Ilustrasi Puasa/Kumparan
Tidak terasa kita sudah dua bulan lebih meleeati bulan yang mulia Ramadhan. Pertanyaannya adalah Apakah puasa kita dapat membentuk karakter kesalehan spiritual dalam diri kita sebagaimana disebutkan dalam akhir Surat Al-Baqarah ayat 183 tentang tujuan diwajibkannya puasa yakni “la’allakum tattaqun””لعلكم تَتقون”yang mana terjemahan secara literal dari kalimah tersebut ialah “agar kalian bertaqwa”.
Kata taqwa sebenarnya merupakan bukan kata baru di dalam al-Qur’an. Sebelumnya, para masyarakat jahiliyah sudah familiar dengan kata tersebut namun dalam arti yang berbeda dengan yang dimaksud dalam al-Qur’an. Kata taqwa dalam konteks pra-Islam menurut Toshiko Izutsu di dalam God and Man in the Koran, bermakna sikap membela diri yang disertai dengan rasa takut. Sehingga kata “taqwa” yang dimanifestasikan dengan rasa takut pada waktu itu (pra-Islam) dan tidak mengaitkan rasa takut dengan Tuhan alih-alih dengan kemuliaan, sebagaimana Firman Allah Swt:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling bertaqwa di antara kamu ialah yang paling bertaqwa di antara kamu
Taqwa pada periode pra-Islam bermakna apa saja yang membuat rasa takut karena tekanan atau lainnya. Kata tersebut kemudian bertransformasi menjadi kata religius ketika al-Qur’an turun. Masyarakat Arab pra-Islam sama sekali tidak terbayang dalam pikiran mereka terhadap hubungan antara taqwa dengan Tuhan.
Namun, kalau kita lihat kitab-kitab tafsir ternyata ada beberapa variasi penafsiran dari “taqwa”. Imam At-Thobari misalnya dalam Jami’ al-Bayan Me-na’wil-kan kata “taqwa” yakni “takut dan taat kepada Tuhan serta meng-Esakan-Nya dalam ibadah”. Sementara Al-Zamahsyari (dalam Tafsir al-Kasyaf) menafsirkan “taqwa” orang yang bertakwa”, beliau juga menafsirkan dengan“ menjauhi maksiat, karena dengan puasa lebih bisa menghindarkan nafsu dari perbuatan jahat.
Namun penafsiran yang sedikit unik ialah dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani, menurut ulama’ yang dikenal Sulton al-Aulia (Raja Para Wali) ini berpendapat bahwa tujuan puasa dalam ayat “la’allakum tattaqun” adalah agar manusia menjaga diri dari makan yang berlebih yang mana hal tersebut dapat mematikan hati dan dapat memadamkan api rindu dan cinta yang mendalam kepada Allah Swt. Dengan perpuasa, manusia diperintahkan untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan berhubungan intim (jima’). Dalam keadaan seperti itu, (tidak makan dan minum serta jima’), derajat manusia seperti halnya malaikat. Dalam keadaan tersebut, manusia dapat menghidupkan api kerinduan kepada Allah Swt di dalam hatinya. Karena semua hal tadi dapat menumbuhkan nafsu dan syahwat yang kuat di dalam diri manusia yang dapat menghalanginya dari Allah Swt. Sehingga dengan puasa, manusia dapat meningkatkan rasa taqwa / takut kepada Allah Swt. Ketika rasa takut itu mencapai puncaknya, akan menimbulkan keadaan fana’ yaitu lenyapnya sifat basyariyah. Sifat basyariyah/ dimensi kemanusiaanya yang dimaksud ialah sifat-sifat tercela, syahwat yang kuat dan hawa nafsu. Ketika manusia sudah mencapai fana’ dan sirna semua sifat-sifat tercela di atas, maka akan dapat mudah tumbuh dalam dirinya kerinduan dan kecintaan yang hakiki kepada Tuhan.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari pada puasa menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jailani ialah agar seseorang dapat bersimpuh di hadapan Allah Swt dengan penuh kerinduan dan kecintaan hakiki seorang hamba kepada Tuhannya.[]
Penulis: Widodo Hami – Alumni UIN Walisongo Prodi IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir).