih kepada sikap kehidupan yang menerima adanya agama-agama lain tanpa membenarkannya. Sementara toleran ialah sikap menghargai orang lain yang berbeda baik dalam soal keyakinan, etnis, suku dan selainnya.
Ketidakjelasan ini disangkutkan penulis dengan pernyataan Said Aqil Siradj ketum PBNU yang menurut mereka Kyai Said sendiri meyakini pluralisme (hal. 60). Ini tidak sejalan dengan pernyataan Kyai Said sendiri dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial” yang jelas-jelas mengesakan Allah Swt sebagai Tuhan, dan bersikap pluralis serta toleran terhadap yang lain. Berbeda dengan ini, Dr Media Zainul Bahri dalam tulisannya menyoal kejelasan pluralisme yang dimaksud dalam wacana pluralisme yang sedang ramai di kalangan NU. Baginya, pluralisme ada tiga macam; dalam budaya, politik, dan agama. Posisi NU dalam hal ini menganut moderatisme, sebagaimana ini dinyatakan oleh Kyai Moqsith dan menjadi rujukan Dr Media akademisi UIN Jakarta itu.
Di lain itu, secara metodologis, riset Mietzner dan Burhanuddin ini selain bersifat kuantitatif juga bersifat kualitatif. Data kuantitatif didasarkan pada data-data riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2019, sebagian 2018 dan 2016. Sedangkan kualitatif dengan penguatan rujukan-rujukan kepustakaan secara deskriptif-analitik. Prof Sugiono menyebut salah satu ciri khas penelitian kualitatif bersifat subyektif, hasil kesimpulan tidak bisa lepas dari latar belakang siapa penulisnya. Di sinilah latar belakang Burhanuddin yang juga merupakan pemikir Muhammadiyah ikut menentukan kesimpulan tulisannya.
Secara metodologis juga, riset kedua penulis itu terjadi ketimpangan dalam pengelolahan data yang berujung pada ketidak-validan kesimpulan tulisan. Tulisan yang berjudul “The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and The Politics of Religous Tolerance in Indonesia” ini tidak menggunakan triangulasi data, misal, triangulasi responden dari grass root, tokoh, dan ketum-ketum NU. Atau triangulasi waktu dalam data primernya, misalnya, data tahun 2019, 2016, 2013, sementara tulisan tersebut hanya menggunakan data primer 2019 ditambah dengan adanya polarisasi politik pemilihan presiden. Padahal dalam sebuah riset, lebih lagi model kuantitatif, metodologi ini urgen guna mendapatkan hasil kesimpulan yang komprehensif.
Ketiadaan triangulasi data menggambarkan judul penelitian yang seolah-olah menggambarkan mitos “pluralisme” NU pada secara keseluruhan warganya ini menjadi rancu, meski di dalam penjelasannya data primernya kemudian dispesifikkan pada tahun 2019 dan hanya pada grass root. Bagaimanapun, ini dapat mengundang problematik dalam pandangan umum, apalagi yang langsung fanatik dengan hanya membaca judul tulisan. Meskinya dalam judul dari awal sudah spesifik, warga NU yang mana, tahun kapan, dan di mana (?).
Alâ kulli hâlin, dapat ditarik kesimpulan, pertama, secara metodologis, kesimpulan tulisan Mietzner dan Burhanuddin terlalu terburu-buru, meuniversalkan sesuatu yang jelas-jelas partikular. Kedua, kita patut mengapresiasi tulisan kedua penulis hebat itu. Berani mengangkat tema yang, bagi saya, akan memunculkan perlawanan publik, terutama dari warga Nahdliyyin. Ketiga, warga NU perlu melakukan riset yang sama untuk membantah tulisan Mietzner dan Burhanuddin tersebut, bukan nyinyir, apalagi mencaci. Buatlah artikel jurnal yang sebanding, kalau bisa lebih wow, sebagai bukti bahwa NU tidak buta dengan tradisi akademik.
Penulis: Lufaefi (Penulis Buku Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan).