Poto Pribadi
Judul: Bi’ah Progresif: Menuju Manusia Berkesadaran Lingkungan
Penulis: Luthfi Hakim, dkk
Penerbit: Lirboyo Press & Tim Mata Pena
Cetakan: Pertama
Tahun Terbit: Maret, 2021
Tebal: xxxviii+230 Halaman
Ukuran: 14×21 cm.
ISBN: 978-602-5743-50-4
“Seandainya lingkungan mempunyai pendengaran dan mulut untuk berbicara, niscaya akan terdengar teriakan-teriakan histeris dari terbakarnya ozon yang diiringi dengan rintihan air di sepanjang sungai dan lautan, karena terisi oleh percikan-percikan minyak dan sekartanya udara yang tercekik oleh gas-gas mati dari industri, peluru-peluru di seluruh bumi.” – Yusuf al-Qardlawi.
Kajian tentang lingkungan di kalangan pesantren selama beberapa dekade belakangan masih terbilang belum begitu populer. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai literatur, baik dalam bentuk kitab kuning maupun buku yang ada di berbagai lembaga pendidikan pesantren yang cenderung mengarah pada kajian tentang aspek-aspek ‘ubudiyah (peribadatan ritualistik) an sich. Atau jika pun terdapat kajian tentang hukum-hukum fiqh mu’amalah (aspek sosial), masih berkutat pada normatifitas (halal-haram) secara “praktis-pragmatis”. Oleh karenanya, menghadirkan (kembali) kajian tentang persoalan lingkungan (bi’ah) juga sangat patut untuk digalakkan.
Kehadiran buku Bi’ah Progresif: Menuju Manusia Berkesadaran Lingkungan yang ditulis oleh Luthfi Hakim, dkk. ini menjadi angin segar tersendiri, terutama di tengah konteks kehidupan modern yang sering juga disebut sebagai era pembangunan (development) dengan varian bentuk dan dinamikanya. Bahkan, oleh para penulisnya, buku ini “diklaim” sebagai buku pertama yang mengkaji tentang isu-isu lingkungan yang lahir dari kalangan pesantren. Buku ini adalah satu dari sekian banyak buku-buku lingkungan yang ada, namun kami yakin buku ini pertama kali yang muncul dari kalangan pesantren. (Hal. V).
Selain itu, penulisan buku ini juga didorong adanya kegelisahan para penulisnya, para Wisudawan Ma’had Aly, yang notabene juga bagian dari kalangan pesantren, di mana pesantren merupakan lembaga pendidikan yang “sah” dalam mengkaji teks-teks Al-Qur’an maupun Hadits dengan relasi relevansi dan kontekstualitasnya, bukan hanya melulu pada aspek hubungan antara manusia-Tuhan (hablun min Allah), sesama manusia (hablun min a-nas), tetapi juga antara manusia dengan alam lingkungan (hablun min al-‘alam).
Islam dan Lingkungan (Ekologi)
Dewasa ini, ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits bagi sebagian kalangan sering kali hanya dibaca dan dipahami secara parsial seolah teks-teks suci agama Islam hanya berisi tentang konsepsi hal-hal ritualistik dan berorientasi terhadap kehidupan ukhrawi (akhirat) saja. Sebaliknya, beberapa aspek keilmiahan (sintifik) yang terdapat di dalamnya justru ter(di)abaikan, sehingga tidak sedikit dari para penganut agama Islam sendiri yang bersikap permisif dan pasrah terhadap situasi dan kondisi kehidupan nyata di sekelilingnya, tak terkecuali dalam persoalan lingkungan.
Lebih dari itu, kerusakan–lebih tepatnya pengrusakan–lingkungan yang tengah terjadi, jika terus menerus diabaikan, lambat laun dapat mengancam eksistensi kehidupan bagi penghuni bumi ini, dianggapnya sebagai suatu bentuk keniscayaan yang tidak dapat ditolak (sunnatullah). Akibatnya, banyak terjadi ragam bencana alam, seperti banjir, gempa, cuaca iklim alam yang tidak menentu, kemarau panjang, dan lain sebagainya.
Ragam bencana tersebut mesti kita sadarai sebabnya secara hukum alam, yang tidak lain adalah sebuah respon alam yang tengah ditindas dan dieksploitasi oleh manusia. Hal ini sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan status manusia sebagai mandataris Tuhan (khalifatullah) yang diberi tanggung jawab dalam memelihara dan mengelola sumber daya alam yang ada di muka bumi ini dalam asas manfaat dan bijak.
Penciptaan alam semesta adalah anugerah Allah SWT. yang diberikan untuk seluruh makhluk di muka bumi. Manusia mendapatkan legalitas untuk memanfaatkan alam ini sesuai dengan porsi yang dibutuhkan. (Hal. 1).
Dengan membaca dan memahami buku ini, kita akan melihat betapa ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadits, maupun diskursus dalam khazanah kitab kuning memiliki cakupan terhadap segala hal, baik ayat-ayat qouliyah (doktrin normatif/verbal) maupunn kauniyah (doktrin saintifik/non-verbal), yang kesemuanya membawa kita terhadap kesadaran spiritual yang berbanding lurus dengan kesadaran sosial dan ekologis.
Hal ini, misalnya, dapat dilihat pada aspek penegasan Al-Qur’an terhadap kesadaran manusia atas lingkungannya yang termaktub di dalam QS. Ali ‘Imran, ayat 190. Di dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa akal murni manusia dapat memahami dan menghayati betapa agung tanda kekuasaan Allah SWT. Manusia, hewan, dan tumbuhan bisa hidup dan berkembang secara proporsional. (Hal. 21). Maka, benarlah apa yang pernah disabdakan oleh sebuah hadits Nabi Muhammad SAW.; Renungkanlah apapun yang diciptakan oleh Allah, dan janganlah merenungkan sesuatu tentang (hakikat) Dzat Allah SWT.
Ekologi dalam Khazanah Kitab Kuning
Sebagai karya ilmiah yang ditulis oleh kalangan pesantren, tentu saja selain merujuk pada teks-teks ayat Al-Qur’an dan Hadits, juga tetap merujuk pada khazanah pesantren, yaitu kitab kuning yang ditulis oleh cendekiawan muslim dari era klasik sampai kontemporer, khususnya dalam disiplin ilmu ekologi atau lingkungan.
Musa Syahin Lasyin, dalam karya kitabnya Fathul Mun’im Syarh Sahih Muslim, menyatakan bahwa sebagian dari karakter seorang muslim yang baik adalah tidak mencederai muslim yang lain. Bahkan, dituntut untuk berinteraksi dengan baik terhadap non-muslim, terlebihlagi kepada entitas selain manusia, yakni entitas hewani. (Hal. 25).
Pernyataan tersebut merupakan penafsiran terhadap hadits Nabi Muhammad tentang kriteria seorang muslim yang baik, yakni man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi; seorang muslim yang baik adalah dia yang tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan tangannya.
Dalam Islam, manifestasi manusia dan mahkluk lainnya memiliki hak asasi masing-masing yang terintegrasi di dalam cara pandang sikap yang saling mengasihi atas dasar kesadaran diri manusia dalam berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din, Al Mawardi mengutip perkataan para bijak bertari, bahwa sesungguhnya Allah SWT. tidak akan memberikan restu kepada makhluk-Nya, kecuali ia menunaikan haknya. Dan, haknya seorang makhluk ialah mensyukuri nikmat, berbuat baik kepada sesama, berperangai baik, dan konsisten terhadap ketentuan hukum Islam. (Hal. 65).
Para penganut ajaran tasawuf (ulama sufi) juga telah mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan sebagai bentuk amanah Tuhan yang diemban oleh manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi dengan kekuatan cinta. Mereka mengatakan, bahwa terjalinnya hubungan antara manusia dan lingkungan dibangun atas dasar cinta dan rasa hormat. Hal itu merupakan ajaran luhur yang akan menjadi penyempurna dalam menjaga lingkungan dan melestarikannya. (Hal. 67).
Jihad Ekologi
Jihad dalam ajaran Islam dapat diartikan sebagai proses upaya kesungguhan dalam mendayagunakan potensi yang ada untuk mencapai tujuan kemashlahatan. Al-Syatibi dan Al-Ghozali menyebutkan secara umum tujuan dasar syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yaitu menjaga agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta atau properti (hifdz al-mal).
Menjaga dan melestarikan lingkungan juga termasuk dalam kategori maqashid al-syari’ah. Dengan menjaga lingkungan alam, kehidupan manusia akan terjaga nyawa dan kesehatannya.(Hal. 164). Bahkan, menurut Ali Yafie, aspek penjagaan eksistensi jiwa adalah hal yang paling utama dibandingkan dengan aspek yang lainnya. Bukan hanya itu, menjaga lingkungan sumber daya alam juga berarti menjaga harta atau properti, karena segala hal yang mendukung serta menunjang kelangsungan kebutuhan dasar manusia.
Dalam konteks Indonesia, dengan sumber daya alamnya yang melimpah mesti dikelola dengan bijak. Sebagaimana yang termaktub di dalam UUD 45 dan aturan syariat Islam, bahwa kekayaan negara berupa sumber air, energi, dan kehuatanan haruslah menjadi milik dan digunakan untuk kesejahteraan warga negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW.; “Manusia memiliki tiga sumber energi yang menjadi milik bersama, yaitu air, hutan, dan api” (HR. Abu Daud).
Secara praktis, jihad ekologi dapat dikatakan sebagai upaya membangun kesadaran dan tanggung jawab kita terhadap kelestarian lingkungan bisa dimulai dari kesadaran individu manusia, yaitu dengan melakukan refleksi diri untuk bersikap dan berperilaku sederhana, tidak berlebihan. Sedangkan, secara komunal, dapat diupayakan melalui pembuatan regulasi terhadap nilai dan norma sosial, yang dalam hal ini adalah domain para pemangku kebijakan pemerintahan. Di antaranya adalah dengan cara melakukan konservasi, penghijauan, dan menjaga kebersihan pola hidup dan alam lingkungan. Itulah spirit nilai ajaran Islam yang mengintegrasikan antara aspek spiritualitas dan kontekstualitas lingkungan atau sumber daya alam, yakni hubbul ‘alam min al-iman, menjaga dan melestarikan lingkungan adalah sebagian dari iman.[]
Peresensi : M. Balya Abul Abbas
No. HP : 0853-2313-9397 (WA)
Status : Alumnus PP. Lirboyo, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.