foto: nuonlie
Entah apa yang ada di pikiran kelompok ekstrim radikal yang hingga saat ini terus menganggap Pancasila sebagai ideologi kufur. Pikirannya tidak mau dibuka lebar-lebar untuk memahaminya secara jernih dan sehat. Pancasila yang jelas-jelas bukan Tuhan dianggap sebagai lawan Tuhan Yang Maha Esa. Kedudukannya yang bukan wahyu selalu dipertentangkan dengan Al-Qur’an. Seperti klaim akun Instagram “singatauhit” yang menganggap Pancasila sebagai patung sama seperti berhala yang disembah orang-orang Musyrik. Padahal gagal memahami makna Pancasila dapat berujung pada tindakan ekstrim dan berpotensi menyulut perpecahan antargolongan di Negara yang dihuni oleh banyak keragaman.
Akal yang jernih akan dengan mudah membedakan antara agama dan Pancasila. Sebaliknya, akal yang cacat seringkali menyamakan antara agama dengan ideologi Pancasila. Padahal jelas antara agama dan Pancasila jelas perbedaannya, meskipun memiliki tujuan yang sama. Agama merupakan suatu sistem yang mengatur antara manusia dengan Penciptanya. Ia mengatur komunikasi antar manusia dengan Sang Maha Agung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama diartikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Sementara Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Dari sini dipahami bahwa agama mengatur urusan manusia di dunia dan akhirat. Sementara Pancasila hanya mengatur urusan manusia di dunia.
Kita juga perlu membuka mata lebar-lebar untuk jangan mudah menuduh sesuatu tanpa mau berfikir dan menganalisa secara benar. Dalam sejarah pembuatannya, Pancasila selain dibuat oleh kesepakatan antara Soekarno dan tokoh nasionalis selain dirinya, juga disepakati oleh trio Islam, yaitu KH Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama, KH Kahar Muzakkir dari Muhammadiyah dan KH Agus Salim dari Sarikat Islam. Fakta sejarah ini membuktikan bahwa Islam sangat melekat dalam ideologi Pancasila. Tidak mungkin kita menganggap ketiga ulama tersebut sebagai orang yang tidak mengerti Islam dan kaitannya dengan Pancasila. Dalam bahasa agama Islam, Pancasila yang juga disepakati oleh trio Islam itu dapat dimaknai sebagai hasil ijtihad para ulama. Hasil ijtihad yang diniatkan untuk mengatur tata kehidupan bernegara dan berbangsa. Yang, tujuan utamanya adalah menciptakan keharmonisan antar warga bangsa dalam bingkai multi agama, etnis, suku, budaya dan ras.
Dalam kaidah ushul fiqh masyhur adanya suatu kaidah yang menyatakan bahwa suatu ijtihad tidak boleh diingkari; lâ inkâra fî masâ’il al-ijtihâd. Al-Ghazali dalam Al-Mustashfâ menegaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang mengingkari atau memusuhi orang lain yang mengambil suatu pendapat dari suatu ulama di mana pendapatnya itu tidak tersebut dalam Al-Qur’an, Hadis, maupun ijma’. Dari sini kembali jelas bahwa Pancasila merupakan hasil ijtihad para pendiri bangsa, termasuk oleh para ulama-ulama yang telah dijelaskan di atas, yang tidak sepatutnya diingkari, apalagi dimusuhi dengan menuduhnya sebagai produk kekufuran. Selain itu bilamana hasil ijtihad tersebut masih relevan dengan kondisi zaman malah harus terus didukung dan dipertahankan. Di sinilah hemat penulis Pancasila merupakan hasil ijtihad yang masih selalu relevan dengan zaman kapan dan di manapun, hal itu sebab eksistensinya dapat mewujudkan persatuan meski dalam keragaman, dan dapat mewujudkan keadilan meski dalam perbedaan.
Di samping itu Pancasila yang berisikan lima butir sila-sila yang esensinya adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial sangat sejalan dengan prinsip Islam. Kegagalan kaum radikalis dan ekstrimis pada posisi ini menganggap butir-butir Pancasila tidak diafirmasi oleh wahyu ilahi ataupun Hadis Nabi. Padahal kalau kita mau jujur dan membuka hati dengan lapang, maka lima butir Pancasila itu semuanya diafirmasi oleh Al-Qur’an. Sila pertama yang berarti Ketuhanan Yang Maha Esa sejalan dengan QS. Al-Ikhlâs: 1. Kemudian sila kedua yang esensinya adalah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sejalur dengan QS. An-Nisâ’: 35 dan juga dengan Hadis Nabi yang menyatakan bahwa tidaklah beriman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya. Selanjutnya sila ketiga yang berarti persatuan sangat relevan dengan ajaran Islam yang meminta umatnya untuk bersatu dan tidak bercerai-berai, sebagaimana salah satunya disebutkan melalui QS. Al-Hujurât: 13, sila keempat yang esensinya adalah musyawarah sejalan dengan makna QS. Syûra: 38, dan sila terakhir, ke lima, yang esensinya adalah menegakkan keadilan secara luas, sama dengan prinsip Islam dalam QS. An-Nahl: 90.
Landasan keharusan umat harus memegang dasar Pancasila adalah Piagam Madinah yang menjadi dasar kehidupan berbangsa yang dijalankan oleh Nabi Muhammad dan para penduduk kota Madinah yang beragam. Multiagama dan multikeyakinan yang melekat dalam Madinah disatukan bukan dengan agama Islam, akan tetapi oleh Piagam Madinah yang merupakan hukum hasil kesepakatan antara Nabi dengan penduduk, yang tidak hanya orang Muslim, tetapi juga Yahudi, Nasrani, bahkan kaum Musyrik dan mereka yang tak bertuhan. Dalam konteks ini orang Islam tetap meyakini dan menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan juga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dunia akhirat. Akan tetapi mereka mempercayai Piagam Madinah sebagai etalase yang dapat menyatukan keragaman dalam satu bangsa Madinah. Seperti demikian adalah Pancasila bagi umat Islam di Indonesia. Mereka tetap menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan meyakini Al-Qur’an sebagai wahyu kebenaran, namun tak menolak Pancasila sebagai sistem dan ideologi yang dapat menyatukan keragaman di dalam negeri.
Gagal paham memaknai Pancasila dengan menyamakannya sebagai agama atau wahyu merupakan bukti pemahaman agama yang belum selesai. Tidak hanya itu, pemahaman demikian hanya akan memperkeruh ajaran agama yang bersifat dinamis, lentur dan santun, untuk didistorsir menjadi ajaran yang kaku, ekslusif, dan menjadikan agama sebagai sistem yang menakutkan bagi selain yang meyakininya. Menyamakan agama dengan Pancasila bukti sesat pikir yang akut, dan bukti keimanan seseorang masih amatiran. Seseorang yang beragama secara benar dan memahami ajarannya secara substansif tidak akan mudah menuduh demikian. Sebab agama dan Pancasila jelas-jelas berbeda. Muslim yang sejati akan berusaha menggunakan nalarnya secara sehat dan memaknai Pancasila dan agama secara proporsional, sehingga tidak terjebak pada kesesatan berpikir yang juga dapat menyesatkan orang lain.