foto: arabian
Logika menyamakan taghut pada hukum-hukum positif Negara dengan eksistensi Allah Swt Yang Maha Esa berulangkali dinyatakan oleh kelompok radikal, terutama eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Padahal begitu terangnya keduanya tidak bisa dipertentangkan. Karena sesuatu yang berbeda bukan selalu bertentangan. Misalnya, antara sepatu dengan baju, keduanya dua jenis barang berbeda, dan tidak bertentangan antar keduanya. Atau, Al-Qur’an dengan buku Novel, keduanya berbeda, namun kita tak bisa mengatakan keduanya saling bertentangan. Begitu pula dalam persoalan dua hal yang sering dihadap-hadapkan para penyeru khilafah, yaitu antara Pancasila dan Demokrasi dengan Islam dan Allah Swt. Keduanya memang berbeda, tapi sekali lagi, keduanya tidak bertentangan.
Tidak ada bahan lain bagi kelompok radikal untuk menghina dan membenci pemerintah kecuali memfitnahnya sebagai pembela taghut dan abai dengan Islam. Sebagaimana klaim salah satu simpatisan HTI “Jawanna El Ba’aqiyah” dalam akun Facebooknya yang menyatakan mereka yang ikut dan meyakini pemerintah serta yakin dengan Pancasila dan Demokrasi adalah pembela taghut (Anshor Taghut). Padahal para ulama tidak pernah sekalipun mengklasifikasikan Pancasila atau demokrasi sebagai bagian dari taghut. Para ulama kita mengklasifikasi taghut pada lima hal, pertama, iblis, setan yang dilaknat Allah sebab pernah membangkang terhadap perintah-Nya. Kedua, seorang yang disembah dan ia ridha. Ketiga, orang yang meminta dirinya disembah. Keempat, orang yang mengetahui sesuatu yang ghaib dan menggunakan untuk kebatilan. Dan kelima, mereka yang berhukum dengan selain hukum Allah.
Salah kaprahnya kelompok radikal selalu memaknai Pancasila dan juga demokrasi sebagai hukum yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Islam dan dengan Allah. Klaim ini, selain logikanya tidak nyambung, juga merupakan sebuah pernyataan bualan saja. Padahal jelas, Pancasila adalah ideologi negara dan demokrasi hukum di dunia untuk mengatur pergerakan sebuah bangsa. Keduanya bukan untuk mengatur persoalan agama dan keimanan. Bangsa Indonesia dengan meyakini Pancasila, menerima demokrasi, mereka tetap beragama secara baik dan beriman secara baik pula. Meyakini Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem di dunia tidak bertentangan sedikitpun dengan keyakinan umat Islam untuk hanya menyembah Allah dan meyakini kebenaran Islam dan Al-Qur’an sebagai satu-satunya jalan penuntut hidup dan setelah kematiannya.
Kalau kelompok radikal dan penyeru khilafah selalu memfitnah Pancasila dan demokrasi sebagai taghut, maka khilafah juga merupakan taghut, sebab, jika kita menggunakan logika mereka, baik khilafah atau Pancasila keduanya merupakan tata aturan hidup di dunia, dan keduanya merupakan hasil ijtihad para ulama pada waktunya. Akan tetapi bangsa Indonesia tidak menganggap Pancasila sebagai taghut, sebab ia dibuat bukan untuk menentang Islam, apalagi menentang Al-Qur’an. Ia merupakan hasil ijtihad para ulama dan founding father bangsa untuk dapat menciptakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai-nilai agama dan Al-Qur’an, berupa keadilan, kemanusiaan, persatuan, dan musyawarah. Maka sejatinya, meyakini dan mengamalkan Pancasila dan nilai-nilai demokrasi adalah mengamalkan nilai-nilai Islam dan Al-Qur’an.
Adu domba antara agama dan Pancasila selalu digaungkan oleh kelompok radikal dan penyeru khilafah sudah sejak waktu yang lama. Meskipun menurut Sofiuddin, lokomotif mereka tidak lain adalah politik. Agama hanya dijadikan sebagai alat propaganda demi keinginan kekuasaan. Padahal sekali lagi, agama dan Pancasia merupakan dua ideologi yang tidak sekalipun bertentangan. Islam adalah ideologi yang utuh yang mengedepankan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kemasyarakatan. Khazanah Islam telah diletakkan sebagai fondasi Pancasila. Agama bukanlah Pancasila, akan tetapi nilai-nilai agama telah menjiwai setiap silanya. Di lain itu, perdebatan yang pernah terjadi di awal pembentukan Pancasila antara kelompok Islam dan nasionalis meskinya memberikan penyadaran bahwa agama dan Pancasila dapat berjalan secara beriringan, berdialog, dan tak selalu dipertentangkan sebagaimana tuduhan kelompok radikal dan khilafah.
Musibah yang kita hadapi hari ini adalah bukan hanya pandemi Covid 19, akan tetapi munculnya kelompok-kelompok yang mengaku Islam tetapi gagal paham memahami esensinya dan dilanjutkan dengan nyalakan serta mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepaham dan sekeyakinan. Pancasila dan demokrasi selalu dibenturkan dengan maksud dianggap paling Islam. Padahal tanpa sadar, mereka dalam ketersesatan pemahaman. Sebab jika kita ingin mengenal Tuhan secara utuh dan mencari keselamatan dunia dan akhirat maka kuncinya adalah Al-Qur’an (Islam), sebab Al-Qur’an adah wahyu yang diturunkan menjelaskan segala macam persoalan (tibyânan likulli syai’in). Sementara jika kita ingin mengenal Indonesia, memahami keragamannya, menciptakan kesatuan dan persatuan antar bangsa, maka kuncinya adalah mengenal dan mengamalkan Pancasila. Maka mereka yang berambisi menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, namun tidak mengenali Pancasila, pasti salah alamat dan akan tersesat.
Sebagai dasar negara Pancasila dengan lima silanya sudah bersifat final. Jimly Asshiddiqie salah satu Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan Pancasila memiliki latarbelakang pembuatan yang patut disyukuri semua elemen bangsa. Demikian itu sebab Pancasila disepakati oleh berbagai kelompok dan golongan, utamanya antara golongan Islam dan nasionalis. Maka hingga hari ini semua keinginan elemen bangsa dapat diwadahi melalui jalur ideologi Pancasila yang menyatukan. Tidak ada warga yang diabaikan, termasuk para eks HTI dan simpatisannya, meskipun mereka tidak tahu diri yang justru mengolok-olok Pancasila yang telah melindunginya. Begitu pula demokrasi dipilih menjadi sistem negara sebab sampai saat ini menjadi sistem terbaik yang dapat menyatukan multidimensi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai agama, ras, suku dan keyakinan. Selain itu sebab demokrasi sejalan dengan prinsip musyawarah yang dipesankan Al-Qur’an melalui QS. Syûra: 38.
Kalau demikian, siapakah Ansor taghut dalam konteks Islam dan keindonesiaan? Mereka adalah orang-orang yang mencoba memblokade terurainya nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat. Sebab esensi dari taghut adalah enggan mengesakan Allah sebagai satu-satunya kebenaran. Begitu demikian mereka yang mengaku menyembah Allah namun juga menuhankan khilafah sebagai sistem yang selalu diagung-agungkan, bahkan, melebihi pengagungan kepada Allah Swt sendiri. Para penolong taghut adalah mereka yang memiliki sifat seperti iblis, yang selalu menyulut kebencian di tengah bangsa, memusuhi Pancasila dan demokrasi. Ansar taghut dalam konteks sekarang juga dapat dipredikasikan pada mereka yang menuhankan sistem khilafah buatan manusia melebihi meyakini esensi nilai-nilai Islam berupa keadilan, persatuan dan kemanusiaan.
Artikel asli dimuat di sangkhalifah.co
Penulis: Lufaefi (Penulis Buku Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan).