spot_img

Covid 19; Antara Akidah dan Keimanan Kita

foto: pikiran rakyat

Salah satu problem yang sedang menjadi tantangan umat sedunia, termasuk umat Islam saat ini, adalah menghadapi wabah virus Corona. Bahkan dalam konteks Indonesia, perkembangan virus Corona seperti belum ada tanda-tanda akan melambai. Bahkan hingga seminggu terakhir penambahan kasus positif selalu berada pada angka 1000 ke atas. Sebagian umat Islam bisa saja bertanya, mengapa kasus Covid 19 seperti tidak akan pernah berhenti? Apakah Allah tidak melihat usaha manusia dan mendengarkan rintihan doa agar virus Corona segera sirna dari bumi?

Sebagai umat beragama, virus ini dapat merubah akidah dan keimanan seseorang. Sebagaimana iman yang bersifat yazid wa yanqush (bertambah dan berkurang). Iman seorang Muslim bisa bertambah dengan adanya musibah pandemi jika ia dapat menyadari bahwa itu adalah sebuah cobaan agar dirinya lebih giat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Musibah ini dapat mempertebal iman seorang Muslim jika itu diratapi dan diekspresikan dengan kemaksimalan beribadah. Sementara juga bisa menjadikan iman seseorang berubah down, sebab keputusasaan yang berlarut-larut dengan adanya pandemi. Muslim yang kedua ini bisa jadi sampai pada titik tidak lagi percaya dengan adanya Tuhan, yang katanya, dapat mengabulkan keinginan hamba-Nya agar tidak berada dalam lingkaran musibah.

Memahami Musibah

Dalam konsep Islam, tidaklah muncul suatu musibah kecuali merupakan ketetapan Allah Swt. Dalam QS. At-Taubah [9]: 51 Allah berfirman yang artinya: Katakanlah, tiada satu pun musibah yang menimpa kami melainkan apa yang telah Allah tetapkan (takdir) buat kami. Dialah pelindung kami, dan kepada Allah semata-mata hendaknya orang-orang yang beriman berserah diri. Maka melalui konsep Islam ini tidak sepatutnya sebagai seorang Muslim menganggap musibah seperti virus Corona sebagai bentuk siksa Allah Swt, apalagi mengklaim sebagai ketidakpedulian-Nya, sebab justru musibah menjadi bentuk peringatan umat Islam untuk lebih mengingat-Nya.

Siksa Allah berbeda dengan musibah. Ketika Allah hendak menurunkan siksa, maka Allah akan memisahkan antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang enggan beriman. Kisah Nabi Nuh As dan kaumnya menjadi bukti akan itu. Di mana, sebelum Allah menurunkan banjir bandang, Allah melalui Nabi Nuh menyuruh agar kaum yang taat dan beriman menaiki perahu yang telah dibuatnya. Sedangkan orang-orang yang tak beriman tidak mau (dibiarkan) hingga kemudian tenggelam bersama banjir besar (QS. Hud [11]: 25-26). Kita juga bisa belajar dari kisah Nabi Luth As dengan kaumnya, sebelum Allah turunkan azab berupa hujan batu. Allah melalui Nabi Luth memisahkan orang yang beriman dan yang tidak. Yang tidak beriman, termasuk istri Luth, tidak mau mengikuti apa kata Luth, sedang yang beriman mengikutinya hingga mereka selamat dari azab Allah (QS. Hud [11]: 25-26).

Fakta historis ini semetkinya menjadi renungan setiap Muslim untuk tidak lepas dari kedekatan kepada Allah. Lebih jauh para Mufasir Al-Qur’an menjelaskan, ayat di atas seharusnya menginspirasi umat Islam untuk tidak inkar musibah, sebagaimana kaum Kafir Quraisy. Umat Islam diminta untuk mempertebal imannya dan agar tidak tergolong sebagai orang-orang yang akan terkena siksa Allah sebab ia mengingkari musibah. Maka dari pemahaman ini dapat dipahami bahwa tidak ada takdir Allah yang buruk, semuanya adalah baik, sebab yang menurut manusia buruk belum tentu buruk di hadapan Allah Swt.

Sikap Muslim Yang Seharusnya

Sebagai umat yang memiliki pedoman Al-Qur’an dan Sunnah, umat Islam harus proporsional menghadapi musibah pandemi virus Corona. Ia tidak seharusnya gegabah ataupun panik, dan tidak pula menggampangkannya sehingga tidak mau taat pada aturan pemerintah dalam menjalankan protokol kesehatan. Sikap yag harus dikedepankan Muslim dalam menghadapi pandemi adalah pertama, berusaha menghindarinya. Setelah menata akidah dan iman atas adanya musibah, kita umat Islam perlu berusaha menghindarinya. Karena itu juga perintah Rasulullah sebagaimana dalam Hadisnya, “jauhilah engkau penyakit lepra, senagaimana engkau menjauhi Srigala” (HR. Muslim). Kedua, tidak boleh membahayakan orang lain. Sebab dalam Hadisnya juga dikatakan, “Tidak boleh seseorang membuat bahaya baik pada dirinya atau orang lain” (HR. Malik dan Daruquthni).

Ketiga, selalu berperasangka baik. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an Allah Swt berfirman yang artinya: (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penghliharan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10). Dan keempat, optimisme dan selalu berkata baik. Ini sebagaimana juga dikatakan oleh Hadis Nabi, “Tidaklah penyakit menular tanpa izin Allah, dan tidak karena ulah seekor burung, tetapi karena al-fa’lu, yaitu kalimat-kalimat kebaikan dan optimisme” (HR. Bukhari dan Muslim).

Proporsional Akidah Kita

Umat Islam harus proporsional dalam menjaga akidah di tengah pandemi. Tidak melakukan hal-hal yang diniatkan menjaga Islam akan tetapi pada dasarnya justru menciderahi akidahnya. Seperti misalnya mengatakan, “Saya tidak takut Corona, sebab ia adalah makhluk Allah. Makhluk Allah tak sepantasnya ditakuti melebihi ketakutan kita kepada Allah”. Pernyataan ini seolah benar, akan tetapi belum selesai. Memang kita harus takut hanya pada Allah, akan tetapi virus Corona juga merupakan ketetapan Allah dan takdir-Nya. Maka menghindari virus tersebut yang dihawatirkan menular adalah sebuah perilaku menakuti apa ketetapan Allah yang memang harus dihindari. Umat Islam perlu berhati-hati dalam menjaga akidah dalam posisi menghadapi virus Corona. Sebab menjauhi kemungkinan tertular justru sebenarnya menjauhi ketetapan Allah berupa musibah, yang dalam Islam kita diperintah untuk menjauhinya.

Sebaliknya, kita jangan sampai terjebak ke dalam lubang yang salah. Bukannya dalam sejarah Islam disebutkan salah satu sahabat, yaitu Sayyidina Umar RA menghindari takdir Allah yang satu dan menuju takdir yang lain ketika menghindari adanya wabah Tha’un? Kita tak bisa mengklaim apa yang dilakukan Umar adalah tindakan mengurangi iman dan akidah. Justru yang dilakukannya adalah agar dirinya selamat dan tetap dapat menjalankan ibadah yang diperintah-Nya. Dalam pandangan Islam juga, sebagaimana ditegaskan Quraish Shihab, Islam mengutamakan keselamatan jiwa dibandingkan keselamatan agama. Sebab posisi ajaran agama hanya akan bisa dijalankan manakala keselamatan jiwa pemeluknya dapat dipastikan.

Menjaga Akidah di Tengah Pandemi

Musibah jangan sampai menjatuhkan kita ke jurang hilangnya akidah dan iman kita. Sebagaimana pemuda beragama Yahudi yang tersebar di video ia menghancurkan patung Yesus dan Bunda Maria sebab dianggap tak bisa memberikan solusi atas adanya pandemi Covid 19. Jangan sampai umat Islam melakukan demikian dalam bentuk yang lain sekalipun. Tugas kita paling utama adalah menyadari bahwa pandemi ini adalah musibah, musibah yang akan mempertebal iman kita, semakin menguatkan akidah kita akan keberadaan Allah Swt. Bukankah ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa di balik musibah pasti ada hikmahnya?

Umat Islam tetap berusaha menghindari potensi penularan musibah yang sedang dihadapi, di samping tetap beroda dan terus memohon kepada Allah Swt agar musibah itu segera dihilangkan dari bumi. Akidah kita harus tetap terjaga dengan meyakini bahwa musibah ini adalah juga kudrat Allah yang harus dihadapi secara tepat, menyeimbangkan posisi agama dan posisi kesehatan. Begitu juga iman kita harus bertambah karena musibah diturunkan bukan lain agar umat Islam lebih mendekatkan diri dan berserah diri hanya kepada-Nya.

Penulis: Lufaefi.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles